KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KERANGKA
BERFIKIR DAKWAH”.
Shalawat
serta salam tak lupa kita kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw,
beseta keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penulisan Makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Dakwah.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima saran dan
kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan kepada semua
mahasiswa yang berada di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Arraniry Banda Aceh.
Banda
Aceh, 30 Desember
2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
............................................................................................................1
Dartar Isi
.....................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang
.........................................................................................3
B Rumusan Masalah
....................................................................................5
C Tujuan Penulisan
......................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A Pengertian Filsafat Dakwah
...................................................................... 6
B Pengertian Kerangka Berfikir...............................................................................8
C Dasar Dan Kerangka Berfikir
Yang Diturunkan Dalam AL-Qur’an........................................................................................................................8
D Langkah-Langkah
Berfikir Filosofis Berdasarkan Al-Qur’an .....................................................................................................................
14
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
..........................................................................................16
3.2 Saran
....................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................
18
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Filsafat
adalah seni bertanya, “mengapa ini begini” dan “kenapa itu begitu”. Pertanyaan
dengan demikian adalah spirit dan inti dari filsafat. Tapi, tidak juga
dapat dianggap secara sederhana jika filsafat hanya diletakkan sebagai rentetan
pertanyaan-pertanyaan tanpa solusi dan penyelesaian. Filsafat mengajarkan
banyak hal. Paling tidak, ia mengajarkan ketelitian dalam berfikir dan disiplin
dalam menjalankan kehidupan.
Al-Qur’an
menjelaskan salah satu identitas kedirian sebagai kitab hikmah dan
Al-Qur’anulhakim yaitu buku yang berarti kearifan, ilmu, dan kebijaksanaan yang
“sepadan” dengan arti filsafat, yaitu cinta ilmu dan cinta kebijaksanaan Allah
SWT. Dengan kesadaran ini, Al-Qur’an harus dipandang sebagai panutan dalam
berbagai aspek kehidupan, tidak hanya mencakup ajaran dogmatis tetapi juga ilmu
pengetahuan. Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana berfirman dalam QS.
An-nisa ayat 203 yang berbunyi:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ
كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Sekiranya
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari
mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun
kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia
Allah sangat besar atasmu. (An-nisa: 113).
Berdasarkan
ayat di atas, maka keberadaan filsafat dakwah telah diisyaratkan dalam
Al-Qur’an. Dengan demikian filsafat dakwah adalah filsafat Al-Qur’an dan
filsafat Al-Qur’an adalah filsafat dakwah, dan dapat pula disebut filsafat
Nubuwah. Oleh karena itu, segala persoalan filsafat tidak dapat dirumuskan
tanpa bersumber pada Al-Qur’an.
Berpikir
adalah cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Di kalangan ahli
mantiq sangat masyhur istilah yang mendefinisikan manusia sebagai hayawan-natiq
(hewan yang berpikir). Karena kemampuan berpikir itu pulalah manusia merupakan
makhluk yang dimuliakan Allah SWT, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an QS.
Al-Israa’ ayat 70 yang berbunyi:
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami
ciptakan." (Al-Israa': 70).
Bahkan,
amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun
adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Sebab,
dengan kemampuan berpikir, manusia akan dapat menyerap ilmu pengetahuan dan
mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah SWT
memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada
kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu, seperti yang difirmankan Allah dalam
al-baqarah ayat 31-33:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ
كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ
هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلا
مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (32) قَالَ يَا آدَمُ
أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ
أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا
تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33)
"Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda) itu seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat
sambil berkata, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang benar.' Mereka menjawab, 'Maha Suci Engkau, tiada yang kami ketahui
selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah
kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya, Allah
berfirman, 'Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan
yang kamu sembunyikan'." (Al-Baqarah: 31-33).
Islam
memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami
fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan
diri kepada Allah SWT dengan beribadah. Dengan berpikir juga, manusia
mengetahui betapa kuasanya Allah menciptakan alam semesta dengan kekuatan yang
maha dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat kecil dan tidak berarti di
hadapan Allah Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur'an
berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak
memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan
berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang
kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman,
"Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran." (Ar-Ra'd: 19)..
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Filsafat Dakwah?
2.
apa itu kerangka berfikir?
3.
Apa- Apa Saja Prinsip dasar dan kerangka berfikir yang diturunkan
dalam Al-Qur’an?
4.
Bagaimana Langkah-Langkah Berfikir Filosofis Berdasarkan
Al-Qur’an ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Filsafat Dakwah.
2.
Untuk memahami apa itu kerangka berfikir.
3.
Untuk menggetahui prinsip dasar dan kerangka berfikir
yang diturunkan dalam Al-Qur’an
4.
Untuk mengetahui langkah-langkah berfikir filosofis
berdasarkan Al-Qur`an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Dakwah
1.
Pengetian
filsafat
Secara
etimologis, filsafat diambil dari bahasa Arab, falsafah-berasal dari bahasa
Yunani, Philosophia, kata majemuk yang berasal dari kata Philos yang artinya
cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian secara
etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan.
Secara
terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang
memberikan pengertian. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut :
1. Plato (477 SM-347 SM).
Ia seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia sendiri berguru
kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles
(381SM-322SM), mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika.
3. Marcus
Tulius Cicero (106SM-43SM), seorang politikus dan ahli pidato Romawi merumuskan
filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha
untuk mencapainya.
4. Al-Farabi
(wafat 950M), seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.[1]
Jadi,
filsafat ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara
radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia.
2.
Pengertian Dakwah
Secara
bahasa dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu Da’a, Yad’u, Da’watan yang artinya
menyeru memanggil mendorong dan mengajak.
Secara
terminologi, para ulama masih berbeda pendapat mengenai definisi dakwah. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memaknai dan memandang kalimat
dakwah itu sendiri. Sebagian ulama seperti diungkapkan oleh Muhammad Abu
al-Futuh dalam kitabnya al-Madkhal ila ’Ilm ad-Da’wat mengatakan bahwa dakwah
adalah menyampaikan dan menerangkan apa yang telah dibawa oleh nabi Muhammad
SAW.[2]
Muhammad al-Khaydar Husayn dalam kitabnya ad-Da’wat ila al-Ishlah mengatakan
bahwa dakwah adalah mengajak kepada kebaikan dan petunjuk, serta menyuruh
kepada kebajikan dan melarang kepada kemungkaran agar mendapat kebahagiaan
dunia dan akhirat.[3]
Ahmad Ghalwasy dalam kitabnya ad-Da’wat al-Islamiyyat mendefinisikan dakwah
sebagai pengetahuan yang dapat memberikan segenap usaha yang bemacam-macam,
yang mengacu kepada upaya penyampaian ajaran Islam kepada seluruh manusia yang
mencakup akidah, syariat dan akhlak. Sedangkan menurut Abu Bakar Zakaria dalam
kitabnya ad-Da’wat ila al-Islam dakwah ialah kegiatan para ulama dengan
mengajarkan menusia apa yang baik bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat
menurut kemampuan mereka.
3.
Pengertian filsafat
Dakwah
Filsafat
menurut etimologi berasal dari bahasa yunani “philoshopia” yang tersusun dari
dua kata, yaitu philo : senang, gemar, cinta, dan shopia berarti kebijaksanaan,[4]
berarti philoshopia adalah suatu kecintaan kepada kebijaksanaan. Sedangkan
menurut terminology adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang
asli.
Filsafat
adalah berfikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala sesuatu sampai
kepada inti persoalan. Dakwah
yaitu mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk,
menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka mendapat kebahagiaan didunia
dan diakhirat.
Filsafat
dakwah adalah filsafat khusus yang berkaitan dengan dakwah sebagai relasi dan
aktualisasi imani manusia dengan agama Islam, Allah dan alam (lingkungan,
dunia).
B. Pengertian Kerangka Berfikir
kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi
pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan
menjadi pondasi bagi setiap pemikiran selanjutnya.
Untuk mendapatkan sebuah kerangka berpikir akan suatu hal
bukan sesuatu yang mudah, diperlukan suatu pemikiran yang mendalam, tidak
menyimpulkan hanya dari fakta yang dapat terindra, atau hanya dari sekedar
informasi-informasi yang terpenggal. Selain itu diperlukan sebuah pemikiran
yang cerdas dan mustanir (cemerlang) akan setiap maqlumat tsabiqah (informasi )
yang dimilikinya dan berupaya dengan keras menyimpulkan sesuatu kesimpulan yang
memunculkan keyakinan.
C. Dasar
Dan Kerangka Berfikir Yang Diturunkan Dalam Al-Qur’an
Secara
etimologis, ulul albab adalah golongan manusia yang menggunakan akal pikiran
dan ketundukan hatinya, (ashhab al-‘ukul), sedangkan insan nathiq adalah
manusia yang berpikir.[5]
Untuk memahami makna ulul albab dan insan nathiq, dapat ditelusuri melalui
penjelasan pencipta insan, yaitu Allah Swt dalam firman-firmannya. Pemahaman
ini akan menyadarkan manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagaimana hubungan
dirinya sendiri dengan penggunaan potensi nalar (akal) dalam memikirkan dirinya
dan segala sesuatu di luar dirinya, serta fungsi kehadirannya di persada bumi
ini. Termasuk kedalam golongan Ulul Albab adalah orang yang beriman, berilmu
dan bertaqwa kepada Allah Swt.
Prinsip
dasar kerangka berfikir yang diturunkan dari Al- Qur’an berpegang teguh pada
etika Ulul Albab yang terdiri dari 16 prinsip kerangka berfikir, yaitu:[6]
1.
Bertaqwa dan menegakan hak asasi manusia.
2.
Menjalankan ibadah haji dan menyiapkan bekal taqwa dalam kehidupannya.
3.
Mengambil pelajaran dari hikmah dalam mencari kebaikan.
4.
Memahami Al-Quran dan memehami ayat- ayatnya baik yang muhkamat maupun
yang mustasyabihat.
5.
Menjadikan ruang angkasa, geografi, meteorologi dan geofisika sebagai objek
berpikir.
6.
Bisa membedakan antar kebenaran dan keburukan, tidak tergoda oleh keburukan
dan selalu bertaqwa.
7.
Mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para Nabi dan Rasul.
8.
Memahami kebenaran mutlak yang datang dari Allah Swt.
9.
Meyakini ke-Esaan Allah dan memberi
peringatan kepada umat manusia dengan
dasar Al-Qur’an.
10. Mendalami
kandungan Al-Quran dengan mengambil berkah dan nilai- nilai
kebaikan.
11. Menggunakan
pendekatan sejarah dari nabi Zakaria dan nabi Yusuf.
12. Mensyukuri
ilmu dengan sujud atau shalat diwaktu malam dalam upaya
mendapatkan rahmat Allah
Swt.
13. Meneyeleksi
informasi terbaik dengan tolak ukur hidayah dan norma agama.
14. Memiliki
pengetahuan tentang flora dan fauna.
15. Mengambil
pelajaran dari kitab taurat.
16. Beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki kesadaran tinggi serta takut
terhadap siksanya yang dahsyat.
Tiga
aspek yaitu akal, indra dan qolb adalah merupakan objek berpikir yang
berprinsip pada ulul albab. Keseimbangan diantara akal, indra dan qolb
tersebut, dapat menghindarkan manusia dari kesalahan dan kekeliruan dalam
berpikir.[7]
1.
Akal
Kata
akal berasal dari bahasa arab al-‘aql, arti kata tersebut adalah sama dengan
al- Idrak (kesadaran) dan al-Fikr (pikiran, al- Hirj (penahan). Kata tersebut
maknanya sama. Dalam bahasa arab kata tersebut disebut mutaradif atau sinonim.
Sementara menurut Ibnu Manzur ‘aqala bermakna pula habasa berarti mengkaji,
disamping itu dengan kata- kata sejenis itu ‘aqala dikaitkan dengan kemampuan
manusia untuk mengikat fakta terutama digunakan untuk mengikat nafsu. Jadi akal
adalah kemampuan khas yang diberikan pencipta kepada manusia untuk mampu
mengikat realita yang dicerap dan diolah oleh otak dengan menggunakan informasi
sebelum kemudian dimaknai, mengolah dan mengendalikan dalam bentuk konsep
berupa perkataan, pikiran dan perbuatan.
a.
Sifat-sifat akal
Pertama,
kedudukannya adalah sesuatu yang pertama dan keesaan yang pertama dari segala
segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), maka
ada lagi yang menjadi objek pemikiran (ma’qul). Kedua, akal keluar dari yang
pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud lainnya.
Ketiga, keluarnya akal dari yang pertama tidak mempengaruhi kesempurnaannya,
demikian pula keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna. Keempat,
akal keluar dari yang pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan
atau perobahan padanya, bukan pula karena kehendak dan pilihannya karena
penetapan kehendak (iradah) berarti merusak keesaannya, sebab dengan sendirinya
(natural necessity), maka keesaan yang pertama tetap terpelihara tanpa
menimbulkan bilangan. Kelima, kedudukan akal diantar semua wujud ialah sebagai
pembuat alat. Akal ini juga mengandung ide-ide dari plato, yang bukan idea of
the good, karena idea of the good ini adalah yang mengeluarkan akal tersebut.
b.
Letak Akal
Ada
beberapa pemikir yang berpendapat menegnai keberadaan atau letak akal, sebagian
pemikir mengatakan bahwa, akal terdapat di dalam otak (kepala), sedangkan
menurut pemikir lainnya letak akal terdapat dalam hati. Selain itu, ada juga
yang berpendapat bahwa akal terdapat di dalam otak dan di dalam hati, akal dan
hati merupakan kesatuan. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah SAW bersabda :
“Bahwa akal adalah cahaya (nur) yang terdapat di dalam hati yang dapat
membedakan antara benar dan tidak benar”.
2.
Indrawi (jasmani)
Jasmani
terdiri dari badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi
dan memiliki kecenderungan biologis-primitif, dapat hancur dan rusak, tetapi
merupakan tempat penting bagi eksistensi wadahnya unsur kehidupan.
3.
Qolb (nafs)
Dalam
Mu’jam al- Wasit disebutkan bahwa salah satu makna Qolb adalah jantunng yang menjadi pusat peredaran
darah. Letak jantung berada di dada sebelah kiri. Qalb berasal dari kata qalaba
yang berarti berubah, berpindah atau berbalik, kata qalb berari hati atau
jantung. Secara fisik jantung selalu berdetak dan naik turun, bolak- balik
memompakan darah. Sedangkan secara fisik qalb berarti bolak- balik antara ya
dan tidak, yakin dan ragu ataupun tenang dan gundah.
Qolb atau
nafsani merupakan unsur penghubung antara jasmani dan rohani, karena itu ia dapat
bersifat dan berkecenderungan seperti jasmani tetapi disisi lain juga memiliki
kecenderungan dan sifat seperti ruhani. Karena itu seperti disebutkan
dalam QS.Al-Syams: 8-9, nafs adalah potensi dari Allah yang diilhami dengan dua
kecenderungan baik dan buruk, ilham fujur dan ilham taqwa yang sama-sama
memiliki tarikan yang kuat. Pada saat mengaktualkan dirinya maka nafs memiliki
tiga potensi ghorizah dan tiga pola kerja, yaitu :[8]
a.
Yang berkecenderungan kepada hal-hal yang baik, pola kerjanya bersifat
bolak-balik, lebih dekat kepada ruh, ialah qolbu, wujud fisiknya Al-Dhimagh
atau jantung, ia disebut hati atau qolb karena sifat kerjanya yang qolaba atau
bolak-balik. Qolb ini kecenderungannya pada rasa atau afektif dalam psikologi
bara.
b.
Yang berekcenderungan kepada hal buruk, pola kerjanya menyuruh sebagai daya
dorong terutama dalam eksistensi hidup, ialah nafs dalam arti sehari-hari
disebut nafsu. Meskipun begitu, sesuai potensi nafs itu sendiri memiliki
kecenderungan kepada kebaikan. Menurut TQN ada tujuh nafsu potensial, yaitu :
ammarah, lawwamah, sawiyah, muthmainnah, mardhiyah, rodhiyah, kamilah.
c. Yang
bersifat memutuskan, mengikat, menimbang dan senantiasa berpikir, inilah yang
disebut akal. Ia disebut akal karena pola kerjanya yang akala, yaitu mengikat,
menimbang, dan memutuskan. Wujud fisiknya ialah otak sebagai organ penting
untuk berpikir. Akal ini bersifat di tengah karena itu ia dapat saja cenderung
kepada nafs atau qolb tergantung siapa yang memimpin pada diri manusia itu.
Ø Kaidah-kaidah
Al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, antara
lain:[9]
1.
Tidak melampaui batas
Segala
sesuatu yang tidak dimengerti dan tidak masuk akal tidak harus dipikirkan
karena hal itu bukan tugas akal untuk memikirkannya.
2.
Membuat perkiraan dan penetapan
Sebelum
memutuskan suatu keputusan, terlebih dulu dilakukan penetapan dan perkiraan
tentang persoalan yang dipikirkan dengan teliti dan tidak tergesa- gesa.
3.
Membatasi pesoalan sebelum melakukan penelitian
Melakukan
pembatasan sebelum melakukan pembahasan adalah langkah yang penting karena
kemampuan akal itu sangatlah terbatas. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu
diluar jangkauannya tanpa ada batasan.
4.
Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran
Kebohongan
terhadap kebenaran bertentangan dengan etika islam. Jika suatu kegiatan
disertai dengan kebohongan maka kebenaran yang hakiki tidak akan tercapai dan
akan merusak pula tatanan ukhuwah islamiyah.
5.
Melakukan check dan richek
Dalam
mencari kebenaran yang hakiki maka perlu dilakukan pengkajian ulang pada objek
fikir dengan teliti.
6.
Berpegang teguh pada kebenaran hakiki
Akal harus
tunduk pada kebenaran yang mutlak dan ditopang oleh dalil- dalil yang qath’i.
7.
Menjauhkan diri dari tipu daya
Kepalsuan
yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan menipu kejernihan
dalam berfikir. Maka, upaya menjauhkan diri dari nafsu adalah hal yang sangat
penting.
8.
Mewujudkan kebenaran hakiki
Akal
adalah suatu kenikamatan yang harus disyukuri, maka cara mensyukurinya yaitu
dengan cara memperjuangkan kebenaran hakiki dalam kegiatan ilmiah.
9.
Menyerukan kebenaran hakiki
Al- Qur’an
memberikan pedoman agar akal digunakan untuk menyeru umat manusia pada
kebenaran agar memperoleh kemenangan dalam perjuangan hidupnya.
10.
Mempertahankan kebenaran hakiki
Setiap
perjuangan maka akan selalu berhadapan dengan tantangan dan rintangan yang
datang dari dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya. Oleh karena itu, manusia
diwajibkan untuk mempertahankan kebenaran hakiki. Karena apabila tidak di
perjuangkan maka kebenaran hakiki itu akan terkalahkan oleh ketidakbenaran.
Ø Mazhab-mazhab berpikir
1.
Empiricism
(mazhab Tajribi), yaitu pemikiran yang didasarkan hanya pada penggunaan potensi
indra saja dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang dihasilkannya adalah
pengetahuan indra.
2.
Rasionalism
(mazhab ‘Aqli), yaitu pengetahuan yang hanya didasarkan pada pengunaan potensi
akal. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan rasional.
3.
Criticism
(mazhab Naqdhi), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggabungan potensi
indra dan akal dalam memikirkan objek pikir.
4.
Mysticism
(mazhab Shufy), yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi nurani
dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya adalah pengetahuan mistis.[10]
D. Langkah-Langkah
Berfikir Filosofis Berdasarkan Al-Qur’an
kedudukan
dan peranan berfikir sangat penting, Al-Qur’an tidak saja memerintahkan manusia
untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah
metodologis, serta teknik penggunaan akal dengan metode dan teknis yang lurus
dan meluruskan kearah kebenaran yang hak. bahkan, jika kandungan Al-Qur’an
diteliti dan dikaji akan di temukan langkah-langkah sebagai berikut:[11]
1.
Al-taharrur
min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid, yaitu upaya menbebaskan
pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berfikir sesuai
dengan prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang demikian itu disebut metode
ilmiah praktis.
2.
Al
taamul wa al musyahadah yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data
ilmiah empirik.
3.
Al
baths wa al muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan dan
induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip-
prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang
ditemukan.
4.
Al
hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat keputusan ilmiah
yang didasarkan pada argument dan data empirik.
Ada pula
metode berpikir filsafat islam yang sudah di kembangkan oleh para filosof
muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat islam. Paling
tidak terdapat empat macam metode yang telah mereka gunakan dan dapat di gunakn
bagi filsafat dakwah yaitu sebagi berikut:
1.
Metode
deduktif, metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demontrasi(burhan)
2.
Metode
iluminasi, metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan demontrasi
juga pada usah penyucian jiwa(nafs)
3.
Metode
pencapaian irfani untuk menempuh jalan tuhan dan mendekati kebenaran,
4.
Metode
kalam, metode ini memiliki prinsip kelembutan dan mendahulukan sesuatu yang
baik. [12]
Model
pemikiran filosofis dari hakikat ilmu dakwah itu adalah ilmu yang
membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan tujuan hidup
manusia, serta meneguhkan fungsi khilafah, manusia menurut al-quran dan sunnah.
Selain
itu, ia juga menegaskan ilmu dakwah adalah ilmu perjuangan bagi umat islam dan
ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban islam. Maka metode pemikiran
filosofis dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsep Tauhidulloh. Dari
konsep ini dibangun aksiologi, epistimologi, dan metodologi keilmuan dakwah
yang mengacu pada hukum-hukum yang terdapat pada ayat kauniyah. Oleh karena itu
filsafat dakwah dapat dipahami sebagai sub sistem dari klasifikasi ilmu dalam
islam.
Langkah-langkah
berfikir filosofis berdasarkan Al-Qur’an dapat dirumuskan prinsip-prinsip
sebagai berikut:[13]
a.
Karena
kedudukan dan peranan berfikir begitu penting, Al-Qur’an tidak saja
memerintahkan manusia menggunakan akalnya tetapi juga memberikan pedoman,
langkah-langkah metodologis, serta teknis penggunaan akal dengan metode yang
lurus dan meluruskan ke arah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq)
b.
Agar
akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berfikir Al-Qur’an pun meletakan
kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal.
c.
Mengenai
al haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan dalam
kegiatan berfikir filosofis Al-Qur’an banyak meyebutkannya. bahkan penyebutan
kata al-haq tidak kurang dari 227 kali.
d.
Manusia
mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek fikir
sehingga, tak jarang terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan
berfikir.
e.
Mazhab
berfikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat di iqtibas (adopsi) secara terpadu,
tidak parsia dalam berfikir filosofis.
f.
Menggunakan
metode filsafat Islam yang sudah dikembangkan oleh para filosof muslim, sebab
filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Prinsip
dasar metode berfikir yang diturunkan dari Al- Qur’an berpegang teguh pada
etika Ulul Albab yang terdiri dari 16 prinsip yang intinya merupakan prinsip
dasar yang membangunkan dan mengembalikan manusia kepada fitri, meluruskan
tujuan hidup manusia, serta meneguhkan fungsi khalifah manusia menurut al-quran
dan sunnah. Orang yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah SWT adalah
termasuk kedalam golongan Ulul Albab. Terdapat tiga aspek yaitu aqal, indra dan
qolb yang merupakan objek berpikir yang berprinsip pada ulul albab. Keseimbangan
diantara akal, indra dan qolb tersebut, dapat menghindarkan manusia dari
kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.
Adapun
langkah-langkah berfikir filosofis berdasarkan Al-Qur’an adalah sebagai
berikut: Al-taharrur min quyud al urf wa al takhalush an aghlal al- taqlid,
yaitu upaya menbebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan
kebebasan berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan, langkah yang
demikian itu disebut metode ilmiah praktis. Al taamul wa al musyahadah yaitu
langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah empirik. Al baths wa al
muwajanah wa al istikro yaitu langkah analisis, pertimbangan dan induksi.
Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip- prinsip
penalaran untuk menemukan kebenaran ilmiah dari data- data empirik yang
ditemukan. Al hukm mabni ala al- dalil wa al burhan yaitu, langkah membuat
keputusan ilmiah yang didasarkan pada argument dan data empirik.
B.
SARAN
Al-Qur'an
berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak
memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan
berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian
untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman,
"Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran." (Ar-Ra'd: 19).
Islam
memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu sangat erat. Dalam arti,
semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada Allah SWT. Disebutkan di
dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah SWT adalah
orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya." (Faathir: 28).
Menurut
kacamata Al-Qur'an, orang-orang yang mendurhakai Allah itu karena disebabkan
"cacat intelektual". Betapapun mereka berpikir dan bahkan sebagian
mereka ada yang turut bersaham untuk mengembangkan peradaban manusia, namun
selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat
"bertakwa", maka selama itu pula mereka tetap berada dalam kategori
orang-orang yang "tidak mengerti" atau meminjam istilah Al-Qur'an
"laa yafgahuun", "laa ya'lamuun", "laa
ya'qiluun".
Ilmuwan sejati ialah ilmuwan
yang konsekuen dengan ilmunya. Siap mengubah pendirian, sikap, kepribadian,
bahkan idiologi, sesuai dengan tuntutan dan konsekuensi pengetahuannya. Jika
seorang ilmuwan bersikap jujur dengan ilmunya, ia akan sampai pada konklusi
bahwa ilmu apa pun--khususnya ilmu-ilmu empirik dan eksperimental--yang
didalami seseorang akan sampai pada kesimpulan mentauhidkan Allah dan
mengimani-Nya. Sikap ilmiah sejati tidak hanya berhenti pada pengakuan pasif,
tetapi menuntut keberanian untuk menyikapi keyakinan itu dan mempertahankannya
dari segala bentuk serangan yang dapat mengganggu stabilitas dan eksistensinya.
DAFTAR PUSTAKA
~Faizah dkk. Psikologi Dakwah. Jakarta.kencana.2009.
~Syukriadi Sambas. Filsafat Dakwah. Bandung, KP
Hadid.1999.
~http://ucanmencarimakna.blogspot.com/2011/10/filsafat-dakwah.html,
diakses tangga 13 Desember 2013
~Zulhelmi.2004.Filsafat Ilmu.Palembang:IAIN Raden Fatah
Press
~Martini,Eka.2012.Filsafat Umum.Palembang:Noer Fikri
Offset
~Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat Umum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo.
~Gee, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta : Liberty.
~Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta :
Paradigma.
~Sudiardja. 1995. Filsafat Etika. Yogyakarta: Diktat
Kuliah.
~Tafsir, Ahmad. 2001. Filsafat Umum. Bandung : PT. Remaja
Rusdakarya.