MENU

Thursday, January 28, 2016

Tujuh Dosa Besar Jurnalisme (Seven deadly sin of journalism)

Beberapa hari ini saya kembali merenung karena tulisan seorang guru saya. Dia yang saya sebut guru ini melalui tulisan-tulisannya yang sederhana dan bermakna dalam memang selalu membuat saya tertegun dan melakukan perenungan. koreksi diri istilah kerennya.
Tulisan yang membuat saya tertegun kali ini adalah ocehan di social media tentang  melakukan ‘dosa besar’ saat menjadi jurnalis. Tulisannya sontak mengingatkan saya pada sebuah buku karya bang Pepih Nugraha tentang  Citizen Journalism.  Ada bab dalam buku itu yang menyinggung khusus tentang tujuh dosa besar dalam jurnalisme[i] yang sering dilakukan, baik disadari maupun tidak, oleh seorang jurnalis. Saat saya melakukan browsing di Internet, ternyata sangat banyak ‘dosa’ itu dilakukan oleh para peselancar di dunia maya. Tidak hanya oleh para ‘citizen journalist’, tapi juga para jurnalis resmi dari institusi media resmi.  Saya bahkan mendapat kesan, mereka menulis tanpa mempertimbangkan tata sopan santun berinternet[ii] . 

 “Dosa-dosa” itu adalah:


1.       penyimpangan informasi
2.       dramatisasi fakta
3.       serangan privasi
4.       pembunuhan karakter
5.       eksploitasi seks
6.       meracuni pikiran anak
7.       penyalahgunaan kekuasaan


saya ingin merinci sedikit dosa-dosa besar yang berbahaya ini. Mudah mudahan dapat berguna bagi kita semua, mengingatkan agar lebih bijaksana saat ingin menjadi jurnalis.


1.      Penyimpangan Informasi

Kalau pewarta warga (citizen journalist) memasukan banyak opini dan informasi yang belum terverifikasi dalam tulisannya, tentu masih dapat dimaklumi, tapi jika media profesional dengan institusi resmi juga memasukkan informasi yang belum jelas, tentu itu bukan masalah sepele. Alkisah sebuah media online memberitakan tentang seorang buruh pabrik bernama Saih menemukan satu tas uang berisi 435 juta rupiah. Alih alih mengambilnya, ia malah mengembalikan kepada orang yang berhak; seorang bendahara yang menjatuhkan uang gaji karyawan perusahaan yang baru diambilnya.  Cerita berakhir happy ending, Saih diberi sepuluh juta dan sang bendahara selamat dari pemecatan. 

 Tentunya berita tersebut menarik perhatian banyak orang.  Di zaman edan seperti ini, saat sang wakil  rakyat hobi menghambur hambur uang yang diwakili, saat petugas malah memeras para pembayar pajak, dan nyaris semua hal memerlukan upeti demi kelancaran; kejujuran terasa lebih berkilau dari emas. Wajar kalau berita tersebut menyentuh hati banyak orang. 

Sayangnya berita itu ternyata tidak seluruhnya benar.

Ada banyak versi yang beredar dari media online itu. Versi yang kemudian dikutip banyak anggota forum sosial di internet (diantaranya bahkan forum kompas dan kaskus)  yang berpikir sederhana, bahwa kalau sebuah berita muncul di media massa resmi pasti sudah terverifikasi kebenarannya.  

Ceritanya makin simpang siur. Bahkan diantara sesama media online pun berbeda.  Seorang jurnalis televisi pun penasaran dan mencoba menelusuri cerita sebenarnya. Segera setelah selesai ia memberi tahu saya, bahwa cerita yang sesungguhnya berbeda. Saih, sang buruh memang benar-benar jujur mengembalikan tas yang ditemukannya. Penerimanya juga bendahara sebuah pabrik.  Itu benar. Tapi yang lainnya seperti mengarang indah.

Sebenarnya tas yang ditemukan Saih tidak berisi ratusan juta seperti kabarnya, tapi hanya berisi 900 ribu uang milik sang bendahara. Sisanya adalah slip gaji karyawan yang memang totalnya mencantumkan 400an juta.  Saih hanya menerima uang jasa sekadarnya dari sang bendahara,  bukan 10 juta rupiah. Intinya, berita awal disebuah media massa online itu menyimpangkan informasi demi sesuatu; entah dramatisasi, atau pemanjaan khayalan romantis sang reporter.

Menyakitkan buat saya yang juga sempat menjadi jurnalis, karena ini adalah institusi/media massa resmi yang membuat kesalahan ini. Dulu saya dicekoki bahwa menurut Joseph Pulitzer  salah satu ‘bapak’ jurnalisme dunia,  yang terpenting dalam jurnalisme  ada tiga hal. Yaitu:  Akurasi,  Akurasi dan Akurasi..
Penyimpangan informasi ini sangat mungkin terjadi, mungkin dalam rangka mencari dramatisasi suatu kejadian, mempertegas kesalahan salah satu pihak atau bahkan supaya menarik perhatian dan bisa ditayangkan oleh sang editor. Kesalahan ini sering dialami, dan tidak disadari oleh para jurnalis. Padahal tanpa membelokkan informasi pun, seringkali kekeliruan terjadi.  Misalnya, kalau anda membaca tulisan saya dan tidak familiar dengan berita itu, maka mungkin sekali anda akan menyangka bendahara yang saya sebut diatas adalah seorang pria. .. dan saya tidak berniat menyimpangkan informasi apapun.

Beberapa link yang saya bahas diatas ada dibawah ini:
http://forum.kompas.com/nasional/231738-contohlah-kisah-prt-di-depok-yang-temukan-rp-435-juta-mengembalikannya.html
http://www.kaskus.co.id/thread/50fe5592562acf981d000006/contohlah-kisah-prt-di-depok-yang-temukan-rp-435-juta-amp-mengembalikannya/
http://forum.detik.com/penemuan-tas-di-depok-detik-vs-okezone-400jt-vs-900rb-t613547.html

       2. dramatisasi fakta


Drama memang menarik perhatian. Baik di media tulisan ataupun (apalagi!) di media audio visual. Hal itu menyebabkan banyak orang (baca: jurnalis) berusaha mencari unsur drama dalam beritanya. Tentunya hal itu tidak dilarang, karena dalam nilai berita yang diajarkan di kampus-kampus pada para calon dosen dan jurnalis muda juga selalu ada nilai Human Interest dan Drama. Kalau ada sebuah peristiwa yang punya nilai dramatis tinggi berarti memang nilai beritanya akan ikut melonjak, Itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah saat orang berusaha menambahi drama pada sebuah berita yang fakta-faktanya sendiri kurang jelas.

Contoh paling nyata adalah berita bunuh diri, di koran atau di televisi sering ada tulisan atau narasi yang berlebihan mendramatisasikan peristiwa bunuh diri itu. Misalnya dalam tulisan di sebuah media online ini.   

PEKANBARU- Tim SAR berhasil mengevakuasi jenazah Ahmad Afandi (25) di tepian Sungai Siak, Pekanbaru, Riau. Korban diduga bunuh diri dengan terjun ke sungai karena frustasi tidak bisa melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2).
Penemuan jenazah pemuda yang baru lulus sarjana oleh tim SAR itu dibantu masyarakat sekira pukul 10.00 WIB. Jenazah ditemukan di dekat jembatan Siak III Pekanbaru atau sekira 3 kilometer dari lokasi terjunnya Afandi di Sungai terdalam di Indonesia itu.
"Korban ditemukan oleh warga tersangkut kapal dengan posisi telungkup," kata Kapolsek Sektor Kawasan Pelabuhan Pekanbaru, AKP Hermawi, Rabu (6/3/2013) di lokasi.
Kapolsek mengatakan bahwa korban terjun  ke Sungai Siak pada Minggu, 3 Maret 2013 sekira pukul 20.00 WIB.
Setelah ditemukan, tim SAR bersama pihak Kepolisian langsung mengevakuasi korban. Selanjutkan korban dibawa ke rumah duka di Perumahan Putri Tujuh,Panam Pekanbaru.
"Motif sesungguhnya mengapa korban nekat terjun masih kita selidiki," imbuhnya.
Sumber:  http://surabaya.okezone.com/read/2013/03/06/340/771999/pria-ini-bunuh-diri-karena-frustasi
Djoni Kusbiono, seorang  praktisi Periklanan, menulis: “Bohong dan dramatisasi memang jelas berbeda. Bohong berarti, fakta tersebut tidak ada alias tanpa fakta. Sedangkan dramatisasi berarti, fakta tersebut ada narnun disampaikan secara berlebihan.[iii]”

Dalam Contoh,  sang penulis seolah tahu persis alasan orang yang tewas itu membunuh diri, padahal di bagian akhir polisi pun masih mencoba menyelidiki.  Memang ada fakta bahwa orang yang mati baru lulus kuliah dan gagal mendapatkan beasiswa ke jenjang berikut. Dengan (hanya) berbekal data itu, penulis membuat dugaan bahwa itu adalah alasannya untuk bunuh diri. Ia mendramatisasi fakta yang ada.
Kalau memang ada yang menduga bahwa orang yang tewas itu bunuh diri karena tak bisa melanjutkan S2, maka sebaiknya orang yang menduga itu juga dimasukkan ke kutipan. Itu cara menulis berita yang lebih baik.

Lain lagi dramatisasi di sebuah media cetak harian yang sering dianalogikan sebagai koran kuning, dengan judul-judul provokatif dan ‘lebay’ mereka berusaha menarik minat para pembacanya.  Fenomena itu juga sempat dibahas oleh Iwan Awaluddin Yusuf dalam blog[iv]nya. Salah satu bahasannya saya kutipkan disini:
berita berjudul “Burung Mau Matuk, Istri Ngantuk, Yang Punya Burung Ngamuk” berikut.

“…Malam itu, Suminah sudah pulas tidur. Apalagi, seharian penuh mengurus rumah dan anak-anak…Suminah pun dibangunkan. Tapi karena sudah telanjur pulas, Suminah tak juga bangun. Padahal, malam itu Rahman sedang on alias sedang kepingin. Mungkin kalau Rahman itu Ahmad Dhani, dia tak ragu berteriak. “Aku sedang ingin bercinta!”.
Tapi Suminah sudah terlanjur malas. Rahman terus memaksa. Dan Suminah pun marah sambil menggerutu. Mendengar itu, rahman tak suka. Biarpun tengah malam, mereka cuek saka ribut mulut. Saling memaki dan makin lama suara mereka makin keras. Sampai akhirnya, “Plakkk!” Tangan Rahman sudah mendarat di pipi Suminah.
Kali ini Suminah tak bisa menahan air matanya. Melihat istrinya menangis. Rahman makin semangat. Dia terus memukuli Suminah seperti Mike Tyson memukuli lawan-lawannya yang gendut. Tak peduli Suminah menangis, rahman malah cuek saja memegangi tangan Suminah. Dan “Krakk” tangan Suminah pun dipelintir… (LM, 9 Agustus 2008)”
Menarik memang gaya penulisannya.  Menarik karena seolah-olah bercerita, tapi jadi mengurangi akurasi karena dramatisasi berlebihan pada fakta-fakta yang didapat. Berita mengenai sebuah kekerasan dalam rumah tangga malah menjadi cerita ringan ditangan penulis ‘berita’ ini.  Tentunya dramatisasi yang berlebihan juga terjadi di media televisi dan radio. Lihat daja, ada beberapa stasiun televisi yang tidak sungkan memberikan backsound musik pada berita-berita mereka. Kalau berita sedih maka musik pun mendayu-dayu, saat berita kriminal backsound pun berubah seperti film laga. Bahkan ada petinggi televisi berita yang beranggapan, kalau berita yang bagus harus didramatisasi... 


3.      serangan pada privasi
Pada dasarnya semua orang (bahkan penjahat, artis, koruptor dan pejabat) punya hak pribadi yang harus dihargai, sayang media massa sebagai salah satu institusi yang seharusnya paling mengerti hal itu malah kerap mengabaikannya. 

Coba saja tonton televisi saat ini, berapa banyak televisi yang dalam berita kriminalnya berusaha menutupi wajah sang tersangka pelaku kejahatan. Padahal mereka baru tersangka, belum terbukti melakukan kesalahan.  Tapi itu belum seberapa, lihat berapa banyak media televisi mengabaikan hak-hak korban kejahatan asusila, bahkan anak anak.  Walaupun mengambil wajahnya dari belakang, tapi dengan jelas menyebutkan sekolah dan kelasnya. Dengan gamblang juga memampangkan wajah sang tersangka, padahal kebanyakan tersangka pelaku adalah orang dekat korban. Belum lagi saat mewawancara ayah atau ibu korban.  Tentunya setelah menonton berita itu, semua teman dekat, tetangga, kawan sekolah dan keluarga langsung tahu siapa korban itu.

Jadi perlindungan macam apa terhadap privasi korban itu? bukannya dilindungi, ia malah menjadi korban kedua kalinya.

Saya bahkan tak mau lagi detil membahas perlakuan pekerja infotainmen kepada narasumbernya. Hakikatnya saya memang tidak menganggap teman teman itu sedang menjalankan tugas jurnalistik, jadi saya tidak akan repot repot membahas pelanggaran mereka.


4.      Pembunuhan karakter
Menurut Dr. Erman Anom, MM  pengajar komunikasi di Universitas Esa Unggul, Jakarta. Pembunuhan karakter  ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Praktek ini biasanya dilakukan dengan mengeksploitasi, menggambarkan dan menonjolkan segi/sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
Dalam Jurnalisme pembunuhan karakter sering terjadi saat media membahas tentang kesalahan-kesalahan seseorang atau sekelompok orang. Untuk memperkuat berita mereka, seringkali para jurnalis melakukan penyelidikan yang searah dengan bagian paling heboh dalam berita itu. 

Saat seorang dokter di sebuah rumah sakit dituduh membuat cacat seorang bayi oleh orang tua bayi itu, para jurnalis berduyun duyun datang. Mereka mulai menggali-gali keburukan dari sang dokter, rumah sakit tempat kejadian dan korban-korban lain yang pernah dikecewakan oleh rumah sakit itu. Tujuannya memang memperkuat berita yang diperoleh, tapi informasi yang dicari dengan gaya itu hanya akan menghasilkan informasi yang senada; menjelekkan dokter atau rumah sakit tersebut.  

Lain lagi kasus Aceng, sang bupati Garut. Awalnya berita tentangnya adalah kasus kawin siri yang berakhir dalam 3 hari, dan rentetan berita itu berakhir dengan cap tukang kawin dan suka melecehkan wanita.  Diluar bukti-bukti yang dikumpulkan para jurnalis, berita yang susul menyusul dan nyaris semuanya negatif tentang Aceng, telah membunuh karakternya sebagai politisi senior. Aceng yang tadinya adalah politikus yang cukup baik (terbukti bisa mencapai jenjang bupati) sampai tak lagi laku, bahkan saat mendaftar menjadi caleg sebuah parpol baru.

Sebenarnya sudah ada cara yang pas untuk mencegah terjadinya berita satu arah yang menuju pada pembunuhan karakter ini;  namanya Balance Reporting. Dengan menjalankan itu, jurnalis bisa tetap menjaga beritanya tetap benar dan berimbang.  Beri kesempatan seimbang antara berita yang positif dan negatif tentang suatu hal, biar masyarakat yang menarik kesimpulan. 


       5.       eksploitasi seks
Seks memang selalu jadi daya tarik bagi media. Tak perlu membuka majalah atau koran, cukup berjalan ke stand penjual koran dan perhatikan display mereka.  Perhatikan bahwa di hampir semua majalah dan sebagian koran ada gambar yang mengeksploitasi sensualitas. Perhatikan juga bahwa banyak judul yang dibuat bombastis, provokatif bahkan vulgar secara seksual.

Bukan hanya koran dan majalah, buka juga situs situs berita online. Buka bagian hot gossip, berita entertainmen dan selebritis.  Gambar-gambar sensual mengundang niscaya memenuhi monitor anda. Belum lagi iklan-iklan dikanan kirinya yang juga mengeksploitasi seks dan sensualitas.
Buka juga bagian berita metro. Lihat bagaimana berita pencabulan, pelecehan,  perkosaan dan razia warung remang remang selalu muncul.  Saksikan juga di berita berita televisi –terutama saat malam hari- entah kenapa berita-berita sejenis muncul. Beberapa teman produser malah yakin bahwa pria, sasaran audience berita-berita malam itu, selalu tertarik dengan kasus perkosaan, pencabulan maupun razia para pekerja seks.

Tak tahu pendapat itu benar atau tidak, tapi saya sendiri muak dan merasa jijik kalau melihat berita pencabulan murid oleh guru,  perkosaan anak oleh kenalan di facebook atau berita berita sejenis.  Menurut saya, kemunculan berita yang mengeksploitasi seks tanpa pertimbangan matang dan sekedar mencari cerita heboh, pada gilirannya akan mempengaruhi pemirsanya.
Dalam tulisan lain mengenai bunuh diri, saya menyampaikan bahwa media massa terutama televisi mampu memicu pembenaran

Siaran yang berulang-ulang tentang suatu tindakan membuat masyarakat menjadi lebih toleran, dan pada gilirannya menganggap tindakan itu layak dipertimbangkan. Bahkan seolah-olah siaran tersebut memberi ide pada orang-orang yang sudah memiliki kecenderungan menyetujui arah tindakan tersebut. Contoh sederhananya peristiwa kawin cerai di kalangan artis yang sangat sering diberitakan media, lambat laun dianggap wajar, dan bukan lagi sebuah aib bagi seorang artis untuk kawin cerai. Kalau dulu bercerai konsekuensinya sangat berat dalam masyarakat, kini kawin cerai hanya sekedar peristiwa biasa. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau yang disiarkan berulang-ulang adalah pencabulan anak oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.

       6.       meracuni pikiran anak



Seperti apa yang digolongkan meracuni pikiran anak? Kalau dari tayangan televisi saja mungkin saya akan berkata; sinetron, infotainment dan film anak-anak yang menghalalkan kekerasan, sihir dan adegan pacar-pacaran yang berlebihan antara dua anak dibawah umur.  Tapi yang sedang kita bicarakan adalah jurnalistik, jadi saya tidak akan berkata seperti itu.

Banyak sekali cara meracuni pikiran anak-anak, mulai dari iklan sampai tulisan jurnalistik. Racun yang disampaikan juga bukan hanya berbentuk pornografi atau konsumerisme, tapi juga pemakluman dan perusakan nilai/norma yang dianut anak-anak itu. Tengok beberapa contoh berita ini:

http://katakabar.com/2013/04/12/ngerihnya-negeri-ini-anak-bunuh-diri-karena-tak-bisa-sekolah
http://www.tribunnews.com/2010/07/01/anak-ancam-bunuh-diri-jika-tak-diterima-di-sekolah-favorit
http://rctinews.okezone.tv/play/42988/orang-tua-tak-punya-biaya-anak-bunuh-diri?r=241

Beberapa berita tentang anak yang bunuh diri gara-gara tak bisa sekolah, menyakiti hati saya. Berita tersebut seolah membuat anak yang bunuh diri adalah korban, dan tidak bisa sekolah adalah penyebabnya.  Berita berita seperti ini seolah menafikan bahwa sekolah adalah sesuatu yang wajib dan sangat penting, bahkan dibandingkan nyawa.  Beberapa berita yang terus di follow up, mencerminkan anak yang bunuh diri adalah korban.. tidak bersalah… terpaksa melakukan bunuh diri karena haknya sekolah tak diberikan. Luar biasa! Bunuh diri adalah salah, tak bisa sekolah bukan akhir dunia, itu nilai nilai yang ditanamkan pada saya sejak kecil.
Dan itu baru salah satu contoh. 

Jargon kuno: “bad news is good news”  membuat banyak jurnalis memilih memberitakan kesedihan kesengsaraan dengan negatif. Menghilangkan optimisme dan kemampuan berpikir positif.
Buat saya, itu juga racun yang sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa..



     7.   Penyalahgunaan kekuasaan

Disaat pemerintah Indonesia sangat peduli pada pencitraan, media masa (dan jurnalis sebagai pelakunya) mendapat suntikan kekuatan yang sangat besar. Media seperti  punya kekuatan untuk menentukan nasib seseorang. Saat seorang selebritis atau pemimpin politik terkena masalah,  media bisa jadi pemangsa yang sangat kejam atau justru tameng yang sangat kuat.
Pencitraan jadi senjata utama. Tak masalah melakukan kawin cerai, memukuli kekasih atau bahkan membohongi public, selama didukung oleh media.  

Tak heran banyak politisi berupaya memperoleh akses ke Media Massa. Penguasaan media jelas akan meningkatkan prosentase keberhasilannya. Tentunya itu adalah penyalahgunaan kekuasaan media. Rasanya bukan rahasia lagi persaingan politik dan pengaruh sudah merasuk ke media.
Akibatnya, jurnalis yang notabene hanyalah buruh di media tempatnya bekerja juga terseret. Jurnalis yang bekerja disebuah media akan dipaksa  membela pemiliknya, menghindari berita yang menyakiti pemiliknya dan mem blow up berita yang merusak saingan sang pemilik.

Contohnya? Silahkan nonton saja televisi berita….

Itu adalah 7 dosa besar Jurnalis yang sering terjadi dan masih terjadi. Saya juga tak luput dari dosa-dosa seperti itu.  Dengan mengerti dosa-dosa itu, mudah mudahan para jurnalis (baik yang memiliki institusi resmi ataupun pewarta yang warga) dapat menghindari, atau paling tidak meminimalisasi kesalahan serupa.

Mudah mudahan tulisan ini bermanfaat…


Ade Putra Setiawansyah


[i] Aslinya dimunculkan dalam tulisan karya Paul Johnson, “what is wrong with the media and how to put it right”. Dikutip dari buku Pelanggaran Etika Pers; Dewan Pers
[ii] silahkan lihat: Virginia shea. Netiquette(1994) dengan versi online di: http://www.albion.com/netiquette/book/TOC0963702513.html
[iii]  Utnuk tulisan lengkap, Silahkan buka http://www.veegraph.com/production-articles/396-dramatisasi-versus-bohong-

[iv] Blog Iwan Awaluddin yusuf yang saya maksud: http://bincangmedia.wordpress.com/2010/07/28/nasib-perempuan-dalam-balutan-dramatisasi-berita/

No comments:

Post a Comment