Ternyata kita
tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita
bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan
objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam
benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin)
seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan
bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti
dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan
bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita
tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang
mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan
penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan
tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang
konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I”
diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita.
Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri
dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead
(1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya
adalah Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada
psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943,
gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham
Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema
utama Psikologi Humanistik.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those
physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived
from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from
experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri
adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini
boleh bersifat psikologi sosial dan fisis.
Bayangkan anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini pada
diri anda sendiri:
Bagaimana watak saya sebenarnya?
Apa yang membuat saya bahagia atau sedih?
Apa yang sangat mencemaskan saya?
Bagaimana orang lain memandang saya?
Apakah mereka menghargai atau merendahkan saya?
Apakah mereka membenci atau menyukai saya?
Bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya?
Apakah saya orang yang cantik atau jelek?
Apakah tubuh saya kuat atau lemah?
Jawaban pada tiga
pertanyaan yang pertama menunjukkan persepsi psikologis tentang diri anda;
jawaban pada tiga pertanyaan kedua, persepsi sosial tentang diri anda; dan
jawaban pada tiga pertanyaan terakhir, persepsi fisis tentang diri anda. Konsep
diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian anda tentang
diri anda. Jadi konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda
rasakan tentang diri anda. Karena itu, Anita Taylor et al. mendefinisikan
konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of
beliefs and attitudes you hold about yourself.” (1977: 98).
Dengan demikian, ada
dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Boleh jadi
komponen kognitif anda berupa “Saya ini orang bodoh”, dan komponen afektif anda
berkata “Saya senang diri saya bodoh; ini lebih baik bagi saya.” Boleh jadi
komponen kognitifnya seperti tadi tapi komponen afektifnya berbunyi “Saya malu
sekali karena saya menjadi orang bodoh.” Dalam psikologi sosial, komponen
kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga
diri (self esteem). Keduanya menurut William
D.
Brooks dan Philip
Emmert (9176: 45) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Namun
sebelum melihat bagaimana pengaruh konsep diri terhadap perilaku komunikasi
interpersonal kita akan meneliti lebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan konsep diri.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Konsep Diri Orang lain
Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis yang mencoba menjawab
misteri keberadaan, The Mystery of Being menulis tentang peranan orang lain
dalam memahami diri kita “The fact is that we can understand ourselves by
starting from the other, or from others, and only starting from them.” Kita
mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana anda
menilai diri saya akan membentuk konsep diri saya.
Harry Stack
Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan
disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati
dan menerima diri kita. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan kita,
menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangi diri
kita. S. Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956) mencoba mengkorelasikan
penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang
paling jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai ialah kecerdasan,
kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain pada dirinya.
Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain. Ternyata orang-orang
yang dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga
dalam menilai dirinya.
Artinya, harga dirinya sesuai dengan penilaian orang lain
terhadap dirinya. Eksperimen lain yang dilakukan Gergen (1965, 1972) menunjang
penemuan ini. Pada satu kelompok, subyek-subyek eksperimen yang menilai dirinya
dengan baik diberi peneguhan dengan anggukan, senyuman, atau pernyataan mendukung
pendapat mereka. Pada kelompok lain, penilaian positif tidak ditanggapi sama
sekali. Kelompok pertama menunjukkan peningkatan citra diri yang lebih baik
karena mendapat sokongan dari orang lain.
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap
diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat
dengan diri kita. George Herbert Mead (1934) menyebut mereka significant others
(orang lain yang sangat penting). Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang
tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita.
Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamainya affective others (orang
lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional). Dari merekalah,
secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian,
penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif.
Ejekan, cemoohan, dan hardikan, membuat kita memandang diri
kita secara negatif. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua
orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka
mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara
emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Anda mungkin
memasukkan di situ idola anda (bintang film, pahlawan kemerdekaan, tokoh
sejarah atau orang yang anda cintai diam-diam).
Ketika kita tumbuh dewasa,
kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan
kita. Minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya,
kakak-kakaknya, tetangganya, gurunya dan sahabat-sahabatnya. Semuanya memandang
Minah sebagai gadis yang nakal. Minah berpikir, “Saya nakal.” Ia menilai
dirinya sesuai dengan persepsi orang lain (yang significant dan tidak) tentang
dirinya. Pandangan diri anda tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap
anda disebut generalized others. Konsep ini juga berasal dari George Herbert
Mead. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti
mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Bila saya seorang ibu,
bagaimanakah ibu memandang saya. Jika saya seorang guru, bagaimana guru
memandang saya. Mengambil peran sebagai ibu, sebagai ayah, atau sebagai
generalized others disebut role taking. Role taking amat penting artinya dalam
pembentukan konsep diri.
Human Relation membahas pengertian serta aspek praktik
mengenai hubungan yang manusiawi sebagai dasar dalam melakukan komunikasi
kehumasan dengan memahami falsafah dasar human relations serta faktor-faktor
penting yang harus dilakukan dalam human relations. Human Relation juga
membahas tentang hubungan kemanusiaan, faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan
antarmanusia, komunikasi interpersonal, komunikasi manajemen, penyelesaian
masalah dalam hubungan antar pegawai.
Kegiatan human relation berupa saling perhatian, perbedaan
individu, motivasi dan harga diri kurang memuaskan karyawan, tetapi hal
tersebut tidak mengakibatkan rendahnya mutu kerja, tanggung jawab dan hasil
kerja karyawan terhadap pekerjaannya. Human relation menangani masalah dengan
cara berinteraksi dengan setiap orang lain. Seringkali, keberhasilan perusahaan
tergantung pada seberapa baik orang dapat bekerja bersama-sama. Menangani
keluhan pelanggan dan perbedaan dengan personil senior bank dalam upaya
menyelesaikan masalah dengan segera. Basa-basi sangat baik untuk
mempertimbangkan dalam Human relation.
Pada kenyataannya, manusia di samping karena kodratnya
sebagai makhluk sosial, zoon politicon. Juga senantiasa mengembangkan akan
pemikirannya. Keadaan mana akan menimbulkan hubungan antara individu yang satu
dengan individu lainnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat. Dalam membangun sebuah komunikasi yang efektif, banyak faktor yang
menjadi pendukungnya, antara lain media, waktu penyampaian, dan pilihan dan
susunan kata. Namun, yang paling mendasar adalah seberapa jauh pesan yang
disampaikan menyentuh emosi si penerima sehingga ia bergerak sejalan dan
selaras dengan isi pesan yang disampaikan, terutama bila kondisi dalam suatu
hubungan industrial telah mencapai ‘Lampu Kuning’ atau bahkan ‘Lampu Merah’.
Komunikasi yang efektif perlu dilandasi dengan hubungan
baik, adanya manfaat bagi semua pihak, terjadinya diskusi terbuka, menghindari
tindakan emosional, mengutamakan sifat sabar, banyak mendengarkan dan selalu
berbesar hati terhadap perbedaan atau tekanan, dan menghindari ungkapan ingin
menang sendiri. Sehingga tidak akan terjadi suatu konflik. Meski menurut
pandangan kaum “human relations” suatu konflik adalah sesuatu gejala yang biasa
(natural) dan tidak dapat dihindari dari setiap kelompok.
Beberapa teori hubungan antarmanusia:
1. Teori Self Disclosure
Pencetus teori ini adalah Joseph Luft. Sering disebut teori
“Johari Window” atau Jendela Johari. Para pakar psikologi kepribadian
menganggap bahwa model teoritis yang dia ciptakan merupakan dasar untuk
menjelaskan dan memahami interaksi antarpribadi secara manusiawi. Garis besar
model teoritis Jendela Johari dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
Saya tahu Saya tidak tahu
Orang lain tahu 1. TERBUKA 2. BUTA
Orang lain tidak tahu 3. TERSEMBUNYI 4. TIDAK KENAL
Jendela Johari terdiri dari 4 bingkai. Masing-masing bingkai
berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu bisa memahami diri sendiri maka
dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan
orang lain.
v Bingkai 1, menunjukkan orang yang
terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan itu disebabkan dua pihak (saya dan
orang lain) sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap, perasaan,
keinginan, motivasi, gagasan, dan lain-lain. Johari menyebutnya “bidang
terbuka”, suatu bingkai yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar
pribadi.
v Bingkai 2, adalah bidang buta. “Orang
Buta” merupakan orang yang tidak mengetahui banyak hal tentang dirinya sendiri
namun orang lain mengetahui banyak hal tentang dia.
v Bingkai 3, disebut “bidang tersembunyi”
yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal diketahui diri sendiri namun tidak
diketahui orang lain.
v Bingkai 4, disebut “bidang tidak
dikenal” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal tidak diketahui diri
sendiri dan orang lain.
Model Jendela Johari dibangun berdasarkan 8 asumsi yang
berhubungan dengan perilaku manusia. Asumsi-asumsi itu menjadi landasan
berpikir para kaum humanistik.
§ Asumsi pertama,
pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya
kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka analisis itu harus
menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
§ Asumsi kedua,
apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang hendaklah dipahami melalui
persepsi dan perasaan tertentu meskipun pandangan itu subjektif.
§ Asumsi ketiga,
perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan humanistik
terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan antara faktor
emosi dengan perilaku.
§ Asumsi keempat,
setiap individu atau sekelompok orang sering tidak menyadari bahwa
tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok
tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan
pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan
kesadaran sehingga mereka dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.
2. Social Judgement Theory (Teori Pertimbangan Sosial)
Teori ini dikembangkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog
dari Oklahoma University AS (Barker, 1987). Secara ringkas teori ini menyatakan
bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu
merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang
tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi.
Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek sosial tersebut
menerut Sherif berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang
dimiliki seseorang. Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya menjadi
”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan
persuasif yang diterimanya. Lebih jauh Sherif menegaskan bahwa tindakan
memosisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita
terjadi sesaat setelah proses persepsi. Di sini kita menimbang setiap gagasan
baru yang menerpa kita dengan cara membandingkannya dengan sudut pandang kita
saat itu.
Lalu apa rujukan yang menjadi sudut pandang seseorang dalam
menilai suatu pesan?
Menurut Sherif ada tiga rujukan yang digunakan seseorang
untuk merespons suatu stimulus yang dihadapi. Ketiganya merupakan bagian yang
saling terkait. Yang pertama disebut latitude of acceptance (rentang atau
wilayah penerimaan) yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masih dapat diterima
dan ditoleransi. Bagian kedua disebut latitude of rejection (rentang
penolakan) yang mencakup pendapat atau gagasan-gagasan yang kita tolak karena
bertentangan dengan kerangka rujukan kita (sikap dan keyakinan), dan yang
terakhir disebut latitude of noncommitment (rentang ketidakterlibatan) yang
terdiri dari pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan
tidak kita terima. Dalam rentang ketidakterlibatan ini kita tidak memiliki
opini apa-apa sehingga bersifat netral terhadap pokok permasalahan yang ada.
Disamping ketiga konsep pokok diatas, masih ada satu konsep
penting lainnya dari teori yang disebut ego-involevement yakni derajat yang
menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang.
Meskipun tiga
konsep ”latitude” yang dikemukan teori pertimbangan sosial sudah cukup memadai
dalam menjelasakan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap pesan-pesan
persuasif namun derajat penting tidaknya suatu stimulus (ego-involvement) akan
turut menentukan sejauhmana seseorang dapat dipengaruhi. Dengan kata lain makin
berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut
dapat dipengaruhi.
Dalam teori ini juga
dijelaskan adanya dua macam efek yang timbul akibat proses menilai atau
mempertimbangkan pesan yakni efek asimilasi (assimilation effect) dan efek
kontras (contrast effect). Efek asimilasi terjadi ketika seseorang menempatkan
sebuah pesan persuasif dalam rentang penerimaan dan pesan-pesan tersebut
mendekati pernyataan patokan (kerangka rujukan) yang ada. Karena pesan tersebut
mendekati pernyatan patokan, maka pesan tersebut akan diasimilasi atau dianggap
mirip dengan patokan yang ada dan dijadikan satu kelompok. Asimilasi ini
merupakan efek gelang karet, dimana setiap pernyataan baru dapat ”ditarik” mendekati
pernyatan patokan sehingga tampak menjadi lebih dapat diterima daripada keadaan
sebenarnya. Orang yang menjadi sasaran persuasi akan menilai pesan atau
pernyataan tersebut tampak sejalan dengan patokannya.
Pernyataan yang
berada dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda (kontras) dan
bertentangan dengan pernyataan patokan meskipun sebenarnya perbedaan tersebut
tidak terlalu jauh. Karena kita memperbesar perbedaan maka sebuah pesan yang
seolah-olah bertentangan sepenuhnya dengan patokan yang ada. Akhirnya pesan
tersebut kita tolak.
Asumsi-Asumsi Pokok/Konsep
Asumsi-asumsi pokok dalam social judgement theory (Teori
pertimbangan sosial) adalah:
1. Latitude of acceptance (rentang
atau wilayah Penerimaan)
Proses pertimbangan di atas menurut Sherif & Hovland
(1961) berlaku baik untuk pertimbangan fisik (misalnya; berat) maupun
pengukuran sikap. Walaupun demikian ada 2 perbedaan antara pertimbangan
terhadap situasi fisik yang bersifat obyektif dengan sikap. Dalam sikap,
individu sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu obyek dan ini
mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap obyek tersebut. Kedua,
pertimbangan sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang
lain, padahal dalam pertimbangan fisik tidak terdapat variasi yang terlalu
besar.
Perbedaan-perbedaan atau variasi antara individu ini
mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang (latitude), Garis
lintang penerimaan (latitude of acceptance) adalah rangkaian posisi sikap diterima
atau ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan (latitude of rejection)
adalah rangkaian posisi sikap yang tidak dapat diterima oleh individu. Garis
lintang ketidakterlibatan (latitude of noncommitment) adalah posisi-posisi yang
tidak termasuk dalam dua garis lintang yang pertama. Jadi individu tidak
menerima, tetapi juta tidak menolak, acuh tak acuh.
Interaksi antara garis-garis lintang inilah yang akan
menentukan sikap individu terhadap pernyataan-pernyataan tertentu dalam situasi
tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh pada garis lintang penerimaan, maka
individu akan setuku dengan pernyataan itu. Jika pernyataan itu jatuh ke garis
lintang penolakan, individu tersebut akan tidak menyetujuinya.
2. Latitute of rejection (rentang Penolakan)
Jika seseorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam
situasi yang dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri
sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau diterimanya.
Makin terlibat individu itu, maka ambang penerimaannya makin
tinggi dan makin sedikit hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin
kurang. Sebaliknya, ambang penolakan makin rendah, sehingga makin banyak
hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini makin terasa jika individu
diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa banyak pun dia
anggap perlu.
3. Latitute of noncommitment (rentang keterlibatan)
Komunikasi, menurut Sherif & Hovland, bisa mendekatkan
sikap individu dengan sikap-sikap orang lain, tetapi bisa juga malah makin
menjauhkannya. Hal ini tergantung dari posisi awal individu tersebut terhadap
posisi individu-individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan,
komunikasi akan lebih memperjelas persamaan-persamaan antara mereka dan
dekatnya posisi mereka sehinga terjadilah pendekatan-pendekatan.
Tetapi sebaliknya, jika posisi awal sudah saling berjauhan,
maka komunikasi malah akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling
menjauh. Dengan perkataan lain, jika seseorang terlibat dalam situasi isu, maka
posisinya sendiri akan dijadikannya patokan. Terhadap sikap-sikap yang tidak
jauh dari posisinya sendiri ia akan menilai ; cukup beralasan, dapat dimengerti
dan sebagainya.
Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati
posisi-posisi lain tersebut. Sebaliknya, posisi-posisi yang jauh akan dinilai
tidak beralasan, kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap
dilakukan komunikasi, maka akan terjadi efek bumerang dari komunikasi itu,
yaitu posisi-posisi dari sikap-sikap itu malah akan makin menjauh.
Aplikasi
1. Melukiskan bagaimana teori
pertimbangan sosial bekerja, perhatikan sebuah eksperiman menarik yang
dilakukan oleh sekelompok peneliti tidak lama sesudah Oklahoma mengeluarkan
sebuah hukum pelarangan pada tahun 1950-an. Para peneliti itu merekrut sejumlah
orang yang sangat terlibat dalam masalah tersebut pada satu sisi atau sisi
lainnya, dan sejumlah orang yang keterlibatannya dalam masalah itu
sedang-sedang atau sedikit saja. Mereka menemukan bahwa mereka yang
keterlibatan egonya besar dan ekstrim pendapatnya memiliki rentang penolakan
yang lebih jauh lebih besar daripada mereka yang keterlibatan egonya
sedang-sedang saja, dan para subyek yang sedang-sedang saja tadi memiliki
rentang non komitmen yang jauh lebih besar ketimbang mereka yang pendapat
ekstrim. Menariknya, ketika diberi pesan moderat yang sama, mereka yang ekstrim
menilainya sebagai sesuatu yang jauh lebih ke arah sisi non pelarangan
dibanding subyek-subyek lain, sebaliknya mereka lebih ”lunak” menilainya lebih
mengarah pada sisi pelarangan ketimbang subyek-subyek lainnya. Dengan kata
lain, kedua kelompok yang berlawanan tersebut memuat sebuah efek tentangan.
Secara umum perubahan sikap yang dialami oleh mereka yang sedang-sedang saja
setelah mendengar pesan tentang masalah tersebut mengalami perubahan sikap yang
kira-kira dua kali lebih besar daripada mereka yang sangat terlibat dalam
masalah itu.
2. Rentang penerimaan dan penolakan
seseorang dipengaruhi oleh sebuah variabel kunci keterlibatan ego. Keterlibatan
ego adalah tingkat relevansi personal dari suatu masalah. Ini adalah tingkatan
sejauh mana sikap seseorang terhadap sesuatu masalah mempengaruhi konsep diri,
atau tingkat penting yang diberikan pada masalah itu. Sebagai contoh, anda
mungkin sudah banyak membaca tentang penipisan lapisan ozon dan sudah
mempercayai bahwa ini adalah sebuah masalah serius. Jika anda belum mengalami
kesulitan pribadi apapun akibat masalah ini, ia mungkin tidak penting bagi
anda, karena keterlibatan ego anda rendah. Di lain pihak, jika anda sudah
pernah dirawat akibat kanker kulit, masalah ini akan jauh lebih melibatkan ego.
Keterlibatan ego membuat perbedaan besar dalam hal bagaimana anda merespon
pesan-pesan yang berhubungan dengan sebuah topik. Meskipun anda mungkin akan
memiliki sebuah pendapat yang lebih ekstrim tentang topik-topik di mana ego
anda terlbat, bukan selalu demikian halnya. Anda bisa mempunyai pendapat yang
biasa-biasa saja dan tetap melibatkan ego.
No comments:
Post a Comment