MENU

Thursday, January 28, 2016

Tujuh Dosa Besar Jurnalisme (Seven deadly sin of journalism)

Beberapa hari ini saya kembali merenung karena tulisan seorang guru saya. Dia yang saya sebut guru ini melalui tulisan-tulisannya yang sederhana dan bermakna dalam memang selalu membuat saya tertegun dan melakukan perenungan. koreksi diri istilah kerennya.
Tulisan yang membuat saya tertegun kali ini adalah ocehan di social media tentang  melakukan ‘dosa besar’ saat menjadi jurnalis. Tulisannya sontak mengingatkan saya pada sebuah buku karya bang Pepih Nugraha tentang  Citizen Journalism.  Ada bab dalam buku itu yang menyinggung khusus tentang tujuh dosa besar dalam jurnalisme[i] yang sering dilakukan, baik disadari maupun tidak, oleh seorang jurnalis. Saat saya melakukan browsing di Internet, ternyata sangat banyak ‘dosa’ itu dilakukan oleh para peselancar di dunia maya. Tidak hanya oleh para ‘citizen journalist’, tapi juga para jurnalis resmi dari institusi media resmi.  Saya bahkan mendapat kesan, mereka menulis tanpa mempertimbangkan tata sopan santun berinternet[ii] . 

 “Dosa-dosa” itu adalah:


1.       penyimpangan informasi
2.       dramatisasi fakta
3.       serangan privasi
4.       pembunuhan karakter
5.       eksploitasi seks
6.       meracuni pikiran anak
7.       penyalahgunaan kekuasaan


saya ingin merinci sedikit dosa-dosa besar yang berbahaya ini. Mudah mudahan dapat berguna bagi kita semua, mengingatkan agar lebih bijaksana saat ingin menjadi jurnalis.


1.      Penyimpangan Informasi

Kalau pewarta warga (citizen journalist) memasukan banyak opini dan informasi yang belum terverifikasi dalam tulisannya, tentu masih dapat dimaklumi, tapi jika media profesional dengan institusi resmi juga memasukkan informasi yang belum jelas, tentu itu bukan masalah sepele. Alkisah sebuah media online memberitakan tentang seorang buruh pabrik bernama Saih menemukan satu tas uang berisi 435 juta rupiah. Alih alih mengambilnya, ia malah mengembalikan kepada orang yang berhak; seorang bendahara yang menjatuhkan uang gaji karyawan perusahaan yang baru diambilnya.  Cerita berakhir happy ending, Saih diberi sepuluh juta dan sang bendahara selamat dari pemecatan. 

 Tentunya berita tersebut menarik perhatian banyak orang.  Di zaman edan seperti ini, saat sang wakil  rakyat hobi menghambur hambur uang yang diwakili, saat petugas malah memeras para pembayar pajak, dan nyaris semua hal memerlukan upeti demi kelancaran; kejujuran terasa lebih berkilau dari emas. Wajar kalau berita tersebut menyentuh hati banyak orang. 

Sayangnya berita itu ternyata tidak seluruhnya benar.

Ada banyak versi yang beredar dari media online itu. Versi yang kemudian dikutip banyak anggota forum sosial di internet (diantaranya bahkan forum kompas dan kaskus)  yang berpikir sederhana, bahwa kalau sebuah berita muncul di media massa resmi pasti sudah terverifikasi kebenarannya.  

Ceritanya makin simpang siur. Bahkan diantara sesama media online pun berbeda.  Seorang jurnalis televisi pun penasaran dan mencoba menelusuri cerita sebenarnya. Segera setelah selesai ia memberi tahu saya, bahwa cerita yang sesungguhnya berbeda. Saih, sang buruh memang benar-benar jujur mengembalikan tas yang ditemukannya. Penerimanya juga bendahara sebuah pabrik.  Itu benar. Tapi yang lainnya seperti mengarang indah.

Sebenarnya tas yang ditemukan Saih tidak berisi ratusan juta seperti kabarnya, tapi hanya berisi 900 ribu uang milik sang bendahara. Sisanya adalah slip gaji karyawan yang memang totalnya mencantumkan 400an juta.  Saih hanya menerima uang jasa sekadarnya dari sang bendahara,  bukan 10 juta rupiah. Intinya, berita awal disebuah media massa online itu menyimpangkan informasi demi sesuatu; entah dramatisasi, atau pemanjaan khayalan romantis sang reporter.

Menyakitkan buat saya yang juga sempat menjadi jurnalis, karena ini adalah institusi/media massa resmi yang membuat kesalahan ini. Dulu saya dicekoki bahwa menurut Joseph Pulitzer  salah satu ‘bapak’ jurnalisme dunia,  yang terpenting dalam jurnalisme  ada tiga hal. Yaitu:  Akurasi,  Akurasi dan Akurasi..
Penyimpangan informasi ini sangat mungkin terjadi, mungkin dalam rangka mencari dramatisasi suatu kejadian, mempertegas kesalahan salah satu pihak atau bahkan supaya menarik perhatian dan bisa ditayangkan oleh sang editor. Kesalahan ini sering dialami, dan tidak disadari oleh para jurnalis. Padahal tanpa membelokkan informasi pun, seringkali kekeliruan terjadi.  Misalnya, kalau anda membaca tulisan saya dan tidak familiar dengan berita itu, maka mungkin sekali anda akan menyangka bendahara yang saya sebut diatas adalah seorang pria. .. dan saya tidak berniat menyimpangkan informasi apapun.

Beberapa link yang saya bahas diatas ada dibawah ini:
http://forum.kompas.com/nasional/231738-contohlah-kisah-prt-di-depok-yang-temukan-rp-435-juta-mengembalikannya.html
http://www.kaskus.co.id/thread/50fe5592562acf981d000006/contohlah-kisah-prt-di-depok-yang-temukan-rp-435-juta-amp-mengembalikannya/
http://forum.detik.com/penemuan-tas-di-depok-detik-vs-okezone-400jt-vs-900rb-t613547.html

       2. dramatisasi fakta


Drama memang menarik perhatian. Baik di media tulisan ataupun (apalagi!) di media audio visual. Hal itu menyebabkan banyak orang (baca: jurnalis) berusaha mencari unsur drama dalam beritanya. Tentunya hal itu tidak dilarang, karena dalam nilai berita yang diajarkan di kampus-kampus pada para calon dosen dan jurnalis muda juga selalu ada nilai Human Interest dan Drama. Kalau ada sebuah peristiwa yang punya nilai dramatis tinggi berarti memang nilai beritanya akan ikut melonjak, Itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah saat orang berusaha menambahi drama pada sebuah berita yang fakta-faktanya sendiri kurang jelas.

Contoh paling nyata adalah berita bunuh diri, di koran atau di televisi sering ada tulisan atau narasi yang berlebihan mendramatisasikan peristiwa bunuh diri itu. Misalnya dalam tulisan di sebuah media online ini.   

PEKANBARU- Tim SAR berhasil mengevakuasi jenazah Ahmad Afandi (25) di tepian Sungai Siak, Pekanbaru, Riau. Korban diduga bunuh diri dengan terjun ke sungai karena frustasi tidak bisa melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2).
Penemuan jenazah pemuda yang baru lulus sarjana oleh tim SAR itu dibantu masyarakat sekira pukul 10.00 WIB. Jenazah ditemukan di dekat jembatan Siak III Pekanbaru atau sekira 3 kilometer dari lokasi terjunnya Afandi di Sungai terdalam di Indonesia itu.
"Korban ditemukan oleh warga tersangkut kapal dengan posisi telungkup," kata Kapolsek Sektor Kawasan Pelabuhan Pekanbaru, AKP Hermawi, Rabu (6/3/2013) di lokasi.
Kapolsek mengatakan bahwa korban terjun  ke Sungai Siak pada Minggu, 3 Maret 2013 sekira pukul 20.00 WIB.
Setelah ditemukan, tim SAR bersama pihak Kepolisian langsung mengevakuasi korban. Selanjutkan korban dibawa ke rumah duka di Perumahan Putri Tujuh,Panam Pekanbaru.
"Motif sesungguhnya mengapa korban nekat terjun masih kita selidiki," imbuhnya.
Sumber:  http://surabaya.okezone.com/read/2013/03/06/340/771999/pria-ini-bunuh-diri-karena-frustasi
Djoni Kusbiono, seorang  praktisi Periklanan, menulis: “Bohong dan dramatisasi memang jelas berbeda. Bohong berarti, fakta tersebut tidak ada alias tanpa fakta. Sedangkan dramatisasi berarti, fakta tersebut ada narnun disampaikan secara berlebihan.[iii]”

Dalam Contoh,  sang penulis seolah tahu persis alasan orang yang tewas itu membunuh diri, padahal di bagian akhir polisi pun masih mencoba menyelidiki.  Memang ada fakta bahwa orang yang mati baru lulus kuliah dan gagal mendapatkan beasiswa ke jenjang berikut. Dengan (hanya) berbekal data itu, penulis membuat dugaan bahwa itu adalah alasannya untuk bunuh diri. Ia mendramatisasi fakta yang ada.
Kalau memang ada yang menduga bahwa orang yang tewas itu bunuh diri karena tak bisa melanjutkan S2, maka sebaiknya orang yang menduga itu juga dimasukkan ke kutipan. Itu cara menulis berita yang lebih baik.

Lain lagi dramatisasi di sebuah media cetak harian yang sering dianalogikan sebagai koran kuning, dengan judul-judul provokatif dan ‘lebay’ mereka berusaha menarik minat para pembacanya.  Fenomena itu juga sempat dibahas oleh Iwan Awaluddin Yusuf dalam blog[iv]nya. Salah satu bahasannya saya kutipkan disini:
berita berjudul “Burung Mau Matuk, Istri Ngantuk, Yang Punya Burung Ngamuk” berikut.

“…Malam itu, Suminah sudah pulas tidur. Apalagi, seharian penuh mengurus rumah dan anak-anak…Suminah pun dibangunkan. Tapi karena sudah telanjur pulas, Suminah tak juga bangun. Padahal, malam itu Rahman sedang on alias sedang kepingin. Mungkin kalau Rahman itu Ahmad Dhani, dia tak ragu berteriak. “Aku sedang ingin bercinta!”.
Tapi Suminah sudah terlanjur malas. Rahman terus memaksa. Dan Suminah pun marah sambil menggerutu. Mendengar itu, rahman tak suka. Biarpun tengah malam, mereka cuek saka ribut mulut. Saling memaki dan makin lama suara mereka makin keras. Sampai akhirnya, “Plakkk!” Tangan Rahman sudah mendarat di pipi Suminah.
Kali ini Suminah tak bisa menahan air matanya. Melihat istrinya menangis. Rahman makin semangat. Dia terus memukuli Suminah seperti Mike Tyson memukuli lawan-lawannya yang gendut. Tak peduli Suminah menangis, rahman malah cuek saja memegangi tangan Suminah. Dan “Krakk” tangan Suminah pun dipelintir… (LM, 9 Agustus 2008)”
Menarik memang gaya penulisannya.  Menarik karena seolah-olah bercerita, tapi jadi mengurangi akurasi karena dramatisasi berlebihan pada fakta-fakta yang didapat. Berita mengenai sebuah kekerasan dalam rumah tangga malah menjadi cerita ringan ditangan penulis ‘berita’ ini.  Tentunya dramatisasi yang berlebihan juga terjadi di media televisi dan radio. Lihat daja, ada beberapa stasiun televisi yang tidak sungkan memberikan backsound musik pada berita-berita mereka. Kalau berita sedih maka musik pun mendayu-dayu, saat berita kriminal backsound pun berubah seperti film laga. Bahkan ada petinggi televisi berita yang beranggapan, kalau berita yang bagus harus didramatisasi... 


3.      serangan pada privasi
Pada dasarnya semua orang (bahkan penjahat, artis, koruptor dan pejabat) punya hak pribadi yang harus dihargai, sayang media massa sebagai salah satu institusi yang seharusnya paling mengerti hal itu malah kerap mengabaikannya. 

Coba saja tonton televisi saat ini, berapa banyak televisi yang dalam berita kriminalnya berusaha menutupi wajah sang tersangka pelaku kejahatan. Padahal mereka baru tersangka, belum terbukti melakukan kesalahan.  Tapi itu belum seberapa, lihat berapa banyak media televisi mengabaikan hak-hak korban kejahatan asusila, bahkan anak anak.  Walaupun mengambil wajahnya dari belakang, tapi dengan jelas menyebutkan sekolah dan kelasnya. Dengan gamblang juga memampangkan wajah sang tersangka, padahal kebanyakan tersangka pelaku adalah orang dekat korban. Belum lagi saat mewawancara ayah atau ibu korban.  Tentunya setelah menonton berita itu, semua teman dekat, tetangga, kawan sekolah dan keluarga langsung tahu siapa korban itu.

Jadi perlindungan macam apa terhadap privasi korban itu? bukannya dilindungi, ia malah menjadi korban kedua kalinya.

Saya bahkan tak mau lagi detil membahas perlakuan pekerja infotainmen kepada narasumbernya. Hakikatnya saya memang tidak menganggap teman teman itu sedang menjalankan tugas jurnalistik, jadi saya tidak akan repot repot membahas pelanggaran mereka.


4.      Pembunuhan karakter
Menurut Dr. Erman Anom, MM  pengajar komunikasi di Universitas Esa Unggul, Jakarta. Pembunuhan karakter  ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
Dalam Jurnalisme pembunuhan karakter sering terjadi saat media membahas tentang kesalahan-kesalahan seseorang atau sekelompok orang. Untuk memperkuat berita mereka, seringkali para jurnalis melakukan penyelidikan yang searah dengan bagian paling heboh dalam berita itu. 

Saat seorang dokter di sebuah rumah sakit dituduh membuat cacat seorang bayi oleh orang tua bayi itu, para jurnalis berduyun duyun datang. Mereka mulai menggali-gali keburukan dari sang dokter, rumah sakit tempat kejadian dan korban-korban lain yang pernah dikecewakan oleh rumah sakit itu. Tujuannya memang memperkuat berita yang diperoleh, tapi informasi yang dicari dengan gaya itu hanya akan menghasilkan informasi yang senada; menjelekkan dokter atau rumah sakit tersebut.  

Lain lagi kasus Aceng, sang bupati Garut. Awalnya berita tentangnya adalah kasus kawin siri yang berakhir dalam 3 hari, dan rentetan berita itu berakhir dengan cap tukang kawin dan suka melecehkan wanita.  Diluar bukti-bukti yang dikumpulkan para jurnalis, berita yang susul menyusul dan nyaris semuanya negatif tentang Aceng, telah membunuh karakternya sebagai politisi senior. Aceng yang tadinya adalah politikus yang cukup baik (terbukti bisa mencapai jenjang bupati) sampai tak lagi laku, bahkan saat mendaftar menjadi caleg sebuah parpol baru.

Sebenarnya sudah ada cara yang pas untuk mencegah terjadinya berita satu arah yang menuju pada pembunuhan karakter ini;  namanya Balance Reporting. Dengan menjalankan itu, jurnalis bisa tetap menjaga beritanya tetap benar dan berimbang.  Beri kesempatan seimbang antara berita yang positif dan negatif tentang suatu hal, biar masyarakat yang menarik kesimpulan. 


       5.       eksploitasi seks
Seks memang selalu jadi daya tarik bagi media. Tak perlu membuka majalah atau koran, cukup berjalan ke stand penjual koran dan perhatikan display mereka.  Perhatikan bahwa di hampir semua majalah dan sebagian koran ada gambar yang mengeksploitasi sensualitas. Perhatikan juga bahwa banyak judul yang dibuat bombastis, provokatif bahkan vulgar secara seksual.

Bukan hanya koran dan majalah, buka juga situs situs berita online. Buka bagian hot gossip, berita entertainmen dan selebritis.  Gambar-gambar sensual mengundang niscaya memenuhi monitor anda. Belum lagi iklan-iklan dikanan kirinya yang juga mengeksploitasi seks dan sensualitas.
Buka juga bagian berita metro. Lihat bagaimana berita pencabulan, pelecehan,  perkosaan dan razia warung remang remang selalu muncul.  Saksikan juga di berita berita televisi –terutama saat malam hari- entah kenapa berita-berita sejenis muncul. Beberapa teman produser malah yakin bahwa pria, sasaran audience berita-berita malam itu, selalu tertarik dengan kasus perkosaan, pencabulan maupun razia para pekerja seks.

Tak tahu pendapat itu benar atau tidak, tapi saya sendiri muak dan merasa jijik kalau melihat berita pencabulan murid oleh guru,  perkosaan anak oleh kenalan di facebook atau berita berita sejenis.  Menurut saya, kemunculan berita yang mengeksploitasi seks tanpa pertimbangan matang dan sekedar mencari cerita heboh, pada gilirannya akan mempengaruhi pemirsanya.
Dalam tulisan lain mengenai bunuh diri, saya menyampaikan bahwa media massa terutama televisi mampu memicu pembenaran

Siaran yang berulang-ulang tentang suatu tindakan membuat masyarakat menjadi lebih toleran, dan pada gilirannya menganggap tindakan itu layak dipertimbangkan. Bahkan seolah-olah siaran tersebut memberi ide pada orang-orang yang sudah memiliki kecenderungan menyetujui arah tindakan tersebut. Contoh sederhananya peristiwa kawin cerai di kalangan artis yang sangat sering diberitakan media, lambat laun dianggap wajar, dan bukan lagi sebuah aib bagi seorang artis untuk kawin cerai. Kalau dulu bercerai konsekuensinya sangat berat dalam masyarakat, kini kawin cerai hanya sekedar peristiwa biasa. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau yang disiarkan berulang-ulang adalah pencabulan anak oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.

       6.       meracuni pikiran anak



Seperti apa yang digolongkan meracuni pikiran anak? Kalau dari tayangan televisi saja mungkin saya akan berkata; sinetron, infotainment dan film anak-anak yang menghalalkan kekerasan, sihir dan adegan pacar-pacaran yang berlebihan antara dua anak dibawah umur.  Tapi yang sedang kita bicarakan adalah jurnalistik, jadi saya tidak akan berkata seperti itu.

Banyak sekali cara meracuni pikiran anak-anak, mulai dari iklan sampai tulisan jurnalistik. Racun yang disampaikan juga bukan hanya berbentuk pornografi atau konsumerisme, tapi juga pemakluman dan perusakan nilai/norma yang dianut anak-anak itu. Tengok beberapa contoh berita ini:

http://katakabar.com/2013/04/12/ngerihnya-negeri-ini-anak-bunuh-diri-karena-tak-bisa-sekolah
http://www.tribunnews.com/2010/07/01/anak-ancam-bunuh-diri-jika-tak-diterima-di-sekolah-favorit
http://rctinews.okezone.tv/play/42988/orang-tua-tak-punya-biaya-anak-bunuh-diri?r=241

Beberapa berita tentang anak yang bunuh diri gara-gara tak bisa sekolah, menyakiti hati saya. Berita tersebut seolah membuat anak yang bunuh diri adalah korban, dan tidak bisa sekolah adalah penyebabnya.  Berita berita seperti ini seolah menafikan bahwa sekolah adalah sesuatu yang wajib dan sangat penting, bahkan dibandingkan nyawa.  Beberapa berita yang terus di follow up, mencerminkan anak yang bunuh diri adalah korban.. tidak bersalah… terpaksa melakukan bunuh diri karena haknya sekolah tak diberikan. Luar biasa! Bunuh diri adalah salah, tak bisa sekolah bukan akhir dunia, itu nilai nilai yang ditanamkan pada saya sejak kecil.
Dan itu baru salah satu contoh. 

Jargon kuno: “bad news is good news”  membuat banyak jurnalis memilih memberitakan kesedihan kesengsaraan dengan negatif. Menghilangkan optimisme dan kemampuan berpikir positif.
Buat saya, itu juga racun yang sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa..



     7.   Penyalahgunaan kekuasaan

Disaat pemerintah Indonesia sangat peduli pada pencitraan, media masa (dan jurnalis sebagai pelakunya) mendapat suntikan kekuatan yang sangat besar. Media seperti  punya kekuatan untuk menentukan nasib seseorang. Saat seorang selebritis atau pemimpin politik terkena masalah,  media bisa jadi pemangsa yang sangat kejam atau justru tameng yang sangat kuat.
Pencitraan jadi senjata utama. Tak masalah melakukan kawin cerai, memukuli kekasih atau bahkan membohongi public, selama didukung oleh media.  

Tak heran banyak politisi berupaya memperoleh akses ke Media Massa. Penguasaan media jelas akan meningkatkan prosentase keberhasilannya. Tentunya itu adalah penyalahgunaan kekuasaan media. Rasanya bukan rahasia lagi persaingan politik dan pengaruh sudah merasuk ke media.
Akibatnya, jurnalis yang notabene hanyalah buruh di media tempatnya bekerja juga terseret. Jurnalis yang bekerja disebuah media akan dipaksa  membela pemiliknya, menghindari berita yang menyakiti pemiliknya dan mem blow up berita yang merusak saingan sang pemilik.

Contohnya? Silahkan nonton saja televisi berita….

Itu adalah 7 dosa besar Jurnalis yang sering terjadi dan masih terjadi. Saya juga tak luput dari dosa-dosa seperti itu.  Dengan mengerti dosa-dosa itu, mudah mudahan para jurnalis (baik yang memiliki institusi resmi ataupun pewarta yang warga) dapat menghindari, atau paling tidak meminimalisasi kesalahan serupa.

Mudah mudahan tulisan ini bermanfaat…


Ade Putra Setiawansyah


[i] Aslinya dimunculkan dalam tulisan karya Paul Johnson, “what is wrong with the media and how to put it right”. Dikutip dari buku Pelanggaran Etika Pers; Dewan Pers
[ii] silahkan lihat: Virginia shea. Netiquette(1994) dengan versi online di: http://www.albion.com/netiquette/book/TOC0963702513.html
[iii]  Utnuk tulisan lengkap, Silahkan buka http://www.veegraph.com/production-articles/396-dramatisasi-versus-bohong-

[iv] Blog Iwan Awaluddin yusuf yang saya maksud: http://bincangmedia.wordpress.com/2010/07/28/nasib-perempuan-dalam-balutan-dramatisasi-berita/

Tuesday, January 26, 2016

PEMBAGIAN HADITS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.

Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa dan Bagaimana Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi ?
2.      Apa dan Bagaimana Pembagian hadits dari segi kualitas ?

C. tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui apa dan bagaimana Hadits dari segi kuantitas perawi
2.      Untuk mengetahui apa dan bagaimana Pembagian hadits dari segi kualitas
           
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pembagian Hadits dari segi Kuantitas Perawi

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.[1]

1.      Hadits Mutawatir
a.       Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[2]

Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[3]

b.   Syarat Hadits Mutawatir
1)      Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2)      Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3)      Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.[4]

c.   Macam-macam mutawatir
      Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1)      Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang  ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2)      Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه البخارى ومسلم)
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam shalat istisqa’ (HR. Bukhari dan Muslim)

3)      Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1)                            Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2)                            Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[5]

2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata  wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[6]
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A.    Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضـــِرَارَ
tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”

Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
 “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1)            Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)              Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3)              Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4)              Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).

5)              Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku

6)            Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.[7]

B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.


B.  Pembagian hadits dari segi Kualitas

Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits  muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.

Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

  1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
·         Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
·         Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”


Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :

 1) sanadnya bersambung,
 2) perawinya bersifat adil,
 3) perawinya bersifat dhabith,
 4) matannya tidak syaz, dan
 5) matannya tidak mengandung ‘illat.

  1. Hadits Hasan
a.   Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ

khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.

           



Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ

Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.

kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[8]


b.   Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.




c.       Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ

“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1.      Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2.      Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d.      Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

  1. Hadits Dhaif
  1. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.

Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[9]


  1. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar :     فِيْهِ لَيِّنٌ  padanya lemah.
  1. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :


1)      tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2)      Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan,     نُقِلَ dipindahkan,     فِيْمِا يُرْوِيَ  pada sesuatu yang diriwayatkan datang. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).


  1. Pengamalan hadits dhaif

Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :

1)      Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2)      Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3)      Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :

·         Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
·         Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
·         Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

  1. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.[10]







BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.

Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.

B. Saran-saran

Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.






DAFTAR PUSTAKA

Moh. Noor Sulaiman PL, (2008) Antologi Ilmu Hadits, Jakarta :
Guang Persada Press,

Abdul Majid Khan, (2010).Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat),

Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.

Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.

Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus.

Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.






[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[2] Abdul Majid Khan, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
[3] M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
[4] Ibid, hlm. 88
[5] Ibid. Hlm. 91
[6] Ibid. Hlm. 90
[7] Ibid. hlm. 93
[8] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[9] Ibid. hlm. 164
[10] Ibid. hlm. 167.