MENU

Tuesday, July 26, 2016

Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid

BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang

Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum (mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan hukum dari sumber aslinya itu.

Orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan tentang “Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid”, yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan sebab terjadinya.
 
B.     Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1.       Apa yang dimaksud dengan Ijtihad, Ittiba’ dan Taqlid ?
2.       Bagaimanakah hukum-hukum dalam berIjtihad, berittiba’ maupun Taqlid ?
3.       Bagaimanakah pendapat ulama mengenai Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid ?

  C.     Tujuan

Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
1.    Memberi pemahaman tentang Pengertian Ijtihat, Ittiba’dan Taqlid, serta Perbedaan antara ketiganya dan Hukm pembagiannya.
2.    Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Fiqh Ushul Fiqh dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan Dosen Pembimbing.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    IJTIHAD (اجتهد)
1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,  ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh  Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.[1]

Ijtihad adalah suatu  alat untuk  menggali hukum  Islam, dan hukum Islam yang dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang berat kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh mendefinisikan ijtihad dengan:
اِسْتِفْرَاغُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”[2]
2. Hukum Berijtihad
Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’. Namun tidak menetapkannya sebagai suatu kepastian hukum yang harus dipegangi oleh orang lain, karena kebenarannya bersifat fiktif, artinya berkemungkinan hasil ijtihad itu bisa benar dan bisa salah.
Perintah berijtihad ini diungkapakan dalam firman Allah, dalam Q.S. al-H(asyr[59]: 2).
 فَاعْتَبِرُوْا يَا أُوْلِى الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pandangan.
3.  Syarat-Syarat Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian sebagai berikut.
Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi:
a)      baligh,
b)      berakal sehat,
c)      kuat daya nalarnya, dan
d)     beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan:
a)      mengetahui al-Quran,
b)      memahami sunnah,
c)      memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan
d)     mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dimiliki mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup:
a)      menguasai bahasa Arab,
b)      mengetahui ilmu usul al-fiqh,
c)      mengetahui ilmu mantik atau logika, dan
d)     mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup:
a)      tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi,
b)      mengetahui tempat-tempat khilafiyyah atau perbedaan pendapat, dan memelihara kesalehan dan ketaqwaan.[3]
Seorang mujtahid setidaknya harus menguasai persoalan yang berkaitan dengan masalah yang ia akan fatwakan dan masalah-masalah lain yang berkaitan. Namun mujtahid tidak dituntut mengetahui masalah-masalah fiqh yang tidak berkaitan dengan pembahasan. Seorang mujtahid mutlak (perorangan) dapat berijtihad pada masalah-masalah yang umum yang di permasalahkan orang banyak, tapi tidak menjadi syarat bagi mereka harus menguasai semua hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah lain dan mengusainya, karena penguasan hukum seluruhnya merupakan keterbatasan setiap manusia. Seorang mujtahid besar sekelas Imam Malik bin Anas pernah diajukan kepadanya 40 masalah hukum  fiqh, ia mengatakan 36 masalah yang ditanyakan kepadanya, ia jawab “saya tidak tahu” [4]
B. ITTIBA’ (اَلاِتِّبَاعُ)
  1.      Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
  2.      Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”[5]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.(QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah.Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)

  3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.

Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a)      Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b)      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin.Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

       Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.

       Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.

Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.[6]

C. TAQLID  (اَلتَّقْلِيْدُ)    

1.        Pengertian Taqlid

Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :   
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.”[7]
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :

قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ الغَيْرِ دُوْنَ حُجَّتِهِ .
“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

2.        Hukum Taqlid

para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:

a)      Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b)      Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
c)      Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.[8]

3.     Syarat-Syarat Taqlid

Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[9] Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :

a)      Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b)      Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

4.        Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam.Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.

Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:
a)      Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:
Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
b)      Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:
Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah.Adapun orang-orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang  berbuat zhalim itu-ketika mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
c)      Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:
Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kamu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula mengharamkannya? [10]

Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga.Hal ini sangat dicela oleh Allah SWT.

Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]: 43 “maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.

Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya tadi.

Pesan Para Ulama mengenai Taqlid

Imam Abu Hanifah berkata :
Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.

Imam Syafi’i berkata :
perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu”.

Ibnu Mas’ud berkata :
Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal-hal buruk”.[11]














BAB III
PENUTUP
  A.    Kesimpulan

Dari pengertian Ijtihad dan ittiba’ serta taqlid di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan  Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh  atau  mengarahkan segala kemampuan. Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan Al-Hadits. Dengan pendekatan istinbath akan diperoleh hukum Islam dari sumber-sumbernya. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh cara-cara pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.

Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.


  B.     Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.








DAFTAR PUSTAKA

~       A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.
~       A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.
~       Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
~       M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.
~       Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002
~       Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001
~       Amir Mua’llim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press. 2005
~       Hakim Atang .Abd, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000
~       Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003













[1] Hakim Atang .Abd, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000), hlm 9
[2] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 15
[3] Amir Mua’llim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. (Yogyakarta: UII Press. 2005), hlm. 58.
[4] Saifuddin Abi al-Hasan dan ‘Ali ibn Abi ‘Ali ibn Muhammad, op. cit., hlm. 310
[5] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 196.
[6] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hlm. 129-131
[7] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 195.
[8] M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006), hlm. 109-110.
[9] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 87
[10] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hlm. 134
[11] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: 1963), hlm 159.