BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari,
terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang
bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah
perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan
tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan membahas pembagian
hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa dan Bagaimana Pembagian Hadits dari segi
kuantitas perawi ?
2. Apa dan Bagaimana Pembagian hadits dari segi
kualitas ?
C.
tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui apa dan bagaimana Hadits dari segi kuantitas perawi
2.
Untuk
mengetahui apa dan bagaimana Pembagian hadits dari segi kualitas
BAB II
PEMBAHASAN
- Pembagian
Hadits dari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits
berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau
jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri,
tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul
seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.[1]
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi,
kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi
ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.
Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang
pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain
pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا
فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihat
atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah
banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[2]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama
muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin
berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad
al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar,
diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits
mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[3]
b. Syarat
Hadits Mutawatir
1) Hadits
Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat
tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah
perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah
Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan
minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian
seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak
70 orang.
2) Adanya
keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu
persyaratan.
3) Berdasarkan
tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.[4]
c. Macam-macam
mutawatir
Hadits
mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits
mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hukum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa yang ini sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api
neraka”.
Menurut
Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits
Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits
yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan,
mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang
meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي
بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya
kecuali saat melakukan do’a dalam shalat istisqa’ (HR. Bukhari dan Muslim)
3) Hadits
Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh,
hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat
jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan
ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat,
terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan
bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh
Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang
ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits
mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga
dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta
terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits
mutawatir adalah sebagai berikut :
1)
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi
Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab
ini memuat 1513 hadits.
2)
Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al
Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[5]
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid.
Kata wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut
istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan,
atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan
kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang
jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[6]
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua,
yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits
Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah
tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara
lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ
تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang
diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah
mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan
dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat
hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا
جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia
mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah
hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad
maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun
pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ
اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap
muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur
dapat digolongkan kedalam :
1)
Masyhur dikalangan
ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a
qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan
Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)
Masyhur dikalangan
ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan
orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ
مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3)
Masyhur dikalangan
ahli fiqh, seperti :
نَهَي
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang
didalamnya terdapat tipu daya.”
4)
Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh,
seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ
فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ
أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad
dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad
dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala (pahala Ijtihad).
5)
Masyhur dikalangan
ahli Sufi, seperti :
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ
اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6)
Masyhur dikalangan
ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih
mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.[7]
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur
menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata
azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah
hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam
sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah,
asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya
dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu
hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada
setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi,
contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku
lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan
oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri
itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits
gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias
berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain
perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya
sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi
lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang
perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
B. Pembagian
hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad
benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan)
dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti
lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima
sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi
hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits
shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
- Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada
celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai
berikut :
·
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih
adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang
yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai
akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
·
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih
adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil
lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa
syarat-syarat hadits shahih adalah :
1) sanadnya
bersambung,
2) perawinya
bersifat adil,
3) perawinya
bersifat dhabith,
4) matannya
tidak syaz, dan
5)
matannya tidak mengandung ‘illat.
- Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna
al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”.
Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam.
Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani
dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ
مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ.
فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz
dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan
Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي
قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
“Hadits hasana
adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat”.
kriteria hadits hasan hampir sama dengan
hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits
shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam
hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[8]
b. Contoh
hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari
Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ
السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian itu.
c. Macam-macam
Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi
dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih
dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan
dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang
ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa
pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ
طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan
(sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ
يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan
bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits
dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1. Harus
ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2. Sebab
kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas
(majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan
hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits
shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali
sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan
hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam
persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti
Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
- Hadits Dhaif
- Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi
bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi
(القوي) yang berarti kuat. Kelemahan
hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria
hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas
ulama :
هُوَ
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan
hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya
tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith,
terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[9]
- contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui
jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ
كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi
(haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia
telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu
Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Thariq At- Tahzib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
- Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’
(hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang
tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan
jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak
berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram,
tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits
tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau
sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang
meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan
bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada
sesuatu yang diriwayatkan datang. Periwayatan dhaif dilakukan karena
berhati-hati (ikhtiyath).
- Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif.
Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits
dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al
a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas
dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu
Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits
dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits
dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu
berikut :
·
Tidak terlalu dhaif, seperti diantara
perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang
yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik
dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
·
Masuk kedalam kategori hadits yang
diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada
hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
·
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran
hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
- Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif
yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk
kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan
sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang
terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian
mudhatahrib.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits
mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan
mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur
dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas
hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.
Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad
yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah
benar-benar mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas
hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits,
dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui
pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang
yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
DAFTAR
PUSTAKA
Moh. Noor Sulaiman PL, (2008) Antologi Ilmu
Hadits, Jakarta :
Guang Persada Press,
Abdul Majid Khan, (2010).Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah
(cetakan keempat),
Mudzakir, M.
(1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung:
PT Alma’arif.
Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta
: Pustaka Firdaus.
Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung:
Angkasa.