BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap umat Islam yang sudah terkena
beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas
kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an
dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut
untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa
manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan
mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum
(mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari
sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan hukum
dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang tidak mampu menggali
hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan
sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti
pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini
penulis mencoba menguraikan tentang “Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid”, yang meliputi
pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam berIjtihad, berittiba’ maupun Taqlid ?
3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai
Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid ?
C. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan
tujuan antara lain :
1. Memberi pemahaman tentang Pengertian
Ijtihat, Ittiba’dan Taqlid, serta Perbedaan antara ketiganya dan Hukm pembagiannya.
2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah
Fiqh Ushul Fiqh dan juga untuk memenuhi tugas mata
kuliah yang diberikan Dosen Pembimbing.
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJTIHAD (اجتهد)
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad
adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang
tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Menurut
bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran.
Sedangkan, menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap
tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum.
Oleh Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan
untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber
hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut
memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah
banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang
yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa dilakukan oleh
setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.[1]
Ijtihad adalah suatu alat
untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan dengan
jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada
benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan
ijtihad dengan:
اِسْتِفْرَاغُ
الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Pencurahan kemampuan secara
maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan
kuat) tentang hukum syar’i”[2]
2. Hukum Berijtihad
Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid
wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam
hal-hal yang syara’. Namun tidak menetapkannya sebagai suatu kepastian hukum
yang harus dipegangi oleh orang lain, karena kebenarannya bersifat fiktif,
artinya berkemungkinan hasil ijtihad itu bisa benar dan bisa salah.
Perintah berijtihad ini
diungkapakan dalam firman Allah, dalam Q.S. al-H(asyr[59]: 2).
فَاعْتَبِرُوْا يَا أُوْلِى الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pandangan.
3. Syarat-Syarat Mujtahid dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa bagian sebagai berikut.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
a)
baligh,
b)
berakal sehat,
c)
kuat daya nalarnya,
dan
d)
beriman atau
mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyyah), yaitu syarat-syarat
mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan:
a)
mengetahui
al-Quran,
b)
memahami sunnah,
c)
memahami
maksud-maksud hukum syari’at, dan
d)
mengetahui
kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa
persyaratan yang penting dimiliki mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
a)
menguasai bahasa
Arab,
b)
mengetahui ilmu
usul al-fiqh,
c)
mengetahui ilmu
mantik atau logika, dan
d)
mengetahui hukum
asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
a)
tidak ada dalil
qat’i bagi masalah yang diijtihadi,
b)
mengetahui
tempat-tempat khilafiyyah atau perbedaan pendapat, dan memelihara kesalehan dan
ketaqwaan.[3]
Seorang mujtahid setidaknya harus menguasai persoalan yang berkaitan dengan
masalah yang ia akan fatwakan dan masalah-masalah lain yang berkaitan. Namun
mujtahid tidak dituntut mengetahui masalah-masalah fiqh yang tidak berkaitan dengan
pembahasan. Seorang mujtahid mutlak (perorangan) dapat berijtihad pada
masalah-masalah yang umum yang di permasalahkan orang banyak, tapi tidak
menjadi syarat bagi mereka harus menguasai semua hukum-hukum yang berkaitan
dengan masalah-masalah lain dan mengusainya, karena penguasan hukum seluruhnya
merupakan keterbatasan setiap manusia. Seorang mujtahid besar sekelas Imam
Malik bin Anas pernah diajukan kepadanya 40 masalah hukum fiqh, ia mengatakan 36 masalah yang ditanyakan
kepadanya, ia jawab “saya tidak tahu” [4]
B. ITTIBA’ (اَلاِتِّبَاعُ)
1.
Pengertian
Ittiba’
Kata
‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau
menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ
تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ
.
“Menerima perkataan orang lain yang
berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ
بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika
kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’
adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
2.
Hukum
Ittiba’
Dari
pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’
bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”[5]
Hukum
ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah
perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
Ikuti apa yang diturunkan padamu
dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit
sekali kamu mengambil pelajaran.(QS. Al-A’raf:3)
Dalam
ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah.Kita telah
mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang
merubahnya.
Di
samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ
الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku
dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)
3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan
ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang
diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain,
ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi
pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a) Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan
b) Ittiba’ kepada selain Allah dan
Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا
تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu
dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin.Sedikit
sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai
ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat
perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada
Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang
dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah
Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang
punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri)
dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta
bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang
disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn
dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung
dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan
berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan
keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau
kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian,
diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan
ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu
ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan
kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian,
seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan
kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada
mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan
keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan
kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti
ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.[6]
C. TAQLID (اَلتَّقْلِيْدُ)
1.
Pengertian
Taqlid
Kata
taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”,
yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih
adalah :
قَبُوْلُ
قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima
perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan
perkataannya itu.”[7]
Ada juga ulama lain memberi
definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ الغَيْرِ
دُوْنَ حُجَّتِهِ .
“Menerima
perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi tersebut, masih
banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh
berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid
adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari
Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
2.
Hukum Taqlid
para ulama membagi hukum taqlid
menjadi tiga, yaitu:
a) Haram, yaitu taqlid kepada adat
istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada
seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat
seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b) Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid,
dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran
masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya
sementara.
c) Wajib, yaitu taqlid kepada orang
yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah
saw.[8]
3. Syarat-Syarat
Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa
dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang
ditaqlidi.[9]
Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
a) Syarat-syarat
orang yang bertaqlid
Syarat orang
yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti
hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup
menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau
baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan
ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka
menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b) Syarat-syarat
yang ditaqlid
Syarat yang
ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum
akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang
menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena
jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai
akal.
4.
Pendapat
Para Ulama Mengenai Taqlid
Muhammad
Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada
dalam masyarakat Islam.Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang
yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa
memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya
pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga
bentuk berikut ini:
a) Semata-mata mengikuti tradisi nenek
moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek
moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu
akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai
dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:
Sesungguhnya Allah melaknati
orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka
kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong.
Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata:
“alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata;
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
b) Mengikuti seseorang atau sesuatu
yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnnya
itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah
dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:
Di antara manusia ada yang mengikuti
banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah.Adapun orang-orang yang beriman
amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu-ketika
mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika
orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab
tersebut dan memutuskan segala hubungan.
c) Mengikuti pendapat seseorang,
padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah
Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:
Mereka menjadika para tokoh agama
dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak
Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada
Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi
bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya
tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah
salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak
menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah
kamu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka
mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula
mengharamkannya? [10]
Ayat
dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang
sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik
terhadap suatu golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga.Hal ini sangat
dicela oleh Allah SWT.
Akan
halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali
maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam
bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl
[16]: 43 “maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika
kamu tidak mengetahuinya”.
Namun
demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian
mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul
berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus
terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang
yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini
bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang
ditaqlidinya tadi.
Pesan Para Ulama mengenai Taqlid
Imam Abu Hanifah berkata :
“Jika
perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah
perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum
mengetahui dari mana saya berkata”.
Imam Syafi’i berkata :
“perumpamaan
orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari
kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang
mengantup, dan ia tidak tahu”.
Ibnu Mas’ud berkata :
“Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau
ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak ada tauladan
dalam hal-hal buruk”.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pengertian Ijtihad dan ittiba’ serta taqlid di
atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh
atau mengarahkan segala kemampuan. Ijtihad berfungsi sebagai
penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya
ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan
Al-Hadits. Dengan pendekatan istinbath akan diperoleh hukum Islam dari
sumber-sumbernya. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh
cara-cara pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh
pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang
fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah
satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih
kuat dengan jalan membanding.
taqlid adalah menerima perkataan
orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan
perkataannya itu.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan-kesalahan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan
pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan
makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
~ A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi
pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.
~ A. Hanafie, Ushul Fiqh,
cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.
~ Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh
dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
~ M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT
Karya Toha Putra, 2006.
~ Ali
Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002
~ Khairul
Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih
II, Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001
~ Amir
Mua’llim dan Yusdani, Ijtihad dan
Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press. 2005
~ Hakim Atang .Abd, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000
~ Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003
[1] Hakim
Atang .Abd, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000), hlm 9
[3] Amir
Mua’llim dan Yusdani, Ijtihad dan
Legislasi Muslim Kontemporer. (Yogyakarta: UII Press. 2005), hlm.
58.
[9] Yusuf
Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi
Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi
Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm.
87