MENU

Tuesday, July 26, 2016

Pewarisan Sifat dan materi genetik

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pewarisan atau yang lebih dikenal dengan Hereditas merupakan suatu pewarisan dari induk pada keturunannya. Ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat disebut dengan  Genetika. Pewarisan itu dapat ditentukan oleh Kromosom dan Gen.
Membahas tentang pewarisan sifat merupakan hal yang menarik untuk di bahas. Banyak yang menjadi pertanyaan. Bagaimana terjadi proses pewarisan sifat terhadap keturunan yang dihasilkan? Bagaimana proses pewarisan bentuk fisik? Bagaiman seorang anak ada yang mirip sama dengan orang tuanya dan bahkan mirip dengan kakek dan neneknya?
Pewarisan sifat itu dapat ditentukan oleh Kromosom dan Gen. Kromosom adalah struktur benang dalam inti sel yang bertanggung jawab dalam hal sifat keturunan (Hereditas). Sedangkan gen adalah unit terkecil yang terletak pada bagian kromosom yang disebut Lokus. Fungsi Gen adalah menyampaikan informasi genetik kepada keturunannya dan mengendalikan perkembangan dan metabolisme sel.
Ada beberapa teori yang membahas Pewarisan sifat-sifat keturunan yaitu:
1.    Teori Embrio
2.    Teori Preformasi
3.    Teori Epigenesis
4.    Teori Plasma
5.    Teori Pengenesis
Dari teori di atas, masih belum jelas menunjukan adanya hukum yang mengatur penurunan sifat. Kemudian ahli Genetika Gregor Mendel melakukan berbagai percobaan tentang penyilangan dengan berbagai jenis tanaman untuk dapat menyusun suatu hukum yang dikenal dengan Hukum mandel.


B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan beberapa Teori Pewarisan Sifat?
2. Menjelaskan Hukum Pewarisan Sifat?
3. Menjelaskan Pengertian Kromosom?
4. Menjelaskan Pengertian Gen?
5. Menjelaskan tentang Materi Genetik?
6. Menjelaskan tentang Sintesis Protein?
7. Menjelaskan Hereditas Pada Manusia?
C. Manfaat Penulisan
1. Dapat Mengetahui Teori Pewarisan Sifat
2. Dapat Mengetahui Hukum Pewarisan Sifat
3. Dapat Mengetahui Pengertian Kromosom
4. Dapat Mengetahui Pengertian Gen
5. Dapat Mengetahui tentang Materi Genetik
6. Dapat Mengetahui tentang Sintesis Protein
7. Dapat Mengetahui Hereditas Pada Manusia













BAB II
PEMBAHASAN
Pewarisan sifat atau yang lebih dikenal dengan Hereditas merupakan suatu pewarisan sifat dari induk kepada keturunannya. Ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat disebut dengan Genetika. Genetika adalah ilmu keturunan yang mempelajari bagaimana sifat-sifat pada organisme diturunkan kepada keturunannya. Pewarisan sifat itu dapat ditentukan oleh Kromosom dan Gen.
A. Teori Pewarisan Sifat.
1. Teori Embrio
Teori ini dikemukakan oleh Willam Harvey, seperti yang dikutip dari Artikel http://indonesia.digitaljournals.org yang menyatakan bahwa semua hewan berasal dari telur[1]. Pernyataan ini diperkuat oleh Raider de Graff (1641-1673) peneliti pertama yang mengenal bersatunya sel sperma dengan sel telur. Sel sperma dan Sel telur yang akan membentuk embrio. Rainer de Graff menyatakan bahwa Ovarium pada burung sama dengan Ovarium pada kelinci.
2. Teori Preformasi
Teori ini dikemukakan oleh Jan Swammerdan, dalam sebuah  Artikel berbahasa inggris  http://www.janswammerdam.org menyatakan bahwa telur mengandung semua generasi yang akan datang sebagai miniatur yang telah terbentuk sebelumnya[2].
3. Teori  Epigenesis Embriologi
Teori ini dikemukakan oleh CF.Wolf ,1738-1794, yang menyatakan bahwa ada kekuatan vital dalam tubuh organisme dan kekuatan ini menyebabkan pertumbuhan embrio menurut pola perkembangan sebelumnya.
4. Teori  Plasma Nutfah
Teori ini dikemukakan oleh J.B. Lamarck, 1744-1829 yang menyatakan sifat yang terjadi karena  rangsangan yang terjadi dari luar (Lingkungan) terhadap struktur dan fungsi organ yang diturunkan pada generasi berikutnya.
5. Teori  Pengenesis
Teori ini dikemukakan oleh C.R Darwin 1882-1980 yang menyatakan bahwa setiap bagian tubuh dewasa menghasilkan benih-benih kecil yang disebut gemuaia.
B. Hukum Pewarisan Sifat.
Dari teori-teori yang menjelaskan tentang Pewarisan sifat di atas masih belum ada yang menjelaskan adanya hukum yang mengatur penurunan sifat. Dalam sebuah Atikel jurnal yang dapat dilihat melalui http://biologimediacentre.com seorang Biarawan dari Austria yang bernama Gregor Mandel (1822-1844) melakukan berbagai percobaan tentang penyilangan dengan berbagai jenis tanaman. Mendel melakukan penyilangan terhadap Kacang Ercis (Pisum Sativum) yang mempunyai sifat sebagai berikut:
1.    Memiliki pasangan-pasangan sifat yang kontras
2.    Dapat melakukan Autogami atau perkawinan sendiri
3.    Mudah disilangkan
4.    Mempunyai keturunan yang banyak
5.    Mempunyai daur hidup yang pendek
Dalam percobaannya Mendel melakukan perkawinan silang dengan menyerbukkan sendiri antara dua variates  Ercis berbunga ungu dengan Ercis berbunga putih sebagai induk-induknya. Turunan hasil persilangan ini disebut Hibrid. Sedangkan proses perkawinan silang sendiri disebut Hibridisasi.
Dalam percobaan awalnya, Mendel menyilangkan galur murni Kacang Ercis untuk satu sifat beda yang berlawanan. Galur murni dari tanaman induk disebut sebagai generasi P (Parental), sedangkan turunan pertama dari hasil penyilangan disebut generasi F1 (filial), dan generasi kedua dari hasil penyerbukan sendiri disebut generasi F2. Hasil penyilangan satu sifat beda tersebut pada generasi pertamanya tidak menunjukkan campuran dari sifat induknya, tetapi menunjukkan sifat dari salah satu induknya. Sementara pada generasi berikutnya sifat yang muncul pada generasi pertama akan muncul ¾ bagian, sedangkan sifat induknya yang tidak muncul pada generasi pertamanya akan muncul pada generasi kedua sebesar ¼ bagian sehingga rasionya 3:1.
Dari hasil percobaan yang diperolehnya, Mendel menyusun beberapa HIpotesis, yaitu:
a.    Setiap sifat pada organisme dikendalikan oleh satu pasang faktor keturunan, satu dari induk jantan dan satu dari induk betina.
b.    Setiap pasang faktor keturunan menunjukkan bentuk alternatif sesamanya. Misalnya tinggi atau rendah, bulat atau keriput, kuning atau hijau. Kedua bentuk alternatif ini disebut alel.
c.    Bila pasangan faktor itu terdapat bersama-sama dalam satu tanaman, faktor dominasi akan menutup faktor resesif.
d.   Pada waktu pembentukan gamet, pasangan faktor atau masing-masing alel akan memisah secara bebas.
e.    Individu murni memiliki alel sama, yaitu dominin saja atau resesif saja.
Dari hasil Hipotesis diatas. Mendel membuat hukum yang terkenal dengan Hukum Mendel I (Hukum Segregasi), yaitu: Bahwa alel-alel akan berpisah secara bebas dari diploid menjadi haploid pada saat pembentukan gamet. Dan Hukum Mandel II (Hukum kebebasan untuk memilih/pengelompokan secara bebas), yaitu: Bahwa dalam suatu perkawinan/persilangan yang menyangkut dua atau lebih pasangan sifat berbeda maka pewarisan dari masing-masing pasangan faktor sifat-sifat tersebut adalah bebas sendiri.
Alel dominan disimbolkan dengan huruf kapital, sedangkan alel resesif disimbolkan dengan huruf kecil. Organisme yang memiliki pasangan alel identik disebut homozigot, sedangkan jika organisme mempunyai alel yang berbeda disebut heterozigot. Alel homozigot dapat berupa homozigot dominan ataupun resesif. Susunan genetik dari suatu sifat yang dikandung oleh suatu organisme disebut genotip, sedangkan suatu sifat yang di ekspresikan oleh suatu oragnisme (bentuk luar suatu organisme) disebut fenotip.
C. Kromosom.
Kromosom berasal dari kata Cromo (Warna) dan Soma (Badan) merupakan bagian terpenting dari sel, yaitu tempat gen berada yang terdiri dari Molekul DNA dan berbagai protein terkait yang merupakan informasi genetik suatu organisme. Pada belalang, jangkrik, dan kecoa mempunyai sistem X-0. 0 berarti tidak adanya kromosom seks. Organism betina mempunyai kromosom XX dan organisme jantan hanya mempunayai satu kromosom (X0). Organism jantan akan menghasilkan gamet jantan dengan konfigurasi kromosom X dengan atau tanpa kromosom seks. Pada burung, ayam, ikan, dan kupu-kupu mempunyai system Z-W. Organisme jantan hanya mempunyai genotip ZZ, sedangkan organisme betina akan mempuyai genotip ZW. Jenis kelamin ditentukan oleh telur pembawa kromosom Z atau W.
Suatu organisme dapat tidak mempunyai kromosom seks. Contohnya jenis kelamin pada kebanyakan semut dan lebih ditentukan oleh jumlah kromosom. Organisme betina berkembang dari telur yang dibuahi sehingga bersifat diploid (2n), sedangkan organisme jantan berkembang dari telur yang tidak dibuahi (bersifat haploid/n). Kromosom hanya dapat diamati ketika sel aktif membela, yaitu pada saat kondensasi DNA dengan menggunakan Mikroskop Elektron.
1. Stuktur Kromosom
Kromosom akan tampak jelas jika sel sedang membelah. Kromosom terdiri dari Sentromer (kinetokor) dan Lengan. Sentromer merupakan kepala Kromosom. Bagian ini bergantung pada serabut gelondong pada saat pembelahan. Adapun Lengan Kromosom merupakan bagian kromosom yang mengandung kromonema dan gen. Lengan dibungkus oleh selaput matriks.
2. Bentuk Kromosom
Berdasarkan letak sentromernya kromosom dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu matasentrik, submetasentrik, akrosentrik, dan telosentrik.
1.      Metasentrik, yaitu sentromer  terletak di tengah bentuknya seperti huruf V.
2.      Submetasentrik, letak sentromer mengarah ke salah satu ujung kromosom, bentuknya seperti huruf J.
3.      Akrosentrik, letak sentromer dekat ujung kromosom sehingga membagi kromosom menjadi 2 lengan, yaitu satu pendek dan lengan yang lainnya sangat panjang.
4.      Telosentirk, letak sentromer di ujung kromosom sehingga kromosom hanya mempunyai satu lengan.
3. Ukuran  dan Jumlah Kromosom.
Ukuran kromosom sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lainnya. Panjangnya antara 0,2 – 0,5 u, sedangkan diameternya antara 0,2 – 2,0 u. Ukuran kromosom yang terdapat dalam sebuah sel tidak pernah sama.
4. Macam-macam Kromosom
Menurut pekerjaannya kromosom dibedakan atas 2 yaitu:
1.      Autosom, yaitu : Kromosom yang tidak ada hubungannya dengan penentuan jenis kelamin. Diberi simbol A.
2.      Gonosom atau Seks Kromosom, yaitu: Kromosom yang berperan dalam mentukan jenis kelamin organisme.
D. Gen
Gen merupakan unit yang menentukan sifat suatu organisme dan dapat diwariskan dikarenakan di dalam Gen terdapat informasi genetik yang memuat enzim dan protein yang berperan dalam proses metabolisme. Gen dalam kromosom terdapat pada lokus.
Istilah Gen pertama kali diperkenalkan oleh W.Johansen. Gen berfungsi untuk mengatur perkembangan dan metabolisme individu dan menyampaikan informasi genetik kepada generasi berikutnya.
·      Sifat-sifat Gen, yaitu:
ü Sebagai materi tersendiri yang terdapat dalam kromosom.
ü Mengandung informasi genetika.
ü Menduplikasikan diri pada peristiwa pembelahan sel.
·      Struktur Kimia Gen
Factor keturunan adalah Gen yang terdapat dalam Kromosom, sedangkan Kromosom terdapat dalam inti sel. Bahan dasar sel adalah protein inti atau nucleoprotein yang dibangun oleh senyawa protein dan nukleat. Asam nukleat sangat banyak, tapi yang erat kaitannya dalam proses penentuan sifat-sifat adalah DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) dan RNA (Ribo Nucleic Acid).
1. DNA
DNA terletak pada gen-gen di dalam kromosom. Oleh karena kromosom terdapat di dalam nukleus, maka DNA banyak ditemukan di dalam nukleus sel. Molekul DNA juga ditemukan mitokondria, plastida, dan sentriol. DNA merupakan pembawa informasi genetik yang terdiri dari pasangan rangkaian nukleotida yang terpilin (dauble heliks). Komponen dasar penyusun DNA adalah sebagai berikut :
a.       ü Gugusan gula (deoksiribosa/pentose).
b.       ü Gugusan fosfat.
c.       ü Basa nitrogen terdiri dari purin meliputi adenin (A) dan guanin (G) serta pirimidin meliputi sitosin (S) dan timin (T).
d.      Sifat-sifat DNA, yaitu:
e.       ü Memiliki sifat yang menarik dan unik. Jumlah adenin yang terdapat di dalam DNA suatu organisme sama dengan jumlah timin. Jumlah sitosin akan sama dengan jumlah guanin.
f.        ü Jumlah dan susunan atau urutan basa berbeda pada setiap spesies.
g.       ü Stabil dan tidak mudah terurai. Dengan sifat ini maka DNA mampu mempertahankan sifat sel yang mantap.
h.       ü Mampu melakukan penggandaan diri (Replikasi). Replikasi merupakan peristiwa sintesis DNA yang terjadi karena adanya sintesis rantai nukleotida baru dari rantai nukleotida lama. Pada beberapa organisme seluler. Replikasi DNA terjadi di dalam inti sel dan terjadi sebelum sel membelah.
2. RNA
RNA berbentuk rantai tunggal yang disintesis oleh DNA melalui proses transkripsi. Komponoen penyusun RNA adalah sebagai berikut:
a.       ü Gugusan gula (Ribosa)
b.       ü Gugusan fosfat
ü Basa nitrogen terdiri dari purin meliputi adenin (A) dan guanin (G); serta piramidin meliputi sitosin (S) dan urasil (U).
Macam-macam RNA, yaitu:
a.       ü RNA duta atau RNA messenger (mRNA) mengandung kode-kode genetic berupa urutan basa nitrogen.
b.       ü RNA transfer (tRNA) merupakan RNA terpendek yang bertugas menrjemahkan kodon tRNA. tRNA berfungsi untuk mengikat asam-asam amino yang akan disusun menjadi protein di dalam ribosom.
c.       ü RNA ribosom (rRNA) merupakan RNA yang terdapat di dalam ribosom. RNA berbentuk rantai pendek dan tunggal, mempunyai komposisi gula ribose dan basa nitrogen purin: Adenin (A) dan Guanin (G), Pirimidin: Sitosin (S) dan Urasil (U).

E. Bahan Genetik.
Pada saat sel mengadakan pembelahan, terjadi duplikasi bahan genetik yang terdapat di dalam kromosom sehingga masing-masing sel anakan akan mengandung informasi genetik yang identik dengan induknya.
Secara umum kromosom tersusun atas nucleoprotein, yaitu persenyawaan antara asam nukleat (asam organik yang banyak terdapat di dalam sel) dan protein seperti histon atau protamin. Bagian yang membawa informasi genetik hanyalah asam nukleat saja. Asam nukleat dibedakan atas asam deoksiribonukleat (AND) dan asam ribonukleat (ARN).
1. Asam Deoksiribonukleat (ADN)
ADN adalah  bahan genetik yang memberi informasi genetic dari sel ke sel dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Asam nukleat mempunyai kemampuan unik untuk memproduksi dirinya sendiri secara langsung sehingga memungkinkah membentuk duplikat dan mentransmisikan ADN ke seluruh sel tubuh dari generasi ke generasi secara tepat. ADN memberikan pola cetakan untuk protein dan enzim yang secara langsung mengontrol perkembangan, proses biokimia, anatomi, fisiologi, dan tingkah laku organism.
Chargaff (1974) mengemukakan bahwa komposisi ADN adalah spesies-spesifik. Dengan menggunakan kromatografi kertas, ia menemukan bahwa masing-masing spesies mempunyai perbedaan rasio basa nitrogennya. Ia juga mendeterminasikan bahwa jumlah adenin sama dengan jumlah timin, sedangkan jumlah guanin sama dengan jumlah sitosin. Determinasi ini popular dengan nama hokum chargaff. 
Berdasarkan pengamatan para pakar genetika diduga ada tiga kemungkinan replikasi molekul ADN pada organisme eukariotik, yaitu sebagai berikut.
a.       Semikonservatif, dua pita spiral dari heliks ganda memisahkan diri. Tiap pita tunggal dari heliks ganda parental ini berlaku sebagai pencetak untuk membentuk pita pasangan yang baru.
b.      Konservatif, heliks ganda parental tetap utuh, tetapi keseluruhannya dapat mencetak heliks ganda baru.
c.       Dispersif, kedua pita dari heliks ganda parental terputus-putus. Segmen-segmen ADN parental dan segmen-segmen ADN baru saling bersambungan dan menghasilkan dua heliks ganda baru.
2. Asam Ribonukleat (ARN)
Molekul ARN dapat berbentuk pita tunggal atau ganda, tetapi tidak terpilin. Tiap pita ARN adalah polinukleotida, artinya terdiri dari banyak ribonukleotida. Dalam pita nukleotida ARN, tulang punggung tersusun dari deretan ribosa dan fosfat. Ada tiga macam ARN yang mempunyai peranan sangat penting dalam sintesis protein, yaitu ARNd (duta), ARNt (transfer), dan ARNr (ribosom). Dalam proses sintetis protein, ARNd setelah menerima informasi genetik dari ARN segera meninggalkan inti sel untuk menempel pada ribosom. ARNt mengikat asam amino dari kumpulan asam amino yang terdapat di sitoplasma dan membawanya ke ARNd yang telah siap di ribosom, sedangkan ARNr bertugas untuk menyintesis protein.
F. Sintesis Protein
Sintesis protein melibatkan dua peristiwa penting proses transkripsi, yaitu pemindahan informasi genetik dari AND ke ARN dan proses translasi, yaitu pemindahan informasi genetik dari ARN ke protein.
1.    Transkripsi
Pada organisme eukariotik, ADN kromosom terdapat di dalam inti, sedangkan protein dibuat di dalam sitoplasma sehingga ADN tidak mungkin berperan langsung dalam sintesis protein. Sebagai gantinya, satu buah pita heliks ganda ADN dipakai untuk mencetak pita tunggal ARNd (duta) dengan bantuan enzim ARN polimerase. Proses ini disebut transkripsi. Pita ARN yang mencetak ARNd disebut pita sens, sedangkan pita komplementernya pita komplementernya yang tidak mencetak ARNd disebut pita antisens. ARNd yang telah selesai dicetak akan meninggalkan ADN, keluar dari inti sel dan menempel pada ribosom yang terdapat di dalam sitoplasma.
2.    Translasi
Pada proses translasi dibedakan menjadi beberapa peristiwa penting seperti berikut.
a. Penempelan ARNd pada ribosom 30S dan pembentukan poliribosom.
Ribosom pada organisme eukariotik mempuyai ukuran 80S, sedangkan pada bakteri ukurannya 70S, yang dibedakan menjadi bagian kecil disebut subunir 30S dan bagian yang besar disebut subunir 50S. Sebelum berlangsungnya sintesis protein, ribosom 30S dan 50S masih terpisah. Mula-mula ARNd keluar dari inti sel dan menempel pada ribosom 30S dengan bantuan faktor inisiasi dan GTP (guanosine triphosphate).


b. Pengikatan asam amino oleh RNAt (transfer).
ARNt akan mengikat asam amino yang terdapat di dalam sitoplasma. Asam amino-asam amino tersebut harus diaktifkan terlebih dahulu dengan ATP (adenosine triphosphate).
c. Permulaan sintesis protein.
Permulaan sintesis protein pada bakteri ditandai dengan terbentuknya ribosom 70S. Dengan terbentuknya ribosom 70S maka memanjangkan rantai polipeptida dimungkinkan dengan terjadinya penambahan asam amino dan menggesernya ribosom serta ARNd dengan kodon triplet-nya serta dengan hadirnya molekul-molekul GTP.
G. Hereditas Pada manusia
Dalam mempelajari genetika pada manusia, dipelajari dengan menggunakan cara-cara sebagai berikut, yaitu:
1.    Pedigree (Peta silsilah), yaitu catatan asal-usul sesuatu sifat dari nenek moyang hingga anak cucu beberapa generasi berturut-turut .
2.    Meneliti genetika pada hewan yang mungkin mempunyai sifat atau karakter yang dapat diterapkan pada manusia.
3.    Mempelajari peristiwa penurunan sifat pada anak kembar.
·      Jenis Kelamin.
Jenis kelamin pada manusia ditentukan oleh sepasang kromosom Seks, yaitu kromosom X untuk perempuan dan kromosom Y untuk laki-laki. Susunan kromosom perempuan bersifat homogametic (XX) dan laki-laki bersifat heterogametic (YY).
·      Kelainan dan Penyakit Menurun.
Kelainan atau cacat tubuh dan yang diwariskan orang tua kepada anak dapat terjadi karena adanya perubahan susunan gen yang tidak sempurna. Penyakit yang sifatnya menurun memiliki ciri-ciri tidak dapat disembuhkan, tridak menular, biasanya dikendalikan oleh gen resesif dan dapat dicegah agar tidak terjadi pada generasi berikutnya.
Kelainan atau penyakit yang diturunkan dapat diwariskan melalui autosom maupun kromosom seks. Pewarisan kromosom dapat dapat melalui Kromosom X dan Y. kelainan yang diwariskan melalui autosom, misalnya albinisme dan gangguan mental (debil,imbisil,dan idiot). Kelainan yang diwariskan melalui kromosom X adalah buta warna, hemophilia, tidak bergeraham,ompong, dan tidak beremail. Kelainan melalui kromosom Y , yaitu hipertrichosis.





















BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pewarisan Sifat dapat di tentukan oleh Kromosom dan Gen. Kromosom adalah struktur benang dalam inti sel yang bertanggung jawab dalam hal sifat keturunan (Hereditas). Sedangkan Gen adalah unit terkecil yang terletak pada bagian Kromosom yang disebut lokus. Fungsi Gen adalah menyampaikan informasi genetik kepada keturunannya dan mngendalikan perkembangan dan metabolisme sel.
B. Saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan kiranya pembaca dari makalah ini bisa membaca dengan baik serta dapat mengaplikasikan dalam dunia akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari.













DAFTAR PUSTAKA

~Prawirohartono, Slamet. SAINS BIOLOGI. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.

~Elfayetti. IPA DASAR.  Medan: FIS UNIMED Medan, 2011.

~Nugroho , L. Hartanto. BIOLOGI DASAR. Jakarta: Penebar  Swadaya, 2004



[1] Artikel jurnal yang dikutip http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/karidn/article/viewFile/300/299 membahas tentang terbentuknya embrio karena bersatunya sel sperma dengan sel telur
[2] Sebuah jurnal yang membahas mengenai teori Preformasi yang ditemukan oleh Jan Swammerdan http://www.janswammerdam.org/

Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid

BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang

Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum (mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya itu.

Orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang “Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid”, yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.
 
B.     Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1.       Apa yang dimaksud dengan Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid ?
2.       Bagaimanakah hukum-hukum dalam berIjtihad, berittiba’ maupun Taqlid ?
3.       Bagaimanakah pendapat ulama mengenai Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid ?

  C.     Tujuan

Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
1.    Memberi pemahaman tentang Pengertian Ijtihat, Ittiba’dan Taqlid, serta Perbedaan antara ketiganya dan Hukm pembagiannya.
2.    Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Fiqh Ushul Fiqh dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan Dosen Pembimbing.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    IJTIHAD (اجتهد)
1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,  ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh  Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.[1]

Ijtihad adalah suatu  alat untuk  menggali hukum  Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:
اِسْتِفْرَاغُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”[2]
2. Hukum Berijtihad
Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’. Namun tidak menetapkannya sebagai suatu kepastian hukum yang harus dipegangi oleh orang lain, karena kebenarannya bersifat fiktif, artinya berkemungkinan hasil ijtihad itu bisa benar dan bisa salah.
Perintah berijtihad ini diungkapakan dalam firman Allah, dalam Q.S. al-H(asyr[59]: 2).
 فَاعْتَبِرُوْا يَا أُوْلِى الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pandangan.
3.  Syarat-Syarat Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian sebagai berikut.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
a)      baligh,
b)      berakal sehat,
c)      kuat daya nalarnya, dan
d)     beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan:
a)      mengetahui al-Quran,
b)      memahami sunnah,
c)      memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan
d)     mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dimiliki mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
a)      menguasai bahasa Arab,
b)      mengetahui ilmu usul al-fiqh,
c)      mengetahui ilmu mantik atau logika, dan
d)     mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
a)      tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi,
b)      mengetahui tempat-tempat khilafiyyah atau perbedaan pendapat, dan memelihara kesalehan dan ketaqwaan.[3]
Seorang mujtahid setidaknya harus menguasai persoalan yang berkaitan dengan masalah yang ia akan fatwakan dan masalah-masalah lain yang berkaitan. Namun mujtahid tidak dituntut mengetahui masalah-masalah fiqh yang tidak berkaitan dengan pembahasan. Seorang mujtahid mutlak (perorangan) dapat berijtihad pada masalah-masalah yang umum yang di permasalahkan orang banyak, tapi tidak menjadi syarat bagi mereka harus menguasai semua hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah lain dan mengusainya, karena penguasan hukum seluruhnya merupakan keterbatasan setiap manusia. Seorang mujtahid besar sekelas Imam Malik bin Anas pernah diajukan kepadanya 40 masalah hukum  fiqh, ia mengatakan 36 masalah yang ditanyakan kepadanya, ia jawab “saya tidak tahu” [4]
B. ITTIBA’ (اَلاِتِّبَاعُ)
  1.      Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
  2.      Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”[5]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.(QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah.Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)

  3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.

Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a)      Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b)      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin.Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

       Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.

       Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.

Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.[6]

C. TAQLID  (اَلتَّقْلِيْدُ)    

1.        Pengertian Taqlid

Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :   
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.”[7]
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ الغَيْرِ دُوْنَ حُجَّتِهِ .
“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

2.        Hukum Taqlid

para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:

a)      Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b)      Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
c)      Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.[8]

3.     Syarat-Syarat Taqlid

Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[9] Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :

a)      Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b)      Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

4.        Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam.Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.

Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:
a)      Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:
Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
b)      Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:
Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah.Adapun orang-orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang  berbuat zhalim itu-ketika mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
c)      Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:
Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kamu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula mengharamkannya? [10]

Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga.Hal ini sangat dicela oleh Allah SWT.

Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]: 43 “maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.

Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya tadi.

Pesan Para Ulama mengenai Taqlid

Imam Abu Hanifah berkata :
Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.

Imam Syafi’i berkata :
perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu”.

Ibnu Mas’ud berkata :
Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal-hal buruk”.[11]














BAB III
PENUTUP
  A.    Kesimpulan

Dari pengertian Ijtihad dan ittiba’ serta taqlid di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan  Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh  atau  mengarahkan segala kemampuan. Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan Al-Hadits. Dengan pendekatan istinbath akan diperoleh hukum Islam dari sumber-sumbernya. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh cara-cara pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.

Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.


  B.     Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.








DAFTAR PUSTAKA

~       A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.
~       A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.
~       Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
~       M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.
~       Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002
~       Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001
~       Amir Mua’llim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press. 2005
~       Hakim Atang .Abd, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000
~       Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003













[1] Hakim Atang .Abd, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000), hlm 9
[2] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 15
[3] Amir Mua’llim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. (Yogyakarta: UII Press. 2005), hlm. 58.
[4] Saifuddin Abi al-Hasan dan ‘Ali ibn Abi ‘Ali ibn Muhammad, op. cit., hlm. 310
[5] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 196.
[6] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hlm. 129-131
[7] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 195.
[8] M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006), hlm. 109-110.
[9] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 87
[10] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hlm. 134
[11] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: 1963), hlm 159.