MENU

Tuesday, April 7, 2015

Nama : Ade putra setiawansyah
nim    :411307110
jur      :KPI
fakultas dakwah dan komunikasi uin arraniry

METODOLOGI PEMAHAMAN ISLAM

A. Pengertian

Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.

Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.

Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.[1]

B. Kegunaan Metode Pemahaman ajaran Islam

Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena amat variatif . Kondisi ini terjadi diberbagai negara termasuk Indonesia. Walau keadaan amat variatif , namun tidak keluar dari yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap berikutnya, yang menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam) sehingga setiap masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan Sunni. Paham lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan, dan saling mengahargai.

Pada tahap selanjutnya, muncul paham keIslaman bercorak tasawuf yang mengambil bentuk tarikat terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan umat mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh pemahaman keIslaman di atas diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum komprehensif. Sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru diserap sebagian sarjana yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Ali syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran , perdaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat masalah objek itu berubah, dan sebagai akibatnyakehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami tentang pentingnya metodologi sebagi faktor fundamental dalam renaisans.[2]

C. Metode Studi Ilmu Keislaman

Metode studi ilmu keislaman diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama islam. Secara ekstern, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam pluralitas agama. Pada segi normative, studi islam bersifat memihak, romantis, apologis, dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori, islam tampak sebagai disiplin ilmu.

Selanjutnya, ada pula yang disebut Sains Islam. Menurut Hussein Nasr, sains islam adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun di atas arahan nilai-nilai Islami.[3]

D. Metode Memahami Islam

Memahami berasal dari kata paham yang artinya mengerti, memaklumi dan mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati, didengarkan, dikerjakan ataupun sesuatu hal yang sedang terjadi.[4]
Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara adalah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab Alqur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali Syari’ati itu pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekuranganyang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan, tidak ada pra konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru mau beragama.[5]
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal agama Islam, juga agama-agama lain, yaitu:
1) Aspek ketuhanan
2) Aspek kenabian
3) Aspek kitab suci
4) Aspek keadaan waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidng studinya dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.[6]
Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1. Metode komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2. Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normatif.[7]

MANUSIA DAN KEBUTUHAN DOKTRIN AGAMA

A. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama

Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan membutuhkan Sang Khaliknya.[8]
Ada yang berpendapat bahwa benih agama adalah rasa takut yang kemudian melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini yang memiliki kekuatan menakutkan. Seperti yang ditulis oleh Yatimin bahwa pada masa primitif, kekuatan itu menimbulkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Ia memerinci bentuk penghormatan itu berupa:
1.       Sesajian pada pohon-pohon besar, batu, gunung, sungai-sungai, laut, dan benda alam    
lainnya.
2.        Pantangan (hal yang tabu), yaitu perbuatan-perbuatan ucapan-ucapan yang dianggap dapat mengundang murka (kemarahan) kepada kekuatan itu.
3.       Menjaga dan menghormati kemurkaan yang ditimbulkan akibat ulah manusia, misalnya  
upacara persembahan, ruatan, dan mengorbankan sesuatu yang dianggap berharga.
 agama muncul dari rasa penyesalan seseorang. Namun bukan berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan bahwa manusia membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap agama dapat disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan perlunya manusia terhadap agama sebagai kebutuhan. Ada tiga faktor yang menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:
a) Faktor Kondisi Manusia
b) Faktor Status Manusia
c) Faktor Struktur Dasar Kepribadian








B. Fungsi agama dalam kehidupan

Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga peraturan yang dibuatNya betul-betul adil. Secara terperinci agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari: aspek keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), hakkekat kemanusiaan (human nature), asal usulnya (antropologis) dan moral (ethics).[9]
Dari aspek religius, agama menyadarkan manusia, siapa penciptanya. Faktor keimananjuga mempengaruhi karena iman adalah dasar agama.[10] Secara antropologis, agama memberitahukan kepada manusia tentang siapa, darimana, dan mau kemana manusia. Dari segi sosiologis, agama berusaha mengubah berbagai bentuk kegelapan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Agama juga menghubungkan masalah ritual ibadah dengan masalah sosial. Secara psikologis, agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Dan secara moral, agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berpeilaku baik (akhlaq mahmudah).[10]

Fungsi agama juga sebagai pencapai tujuan luhur manusia di dunia ini, yaitu cita-cita manusia untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin. Dalam Al-Quran surat Thoha ayat 117-119 disebutkan:
”Maka kami berkata: “Hai Adam, Sesungguhnya Ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.
fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang diuraikan di bawah ini:
a. Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
b. Menjawab pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
c. Memainkan fungsi peranan sosial.
d. Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.

C. Rasa Ingin Tahu Manusia

Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu ketika itu yang diketahuinya hanya ”saya tidak tahu”. Tapi kemudian dengan pancaindra, akal, dan jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah, dengan coba-coba (trial and error), pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya ia menemukan pengetahuan. Namun demikian keterbatasan panca indra dan akal menjadikan sebagian banyak tanda tanya yang muncul dalam benaknya tidak dapat terjawab. Hal ini dapat mengganggu perasaan dan jiwanya dan semakin mendesak pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin gelisah ia apabila tak terjawab. Hal inilah yang disebut dengan rasa ingin tahu manusia. Manusia membutuhkan informasi yang akan menjadi syarat kebahagiaan dirinya.[11]







D. Doktrin kepercayaan agama

Dalam pemikiran kaum Marxis doktrin agama dianggap sebagai candu masyarakat yang melalaikan manusia terhadap berbagai penindasan kaum borjuis. Lantas apakah doktrin kepercayaan agama memang bersifat demikian. Pernyataan Karl Mark dilatarbelakangi oleh konteks yang demikian. Namun perlu diketahui bahwa agama terutama Islam sama sekali tidak menganjurkan manusia lalai dengan tindakan ketidak adilan yang ada di depan matanya.
Perlu diketahui juga bahwa dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuan hidupnya manusia telah dianugerahi oleh Allah dengan berbagai bekal seperti: naluri, (insting), pancaindra, akal, dan lingkungan hidup untuk dikelola dan dimanfaatkan. Fungsi dan tujuan hidup manusia adalah dijelaskan oleh agama dan bukan oleh akal. Agama justru datang karena ternyata bekal-bekal yang dilimpahkan kepada manusia itu tidak cukup mampu menemukan apa perlunya ia lahir ke dunia ini. Agama diturunkan untuk mengatur hidup manusia. Meluruskan dan mengendalikan akal yang bersifat bebas. Kebebasan akal tanpa kendali, bukan saja menyebabkan manusia lupa diri, melainkan juga akan membawa ia ke jurang kesesatan, mengingkari Tuhan, tidak percaya kepada yang gaib dan berbagai akibat negatif lainnya.
Yang istimewa pada doktrin agama ialah wawasannya lebih luas. Ada hal-hal yang kadang tak terjangkau oleh rasio dikemukakan oleh agama. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada ajaran agama (yang benar) bertentangan dengan akal, oleh karena agama itu sendiri diturunkan hanya pada orang-orang yang berakal.[12] Maka jelas bahwa manusia tidak akan mampu menanggalkan doktrin agama dalam diri mereka. Jika ada yang merasa diri mereka bertentangan dengan agama maka akalnya lah yang tidak mau berpikir secara lebih luas.
Lebih luas lagi menurut T. Jeremy Gunn ada tiga segi agama yang perlu diketahui, yaitu :
Pertama, agama sebagai kepercayaan. Agama sebagai kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan, kebenaran, atau doktrin kepercayaan. Kepercayaan terhadap agama menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam, karma, darma, atau pesan sinkretis lainnya yang menurut banyak doktrin agama mendasari realitas kehidupan.
Kedua, agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin, sedangkan agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, etnisitas, ras atau Kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.
Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life). Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk salat lima waktu, mengharamkan daging babi, dan lain sebaginya. Dalam segi ini, keimanan berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan.

F. Doktrin Kepercayaan Agama Islam
1) Iman kepada Allah
Kalimat lailaha illa Allah atau sering disebut kalimat thoyyibah adalah suatu pernyataan pengakuan terhadap keberadaan Allah yang Maha Esa, tiada tuhan selain Dia (Allah). Ia merupakan bagian lafadz dari syahadatain yang harus diucapkan ketika akan masuk Islam yang merupakan refleksi dari tauhid Allah ynag menjadi inti ajaran Islam.
a. Argumen keberadaan Allah
b. Kemustahilan menemukan zat Allah




2) Iman kepada malaikat kitab dan rasul Allah
a. malaikat Allah
b. kitab-kitab Allah
c. Rasul-rasul Allah
Doktrin islam mengajarkan agar setiap muslim beriman kepad rasul yang diutus oleh Allah tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya.[13]

 BEBERPA PRINSIP DASAR EPISTEMOLOGY ISLAM

 A. Pengertian Epistemologi dan Islam
a.  Pengertian Epistemologi
      Menurut Harun Nasution, pengertian epistemologi ; episteme berarti pengetahuan dan epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan.[14]
Selanjutnya, Drs. R.B.S. Furdyartanto memberikan pengertian epistemologi sebagai berikut; Epistemologi berarti : ilmu filsafat tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan. 
Dari pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:
1)      Filsafat yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
2)      Metode yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
3)      Sistem yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

b.  Pengertian Islam
Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Menurut bahasa, kata islam berasal dari kata yang mempunyai arti, yaitu keselamatan, perdamaian, dan penyerahan diri kepada Allah SWT.[15]
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan. Senada dengan itu Nurcholis Majid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam.
Pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali dapat dipahami dari Firman Allah yang terdapat pada ayat 208 surat Al-Baqarah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami dari ayat 61 surat al-Anfal yang artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dari uraian diatas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh tunduk, taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Harun Nasution mengatakan bahwa Islam menurut istilah (islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajawan yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu, maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dua ajaran pokoknya, yaitu kesesaan Allah dan Kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka kata Islam menurut istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad SAW. Posisi Nabi dalam ajaran Islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam nabi terlibat dalam member keterangan, penjelasan, uraian, dan contoh prakteknya. Namuan keterlibatan ini masih dalam batas-batas yang dibolehkan Tuhan.[16]

 B. Sumber Pengetahuan (Wahyu, Akal dan Rasa)
Bagi yang mengaku dirinya muslim sumber utamanya adalah wahyu atau al-Quran sebagai sumber absolut yang berasal dari Tuhan semesta alam. Wahyu menempati posisi absolut karena bersumber dari yang absolut pula. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar dan kebenarannnya tidak dapat dibantah manusia. Hampir setiap penilaian terhadap sesuatu senantiasa merujuk kepada wahyu tersebut. Wahyu yang menekankan ketiga sumber tersebut dan mengingatkan manusia tentang ketertinggalan dan kemunduran untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran tidak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri yang lalai dan malas menggunakan semua potensi- potensi yang telah dianugerahkan kepada mereka atau pengetahuan itu tidak menghampiri manusia karena ada hijab (batas) yang menghalanginya.
Di kalangan kaum muslimin ada dua tipe pemikiran dalam memahami wahyu itu sebagai sumber. Pertama, sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah dan kedua, sebagai sumber petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kedalam kelompok yang pertama sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi dan Quraish Shihab termasuk kelompok yang kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada diantara kedua kelompok tersebut, ia menekankan wahyu itu sebagai petunjuk bagi manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa menggunakan indra, akal dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri.
Sumber pengetahuan yang lain adalah akal yang mempunyai fungsi sangat besar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Posisinya sangat tinggi dalam Islam, ia berpotensi sebagai alat untuk berfikir, memahami dan mengambil kesimpulan, khususnya dikalangan para filosof dibagi kepada dua yakni aktif dan teoritis dengan fungsinya masing-masing. Akal aktif berkaitan dengan etika, sedangkan yang pokok akal teoritis merupakan fakultas pemahaman.
Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa , yang tidak dimiliki oleh hewan yakni akal. Akal mempunyai kemampuan bertanya secara kritis. Kelebihan yang paling istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat pengetahuan, indra tentu sangat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indra adalah sumber awal mengenal alam sekeliling kita. Bahkan satu riwayat menyatakan : “apabila seorang manusia kehilangan salah satu indranya, maka ia telah kehilangan setengah ilmu”. Melalui mata manusia menangkap hal-hal yang tampak apakah bentuk, keberadaan, sifat atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga dapat mendengar suara. Demikian juga dengan indra perasa, kita bisa mengenal dimensi yang lain lagi dari objek-objek dunia yaitu rasa, (masam, manis , asam, pahit dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat dan didengar oleh mata dan telinga .Indra peraba untuk memegang. Tak kalah pentingnya juga indra penciuman yang dapat menyerap aspek lain dari objek-objek fisik yaitu bau Setelah melihat fungsi indra sangat besar pengaruhnya untuk mendapatkan pengetahuan. Persoalan sekarang, cukupkah indra memenuhi kebutuhan akan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya?. Apakah misalnya penglihatan manusia telah mampu memberikan pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan, bintang ? Sepintas bisa dijawab ya, dapat dikatakan langit itu biru dan bintang itu kecil. Namun apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagaimana adanya atau semata-mata kesan yang tercerap oleh mata belaka?. Apakah kesan-kesan inderawi itu sama dengan kenyataan? tidak, ternyata indra itu terbatas. Banyak dorongan dan perintah bagi kaum muslimin dalam Alquran untuk mengadakan pengamatan (observasi) dengan indera juga penalaran dalam memahami alam.

C. Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam
Pandangan Islam akan kebenaran merujuk kepada landasan keimanan dan keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada Al-Qur’an. Sebagaimana yang diutarakan oleh fazrur rahman bahwa semangat dasar dari Al-qur’an adalah semangat moral, ide-ide keadilan social dan ekonomi. Hokum moral adalah abadi, ia adalah “perintah Allah”. Manusia tak dapat membuat dan memusnahkan hokum moral : ia harus menyerahkan diri kepadanya. Pernyataan ini dinamakan Islam dan Implementasinya dalam kehidupan di sebut Ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi hokum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.
Dalam kajian epistemologi Islam dijumpai beberapa teori tentang kebenaran :
a.Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu benar adalah apabila terdapat suatu fakta bersesuaian, yang beralasan dengan realitas, yang serasi dengan situasi actual, maka kebenaran adalah sesuai fakta dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal yang diberinya interpretasi.
b.Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang baik dengan putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benar terlebih dahulu, jadi sesuatu itu benar, hubungan itu saling berhubungan dengan kebenaran sebelumnya.
c.Teori Prakmatis
Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau semata-mata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.[17]
         
  D. Peranan dan Fungsi Pengetahuan Islam

Ilmu atau pengetahuan dalam Islam mempunyai peran dan fungsi yang cukup penting. Tak dapat dipungkiri keberadaan ilmu menempati posisi sangat tinggi karena mempunyai peran dan pengaruh cukup besar pada perkembangan, perubahan dan kemajuan umat manusia.
Jalaluddin Rakhmat mengungkap peran penting ilmu menurut Islam antara lain :
1. Ilmu pengertahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab akibat dan tujuan dialam semesta. Dalam banyak ayat Alquran dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh pengurus dan pencipta yang tunggal, karena itu tidak pernah ada kerancuan (tahafut) di dalamnya. Alam bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk main-main dan bukan perbuatan sia-sia. Keteraturan dalam ilmu biasanya disebut hukum-hukum yang terdapat dalam afaq disebut alquran sebagai qadar atau takdir sedangkan aturan dalam anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah.
2. Ilmu harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang dan segala yang langit dan dibumi untuk manusia.
3. Ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan kerusakan baik afaq atau anfus.
Adapun fungsi ilmu menurut RBS. Fubyartana sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari antara lain:
1.          fungsi Deskriptis : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu obyek atau masalah
sehingga mudah dipelajari oleh peneliti
2.          Fungsi pengembangan : Melanjutkan hasil penemuan yang lalu yang menemukan hasil ilmu
pengetahuan yang baru
3.          Fungsi prediksi : meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat  mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya
        4.     Fungsi kontrol : berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.

Dalam Ensiklopedi, Dawam Raharjo menyatakan satu fungsi ilmu yakni, perbaikan atau pembaharuan, dalam istilah Alquran “ishlah” .Mahdi Ghulsyani menerangkan manfaat ilmu antara lain :
1.      Ilmu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang akan Allah.
2.      Ilmu dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan  
         tujuan-tujuannya.
3.      Dapat membimbing orang lain.
4.      Dapat memecahkan berbagai problem masyarakat.
pandangan Murtadha Muthahhari, Quraisy Shihab menyingkap hubungan penting antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai berikut :
·         Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
·         Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati    
            dirinya.
·         Ilmu hiasan lahir dan agama hiasan batin
·         Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan dan agama memberi harapan dan dorongan
            bagi jiwa
·         Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab yang
            dimulai dengan “mengapa”.
·         Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama selalu menenangkan jiwa
            pemeluknya yang tulus.[18]







 DEFENISI ISLAM DAN SUMBER AJARAN ISLAM
A. Definisi Islam
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua definisi:

1. Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka definisi Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi defnisi ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah SWT. atas semua yang telah ditentukan dan ditakdirkan.[19]

“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]

2. Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan hartanya[20], baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati [21].
Sebagaimana firman Allah SWT:

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat: 14]

B. Sumber Ajaran Islam

1.  Al-Qur’an
a.Pengertian Al-Qur’an
Etimologi  =  Al-Qur’an –> Qara’a – Yaqra’u – Qur’anan yang berarti bacaan.

Terminologi  =  Al-Qur’an adalah Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam Mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah.

Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, 13 tahun sebelum hijrah hingga 10 tahun setelah hijrah.

b. Fungsi Al-Qur’an

1. Sebagai pedoman hidup.
2. Sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah swt. yang terdahulu.
3. Sebagai sarana peribadatan.

c. Kandungan Al-Qur’an

1. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah swt., malaikat, rasul, hari akhir, qadha dan qadar, dan
     sebagainya.
2. Prinsip-prinsip syari’ah baik mengenai ibadah khusus maupun ibadah umum sepertiperekonomian,   
     pemerintahan, pernikahan, kemasyarakatan dan sebagainya.
3. Janji dan ancaman.
4. Kisah para nabi dan Rasul Allah swt. serta umat-umat terdahulu ( sebagai i’tibar / pelajaran ).
5. Konsep ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang masalah ketuhanan ( agama ), manusia, masyarakat   
    maupun tentang alam semesta.

2.  As-Sunnah

a. Pengertian As-Sunnah / Hadits
Etimologi  =  jalan / tradisi, kebiasaan, adat istiadat, dapat juga berarti undang-undang yang berlaku.
T              erminologi  =  berita / kabar, segala perbuatan, perkataan dan takrir ( keizinan / pernyataan ) Nabi Muhammad saw.

b. Kedudukan As-Sunnah / Hadits

As-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an.
Apabila as-Sunnah / Hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti :
1.       Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji, mengeluarkan Zakat dan lain sebagainya, karena ayat al-
Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, sedangkan yang menjelaskan secara rinci adalah as-Sunnah / Hadits.
2.       Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, untuk menghindari penafsiran yang subyektif dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
3.   Mengikuti pola hidup Nabi, karena dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya, sedangkan
       mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur’an.
4.  Menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan
      yang diterangkan oleh as-Sunnah / Hadits yang tidak ada dalam al-Qur’an seperti kebolehan    
       memakan bangkai ikan dan belalang, sedangkan dalam al-Qur’an menyatakan bahwa
       bangkai itu haram.

3.  Ijtihad

a.       Pengertian Ijtihad
Etimologi  =  mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha bersungguh-sungguh, bekerja semaksimal munggkin.
Terminologi  =  usaha yang sungguh-sungguh oleh seseorang ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian hukum tentang sesuatu ( beberapa ) perkara tertentu yang belum ditetapkan hukumnya secara explisit di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Mahmud Syaltut, Ijtihad atau al-Ra’yu mencakup 2 pengertian, yaitu :
1. Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-
     Qur’an dan as-Sunnah.
2. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat    
     atau Hadits.

b.      Kedudukanijtihad
Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga terikat dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Yang ditetapkan oleh Ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolut, sebab Ijtihad merupakan
     aktivitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka
     keputusan Ijtihad pun relatif.
2. Keputusan yang diterapkan oleh Ijtihad mungkin berlaku bagi seseorang, tetapi tidak berlaku bagi
     orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat, tetapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
3. Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Berijtihad mempertimbangkan faktor motivasi, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan    
     nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa ajaran Islam.
5. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan Ibadah Makhdah.


BEBERAPA PENDEKATAN STUDI ISLAM

a) Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif termasuk salah satu pendekatan studi islam yang cukup populer dikalangan umat islam. Pendapat ini dalam memahami agama dengan mengunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainya.[22]
Dengan demikian teologi adalah istilah ilmu agama yang membahas ajaran ajaran dasar dari suatu agama atau suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang diyakininya.
Pendekatan teologi dalam pendekatan pemahaman keagmaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainya adalah salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa fahamnyalah yang paling benar sedangkan yang lainya adalah salah, sehingga memandang faham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.
Sedangkan kelebihan dari pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan ini seorang akan memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang bnar tanpa memandang dan meremehkan agama lain. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.[23]

Klasifikasi atau pembidangan ilmu-ilmu agama islam erat hubungannya dengan perkembangan islam dalam sejarah. Tidak bisa dipungkiri bahwa ajaran islam mengalami perkembangan dalam sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai ke zaman kita sekarang, dan akan terus berkembang lagi pada masa depan.
Ajaran-ajaran islam tidak turun sekaligus begitu saja dari langit melainkan diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. Sesuai dengan perkembangan umat islam pada zaman beliau hidup. Alqur’an datang untuk meluruskan keyakinan manusia dengan membuat ajaran tauhid. Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada Nya. Sifat-sifat yang lebih disifatkan kepadaNya dan tentang sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari padaNya.

b) Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat di artikan sebagagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktis keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Antropologi dalam kaitan ini sebagai mana dikatakan Dewan Raharjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Penelitian antropologi yang induktif, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya pembebasan diri kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagai mana yang dilakukan dibidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang mengunakan model model matematis.

Karl marx (1818-1883) sebagai contoh melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori[i] konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Lain hanya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran protestan dengan munculnya semangat munculnya kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri yang modern yang kapitalistik.
Selanjutnya melaui pendekatan antropologis ini, kita dapat mlihat agama dalam hubunganya dengan mekanisme pengorganisasian. Seperti kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java dapat dijadikan contoh Yang baik dalam hal ini, Geertz melihat adanya klasifikasi social dalam masyarakat muslim di Java, antara santri, priyayai dan abangan.
Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraiyan dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang cabangnya.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yaknipandangan bahwa praktik praktik sosial harus diteliti dalm konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang di teliti. Para antropologis harus melihat agama dan praktik praktik pertanian, kekeluargan dan politik, magig dan pengobatan “secara bersama-sama maka agama tidak bisa dilihat sebagai system otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainya.[24]

c) Pendekatan Filosofis
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenal sebab-sebab, asas-asas, hukum dsb terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Pengertian filsafat pada umumnyadikemukakan oleh Sidi Galzaba. Menurut beliau filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik formatnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita sering menjumpai berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya yang berlainan, namun inti semua pulpen adalah sebagai alat tulis.

Berdasarkan pendekatan filosofis, Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan nilai-nilai ajaran Islam menurut konsepsi filosofis, bersumber kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendekatan filosofis ini memandang bahwa manusia
Dalam proses belajar mengajar, pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam, atau pada proses penciptaan manusia berasal, bagaimana proses kejadiannya sampai pada terciptanya bentuk manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, yaitu Allah SWT).
Dalam hal ini, Al-Qur’an benar-benar memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan pikirannya (rasio) secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selalau hamba Allah SWT, selaku makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi.
Pendekatan filosofis, Al Qur’an memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti dengan adanya pengahrgaan Allah SWT kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran (rasio). Ungkapan penghargaan tersebut terulang sebanyak 780 kali salah satu diantaranya adalah surat Al Baqarah: [2]: 269

c) Pendekatan Historis
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idialis kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idialis dengan yang ada dalam alam empiris dan historis.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya karena pemahaman demikiian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.seseorang yang ingin memahami alquran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunya alquran atau kejadian kejadian yang mengiringi turunya alquran yang selanjutnya disebut sebagai ilmu Asbab an Nuzul (ilmu tentang sebab sebab turunya ayat ayat alquran) yang pada intinya berisi sejarah turunya ayat alquran. Dengan ilmu asbabun Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.[25]
Dengan menggunakan pendekatan sejarah ada lima teori yang bisa digunakan, yaitu:
1. Idealisme approach
      Adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan   
      mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan.
2. Reductionalist approach
      Adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh
      keraguan.
3. Diakronik
     Adalah penelusuran sejarah dan perkembangan satu fenomena yang sedang diteliti.
4. Sinkronik
     Adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti.
5. Teori
     Adalah sistem nilai atau budaya.


d) Pendekatan Politis
Secara harfiah, politik dapat diartikan sebagai usaha atau rekayasa yang diatur sedemikian rupa dalam rangka mencapai tujuan. Dengan pengertian ini politik yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah al-siyasah berlaku pada semua aspek kehidupan seperti pendidikan, keluaraga, ekonomi, budaya, keagamaan, dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, politik sering dikaitkan dengan urusan pemerintahan tersebut, tampakmya yang paling menonjol dibandingkan dengan pengertian politik lainya.

Dalam sejarah islam, hububgab antara pendidikan dengan politik juga dapat dilacak pada masa-masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga-lembaga pendidikan islam, semacam marasah sepanjang sejarah terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini, misalnya, dapat dilihat dari pendirian bayak madrasah di timur tengah yang disponsori oleh penguasa publik. Contoh paling terkenal dalam hal ini adalah madrasah Nishamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar tahun1064 M oleh Wazir Nizham Dinasti saljuk, Nizam al-Mulk, di madrasah ini terkenal adanya seorang pemikir bsar al-ghozali yang menjadi salah seorang mahagurunya.

Siknifikansi dan implikasi politik dan pengembangan madrasah atau pendidikan islam, pada umumnya, bagi para penguasa muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, diantaranya untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguaa sebagai orang orang yang mempunyai kesalehan, minat, dan kepedulian kepada kepentingan umat, dan ini lebih penting lagi sebagai pembeda antara ortodoksi dan lainya. Semua ini, menurut Azyumardi Azra, pada giliranya akan memperkuat legitimasi penguasa berkaitan dengan rakyat yang mereka pimpin.[26]

SUMBER DAN KARAKTERISTIK ISLAM

A. Sumber Ajaran Islam: Primer dan Sekunder
Menurut Harun Nasution Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW.[27] Secara Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari nabi Muhammad SAW.[28] Kemudian kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alqur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alqur’an dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT.

1. Sumber Ajaran Islam Primer

a.  Alqur’an
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subni Shalih, Alqur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti ism al-maf’ul, yaitu maqru’ yang dibaca (alqur’an terjemahannya, 1990: 15). Pegertian ini merujuk pada sifat alqur’an yang difirmankan-Nya dalam alqur’an (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut Allah berfirman.
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah [75]:7-18)[29]

Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah sebagaimana berikut;
1) Al-huda (petunjuk)
Dalam al-qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi alqur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” (Q.S. ai-Baqarah [2]: 185)
2) Al-furqan (pemisah)
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
3) Al-syifa (obat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada pada dada (mungkin disini yang dimaksud adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada...” (Q.S. Yunus [10]: 57).
4) Al-mau’izah (nasihat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orangg yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 138)[30]

b.  Al-Hadis

Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat.[6] Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Dalam literatur hadis dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut kebanyakan ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun ulama’ lain ada yang membedakannya.
Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah
“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979: 27)”

Posisi dan Fungsi Hadits
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Kesepakatan mereka didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadits. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti, th. 505)

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.

Hadits berfungsi merinci danmengiterpretasi ayat-ayat al-qur’anyang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun berfungsi mengkhususkan (tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am). Fungsi ini merujuk pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga bayan tafsir. Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.

2. Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder
a. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad ialah:
Upaya seorang ahli fiqh dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).
Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi.[31]
b. Syarat-syarat Mujtahid
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.

d. Macam-macam Mujtahid
1) Mujtahid Mutlak
    Yaitu orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-Qur’an dan hadits, dan  
    seringkali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan para imam yang empat.
2) Mujtahid Mazhab
     Yaitu para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak membentuk suatu mazhab 
      tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijtihad mungkin berbeda pendapat dengan 
      imamnya.
3) Mujtahid fil Masa’il
      Yaitu orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti   
      keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mazhab.
4) Mujtahid Mugaiyyad
      Yaitu orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama salaf, dengan
       kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan pendapat-pendapat yang berbeda
       beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka memahami dalil-dalil yang
       menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti.

e. Hukum Ijtihad
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ’ain.

B. Karakteristik Islam
Istilah “karakteristik ajaran Islam” terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran Islam. Karakteristik adalah sesuatu yang mempunyai karakter atau sifatnya yang khas.[32] Islam adalah agama yang diajarkan Nabi Muhammad saw., yang berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu Allah SWT. Dari pengertian dua kata tersebut, karakteristik ajaran Islam dapat diartikan sebagai suatu ciri khas dari ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama , muamalah, yang di dalamnya termasuk ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup, dan disiplin ilmu, yang kesemuanya itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dari sini dapat dilihat bahwa Islam memiliki karakteristik yang universal sehingga mampu menjangkau lapisan masyarakat yang berlainan dan beragam model dan bentuknya. Dan dengan itulah Islm memberikan banyak solusi dalam berbagai bidang kehidupan disepanjang zaman. Dan inilah yang merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang hakiki.

1. Dalam Bidang Agama

Islam itu agama yang Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik. Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah.[33]

Hal ini diperkuat pada Qs. Al-Maidah ayat 46.
Artinya: Dan kami teruskan jejak mereka dengan mengutus ‘Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitb yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.

2. Dalam Bidang Ibadah
Ibadah dapat diartikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala yang dilarang-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang bersifat khusus dan umum. Ibadah khusus dapat diartikan sebagai apa yang telah ditetapkan Allah akan perinci-perinciannya, tingkat dan cara-caranya tertentu. Misalnya bilangan salat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah haji dan tata cara mengerjakannya. Dalam yurisprudensi Islam telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah khusus tidak boleh ada “kreativitas”, sebab yang meng”create” atau yang membentuk suatu ibadah dalam Islam dinilai sebagai bid’ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.

3. Bidang Ilmu Dan Kebudayaan
Dalam bidang ilmu, kebudayaan, dan teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka dan tidak tertutup, terbuka untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi juga harus selektif, maksudnya adalah tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan teknologi, melainkan ilmu dan teknologi yang sesuai tidak menyimpang dari ajaran Islam.

4. Bidang Pendidikan
Karakteristik Islam dalam bidang pendidikan yaitu Islam memandang pendidikan sebagai hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau peempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). Islam pu memiliki rumusan yang jelas terhadap dunia pendidikan dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana, dan lain sebagainya.

5. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, ciri khas yang diajarkan Islam yaitu ajaran yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia. Berbagai ajaran yang diajarkan Islam untuk mensejahterakan manusia antara lain sikap toleransi meskipun dengan umat yang berbeda agama, sikap tolong mnolong, kesamaan derajat, kesetiakawanan, tenggang rasa, kegotong royongan atau kebersamaan, dan lain sebagainya

6. Bidang Kehidupan Ekonomi
Islam merupakan agama yang memiliki ajaran dalam segala bidang, dalam urusan kehidupan duniapun dalam hal ini bidang ekonomi, Islam mengajarkannya untuk kesejahteraan manusia, karena Islam memandang bahwa manusia itu harus hidup seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Adapun ciri khas ekonomi Islam yaitu:[34]
a) Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam
b) Ekonomi Islam merealisasikan keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat.

C. Moralitas Islam

1. Dasar Moralitas
Dasar-dasar dalam moralitas Islam meliputi dasar-dasar agama, dimana etika Islam berakar pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad, yang prinsip-prinsip moralitas dan perilaku utamanya sangat komprehensif. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari perilaku (moralitas) utamanya, dapat kita pelajari dari pembicaraan Nabi dan Ali, sebagai berikut:[35]

“ Suatu kali Ali bertanya pada Nabi tentang prinsip-prinsip yang mendasari perilaku utamya, dan beliau menjawab: ilmu-pengetahuan adalah modalku, akal fikiran adalah dasar agamaku, cinta adalah landasanku, hasrat adalah kendaraanku, ingat kepada Allah adalah sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar adalah bajuku, pengetahuan adalah tanganku, kepuasan adalah harta rampasanku, menolak kesenangan adalah profesiku, keyakinan adalah makananku, kebenaran adalah saranaku, taat adalah perbekalanku, jihad adalah kebiasaanku dan kesenangan hatiku ialah dalam mengarjakan ibadah.”

2. Tujuan Moralitas
Islam tidak mengajarkan hidup bertapa dan hidup mewah, juga tidak memperkenalkan moralitas tanpa agama. Tujuan dari moralitas Islam ialah membuat manusia patut menduduki jabatannya, yakni membuatnya menjadi khalifah di bumi. Manusia yang demikian itu adalah ideal. Dalam hadits-hadits Nabi Muhammad, perintah-perintah moral sangat komprehensip meliputi nilai-nilai individual, sosial, fisikal, dan spiritual (ibadah) agar manusia bisa hidup bahagia di dunia ini dan di alam baka. Adapun contoh sumber moralitas dalam aspek spiritual (ibadah) yaitu sembahyang (shalat), adalah sumber utama moralitas, karena shalat mampu mengatur fikiran dan badan menuju arah yang benar. Tidak ada perbuatan yang disebut bermoral kecuali jika ia sadar dan sesuai dengan sumber moral – ketentuan-ketentuan al-qur’an dan Hadits serta motif-motif pribadi yang mempengaruhi suatu perbuatan – karena, “segala perbuatan dinilai menurut niat (maksud)nya” demikian sabda Nabi.

D. Islam dan Wacana Pembaharuan

Sebagai ormas terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dan NU memang sangat berpengaruh dalam hampir seluruh aspek kehidupan bangsa ini. Bahkan, pencitraan islam indonesia, secara langsung atau tidak senantiasa dihubungkan pada organisasi modernis, dan NU yang sama-sama memiliki jama’ah yang besar. Harapan ini tentu saja tidak berlebihan, sekalipun bukan tanpa masalah. Bahkan, masalah tersebut dapat muncul dalam internal ormas Muhammadiyah dan NU. Misalnya apakah Muhammadiyah dan NU mampu menjadi alternatif dalam menjawab persoalan – persoalan yang mumcul dihadapan hidung umat islam, ataukah Muhammadiyah dan NU berhenti dalam ijtihad sehingga masalah – masalah umat semakin menumpuk dan tidak ada jalan keluarnya.

Problem tersebut bukan hanya teologis, tetapi sekaligus kultural dan struktural. Yang mana ketiganya mengharuskan adanya sebuah proses kreatif dari Muhammadiyah dan NU, sehingga ormas islam ini mampu memberikan sumbangan yang penting dalam proses pembaharuah pemikiran islam.[36]

a. Problem Teologis

Terdapat banyak problem yang menghinggapi pada kehidupan umat beragama. problem teologis misalnya yang merupakan turunan dari ideologi. Keyakinan penganut setiap agama yang ada, sehingga tidak jarang membuahkan truth claim sebagai pemilik mutlak kebenaran tuhan, sehingga agama diluar agama yang dianut tidak lebih dari agama palsu/ bahkan agama setan.

Problem teologis ini seakan - akan mendapatkan legitimasi dari kitab suci yang dipahami secara rigit – tekstual, sehingga pemahaman atas teks suci keagamaan tidak memasukkan dimensi sosial historis yang menjadi bagian dari basis munculnya teks suci tiap-tiap agama terutama yang menyangkut pada agama ibrahim. Dan tiga agama ibrahim ini akhirnya tidak pernah lepas dari pertentangan dan bahkan perebutan wilayah dakwah- misi unntuk memperluas penganut jama’ah di tengah masyarakat.

b. Problem Kultural

Selain problem teologis, problem cultural juga menjadi bagian dari rumitnya kehidupan umat beragama yang harus direspons oleh islam. Misalnya perpindahan agama, jika kita memiliki pemahaman yang tidak stereotype tentang agama-agama. Sebenarnya perpindahan agama dapatlah dipandang sebagai sebuah proses social yang wajar, tatkala perpindahan agama dilakukan dengan cara sadar, tanpa paksaan, sebab dalam agama yang baru diyakini dapat memberikan”keberkahan” dan keselamatan, perlindugan, secara memadai atas kehidupan yang dialaminya. Perpindahan agama karena itu, bukan merupakan persoalan teologis yang menghawatirka, sebab kepenganutan agama dalam tradisi masyarakat kita, lebih dekat dengan factor keturunan dan lingkungan. Bila bapak- nenek moyang kita dan komunitas kita beragama islam, kemungkinan akan beragama islam, demikian pula jika beragama Kristen dan seterusnya, kita juga akan beragama Kristen. Pendek kata, proses internalisasi keagamaan lebih banyak dipengaruhi karna factor keturunan dan komunitasnya, bahkan teologis apalagi politik.

c. Problem Struktural

Selain problem teologis dan problem cultural, ada juga problem structural. misalnya, problem dominannya keterlibatan negara dalam urusan agama, yakni adanya kompilasi hukum islam yang mengatur tentang kehidupan umat beragama, tidak saja umat islam. Sebab dalam kompilasi hukum islam mengatur pula tentang boleh tidaknya perkawinan antar- agama, hak perwalian, hak pewaisan, dan hak pengadopsian anak.
sebagai agama yang memiliki kebenaran, tetapi kebenaran tersebut lebih rendah dari kebenaran agama yang dianutnya. Pandangan agama seperti itu bukan pandangan yang pluralis tapi bisa disebut lazy tolerance.
Oleh sebab, itu cara pandang standar ganda harus dirombak dengan cara pandang pluralis, yang menempatkan kesetaraan dalam kebenaran agama. Sehingga menumbuhkan adanya mutual trust antar umat beragama sebab, mutual trust akan menghasilkan demokratisasi dalam kehidupan umat beragama yang pluralistik.


 ISLAM SEBAGAI AGAMA WAHYU AL-QUR’AN

Pengertian Wahyu Al-Qur’an
Al-Qur’an berasal dari kata Arab yang terambil dari akar kata. kata ini memiliki tiga bentuk noun (mashdar), secara bahasa kata ini memiliki arti mengumpulkan.
Dalam istilah keyakinan umat Islam al-Qur’an biasa didefinisikan sebagai firman Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis di mushaf-mushaf, ditransmisikan secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah.
Kata firman Allah dalam definisi di atas menunjukkan keyakinan umat Islam bahwa tidak ada campur tangan manusia dalam firman itu, termasuk pembawannya sendiri. Al-Qur’an adalah benar-benar firman Allah, baik redaksi maupun maknanya. Penegasan ini juga menegasikan hadits qudsi karena meskipun maknanya dari Allah, tetapi redaksinya dari Nabi sendiri.[37]
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan Subkhi Sholeh, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya dibaca. Pengetian ini merujuk pada sifat al-Qur’an yang difirmankan-Nya. Dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 17-18 dimana menyebutkan bahwa Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S al-Qiyamah: 17-18). [38]

Kata al-Qur’an selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak dinamai al-Qur’an, seperti Taurat yang diwahyukan kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Daud AS, dan Injil kepada Nabi Isa AS. Sebagai wahyu, al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad SAW. Perdebatan sekitar otentitas al-Qur’an sebagai firman Allah (wahyu) telah terjadi semenjak al-Qur’an diturunkan. Akan tetapi manusia tidak akan mampu menyusun satu ayatpun sebagaimana al-Qur’an, baik segi susunan dan keindahan bahasanya juga maknanya lebih-lebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang berlaku mutlak dan tidak bisa dipungkiri.
Fungsi Al-Qur’an
Allah sebagai Khaliq (pencipta) dan manusia sebagai makhluk mempunyai hubungan timbal balik. Manusia mempunyai keterikatan atau hubungan dengan Allah. Paling tidak ada tiga hal yang membuat manusia terikat dan tergantung penuh terhadap Allah, yaitu hubungan penciptaan, pengajaran dan pemberian rezeki.
Sebagai konsekuensi dari hubungan dan keterikatan ini, manusia pula mesti menjalin hubungan baik dengan-Nya, yaitu bersyukur kepada-Nya. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana bersyukur itu? Manusia memang sudah Allah anugerahkan akal yang dapat menganalisis apa yang ada pada dirinya alam sekitar, yang mungkin saja dapat menemukan cara bersyukur kepada Allah. Akan tetapi, akal tidak cukup mampu menemukan cara bersyukur itu dengan senpurna. Maka untuk itulah al-Qur’an diturunkan, berfungsi membimbing manusia bersyukur kepada-Nya dan mengajar cara-cara bersyukur ini.
Al-Qur’an menyebutkan fungsi beberapa fungsinya hadir di tengah-tengah manusia, yaitu menjadi maw’izhah, syifa’ al-qalb, hudan, rahmah dan al-furqan.[39]
Maw’izhah
Kata maw’izhah merupakan mashdar mimi dari kata wa’azha. Secara harfiah is berati an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir bi al-awaqib (memberi peringatan yang disertai ancaman). Ibnu Sayyidih, seperti dikutib oleh Ibnu Manzu, mendefinisikan al-mauizhah itu kepada “perinngatan yang diberikan kepada manusia untuk melunakkan hatinya yang disertai dengan ganjaran dan ancaman“.
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai al-mau’izhah. Hal ini berarti, bahwa sebagai pemberi nasihat dan peringatan kepada manusia. Nasihat Al-Qur’an itu disertai janji-janji, baik ancaman berupa neraka bagi orang yang melanggar nasihat tersebut maupun ganjaran beruapa surga bagi orang yang menurutinya. Nasihat dan peringatan itu dapat melunakkan dan meluluhkan hati, sehingga jiwa diharapkan tertarik kepada kebenaran yang disampaikannya.
Orang yang dapat menangkap maw’izhah hanyalah orang-orang yang benar-benar hatinya mencari dan merindukan kebenaran; ketika membaca dan memahaminya benar-benar berangkat dari ketulusan hati dan kepercayaan yang penuh terhadapnya. Sebaliknya, mempelajari Al-Qur’an yang didasarkan atas keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadapnya tidak akan melunakkan hati dan jiwa.

Syifa’ (obat)
Seacra harfiah, syifa’ berarti obat. Maka Al-Qur’an sebagai asy-syifa’ merupakan obat bagi manusia. Artinya, Al-Qur’an dapat mengobati penyakit yang timbul di tengah-tengah komunitas, baik penyakit individual maupun penyakit masyarakat. Tentu saja, hal itu jika manusia mau berobat sesuai petunjuk Al-Qur’an. Penyakit-penyakit peribadi seperti stres; kegundahan dan pikiran kacau dapat diobati oleh Al-Qur’an. Demikian pula penyakit-penyakit masyarakat, seperti sikap hedonisme, fitnah, kecanduan narkoba, korupsi dan krisis moral lainnya.
Pemgobatan Al-Qur’an diarahkan kepada hati, karena ia adalah sumber segala perbuatan jahat maupun perbuatan terpuji. Penyakit yang sedang menimpa pribadi dan masyarakat berasal dari hati yang sakit. Penyakit itu adalah kesombongan, keangkuhan, mencintai dunia dan jabatan yang sangat berlebihan; riya, dengki dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit inilah yang melahirkan perampokan, prostitusi, korupsi, hedonisme, arogansi dan pembelaan terhadapnya. Al-Qur’an diturunkan kepada manusia dalam rangka mengobati penyakit-penyakit tersebut.
Hudan (petunjuk)
Kata hudan berasal dari kata hada. Dari kata ini juga terbentuk kata hidayah dan al-hadi, dimana yang terakhir ini merupakan salah satu Asmaul Husna. Secara harfiah, ia berarti menjelaskan, memberi tahu dan menunjukkan. Dan al-hadi berarti yang memperlihatkan dan memperkenalkan kepada hamban-Nya jalan mengetahui-Nya, sehingga para hamba mengakui rububiyah-Nya. Secara istilah, hidayah berarti “tanda yang menunjukkan hal-hal yang dapat menyampaikan seseorang yang dituju“.
Maka al-Qur’an sebagai hudan atau hidayah berarti, bahwa fungsi al-Qur’an adalah menjelaskan dan memberitahu manusia tentang jalan yang dapat menyampaikan kepada tujuan hidup, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Atau dengan kata lain, al-Qur’an bagaikan rambu-rambu dan isyarat yang mengarahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Jika manusia menuruti rambu-rambu dan arahkan yang diberikan, maka manusia akan selamat ke tujuan.
Rahmat
Hijazi mendefinisikan rahmat itu kepada “kelembutan hati yang melahirkan perbuatan baik (ihsan), ramah dan kasih sayang terhadap orang lain“.
al-Qur’an sebagai rahmat mempunyai tiga arti. Pertama ajaran yang terkandung di dalamnya mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk. Kedatangan Muhammad SAW dengan membawa al-Qur’an digambarkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Artinya, seluruh ajaran, gagasan, ide dan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam al-Qur’an yang dibawanya itu dibangun atas prinsip kasih sayang. Tidak ada ketentuan ajaran al-Qur’an yang tidak mengandung kasih sayang.
Arti kedua adalah ajaran-ajaran tersebut bermaksud menanamkan perasaan lembut dan kasih terhadap orang lain, bahkan alam sekitar. Perintah dan larangan serta ketentuan lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an bermaksud membimbing manusia agar berada dalam kehidupan yang harmonis, saling mencintai, saling asih dan saling menghargai.
Arti ketiga adalah bahwa kitab suci ini merupakan perwujudan rahmat Allah bagi manusia. Atau dengan kata lain, Allah memberikan rahmat kepada manusia melalui al-Qur’an.
Furqan (pembeda)
Seacra harfiah kata furqan berasal dari kata faraqa, yang berarti pembeda. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai pembeda (furqan) antara yang benar dan yang salah, antara yang hak dan yang bathil, antara kesesatan dengan petunjuk dan antara jalan yang menuju keselematan dengan jalan yang menuju kesengsaraan.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa manusia telah Allah bekali akal indera dan hati, dimana manusia melalui ketiga hal itu dapat mengenali kebenaran dan membedakan antara hak dan batil.[40]
Hubungan Al-Qur’an dengan Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya wajib dipatuhi. Tidak ada khilaf sedikitpun diantara umat Islam bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber pokok ajaran Islam. Dari al-Qur’anlah diambil segala pokok syari’ah dan cabang-cabangnya. Juga dari al-Qur’anlah dalil-dalil syar’i mengambil kekuatan. Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an merupakan dasar pokok bagi ajaran Islam dan mencakup segala hukum.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama. al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap, untuk penjelasan isi al-Qur’an ini maka selalu di dapati dalam sunnah Nabi, bagaimana memakai atau melaksanakan hukum yang tercantum dalam al-Qur’an.
Jika suatu nash hukum tidak didapai dalam al-Qur’an dan Sunah barulah digunakan ijma’, yaitu pendapat ulama’-ulama’ atau ijtihad, pendapat seorang ulama’ atau dengan qiyas, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang sudah pasti hukumnya.[41]
Dalam agama Islam pikiran setiap manusia berhak dipergunakan sebaik-baiknya, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an afala ta’qilun, yang artinya pergunakanlah pikiranmu. Tidak boleh mengikuti saja kalau tahu itu salah berdasarkan al-Qur’an dan Sunah.
Kehujjahan al-Qur’an
Al-Qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber hukum lain dan merupakan aturan dasar tertinggi. Oleh karena itu sumber hukum dan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya. Dasar kehujjahakn al-Qur’an terdapat pada surat An-Nisa’ ayat 105.8
Kehujjahan As-Sunnah
Sunnah secara bahasa adalah artinya jalan yang ditempuh atau jalan yang sudah terbiasa. Sedangkan menurut istilah sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan pengakuan. Allah memerintahkan kita dalam al-Qur’an agar taat kepada Allah dan juga Rasul-Nya.
Fungsi Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, menurut pendapat ulama’ ada 3, yaitu memperkuat al-Qur’an, menjelaskan atau merinci aturan –aturan yang digariskan oleh al-Qur’an dan menetapkan hukum baru yang belum diatur secara eksplisit oleh al-Qur’an.[42]
Jika sekiranya as-Sunnah bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur’an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, As-Sunnah baik ia menjelaskan al-Qur’an atau berupa penetapan suatu hukum, umat Islam wajib menaatinya.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau sependapat tentang suatu hal. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Dasar hukum ijma’ berupa al-Qur’an, as-Sunnah dan akal pikiran. Misalnya pada surat Ali Imran ayat 103. Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itulah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati para mujtahid. Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti. Karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur. Menurut ulama’ ushul fiqh, qiyas meruapkan penetapan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat (alasan) antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian.
Tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan Qiyas.[43]
Hubungan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas adalah sebagai sumber sumber dalil-dalil syar’i yang ketiganya (as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) digunakan setelah melihat dalam al-Qur’an tidak terdapat penyelesaian dan penjelasannya.
Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an
Al-Qur’an berupa teks dan dipengaruhi oleh konteks yang ada (asbabun nuzul), jadi dalam pendekatannya perlu mengiterpretasi teks tanpa melupakan konteksnya. Dalam pendekatan al-Qur’an dikenal dengan metode tafsir dan takwil.
Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang semakna dengan awdhaha dan bayyana, dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara-semakna dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada menjelaskan atau menyatakan. Secara istilah, tafsir berati menjelaskan makana ayat al-Qur’an, keadaan kisah dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna dhahir. Secara simpel Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir itu kepada “penjelasan kalam Allah atau menjelaskan lafal-lafal al-Qur’an dan pengertian-pengertiannya.
Menafsirkan al-Qur’an berarti menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Dan kerena al-Qur’an itu merupakan pesan-pesan Ilahi yang datang dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan yang dumilikinya menangkap makna yang pengertian yang dimaksud Allah dalam ayat-ayat tersebut, dengan demikian, seorang musafir berarti menemui makna bukan mengadakan makna.
Sedangkan takwil merupakan mashdar dari awwala yaitu awwala, yuawwilu, takwil. Secara bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal. Takwil menurut istilah berarti “memalingkan suatu lafal dari makna dhahir kepada makna yang tidak dhahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah.
Menurut ulama’ salaf, takwil ni mempunyai dua arti, pertama menafsirkan suatu ungkapan dan menjelaskan maknanya, baik sesuai dengan makna dhahir maupun tidak. Maka takwil dalam arti ini semakna dengan tafsir, ia merupakan dua istilah yang muradif (sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang dikehendaki oleh suatu ungkapan, jika ungkapan itu perintah melakukan sesuatu makna takwilnya adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkpan itu dalam bentuk berita, maka takwilnya adalah berita yang disampaikan itu.[44]
Jika dilihat dari segi teknis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikatagorikan dalam beberapa macam, yaitu tahlili, muqaran, mujmal dan mawdhu,i.
Tahlili
Tafsir tahlili (analisis) ialah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosa kata atau lafal dari aspek bahasa dan makna. Metode tahlili merupakan cara yang dipergunakan oleh para mufassir klasik masa lalu.
Muqaran
Secara harfiah, muqaran berarti perbandingan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau teknik menafsirkan al-Qur’an dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat. Dalam perbandingan seorang mufassir menjelaskan kecenderungan masing-masing mufassir dan menangkap sisi subjektivitas mereka yang tergambar pada legimitasi terhadap madzhab yang dianutnya. Selai itu tafsir muqaran juga memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat dan hadits. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits yang memperbincangkan persoalan yang sama.
Ijmali
Tafsir ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Maka tafsir ijmalai dapat artikan kepada penjelasan maksud ayat al-Qur’an secara umum tidak terperinci, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan ilahi yang terkandung dalam suatu ayat. Para mufassir yang menggunakan metode ini menyajikan kepada pembaca isi kandunga ayat, tanpa mengulas secara luas sihingga mudah dipahami oleh para pembaca dan mereka merasa penafsiran tidak jauh dari konteks.
Mawdhu’i
Tafsir mawdhu’i (tematik) ialah menafsirkan ayat al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan ayat atau surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufassir dengan menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam al-Qur’an. Kemudian dia mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tersebut yang tersebar dalam berbagai surah.
Tafsir dan takwil mempunyai makna yang sama, seperti yang sudah disinggung di atas. Sebagian ulama’ ada yang berbeda pendapat. Para ulama’ yang melihat tafsir dan takwil sebagai dua istilah yang berbeda, juga tidak sependapat dalam menjelaslkan perbedaan itu, yaitu sebagai berikut:
Sebagian ulama’ mereka mengatakan tafsir itu lebih umum dari takwil karena ia dipakai dalam kitab Allah dan lainnya. Sedangkan takwil lebih banyak dipergunakan dalam kitab Allah.
Tafsir pada umummnya dipergunakan ada lafal dan mufradat (kosa kata), sedangkan takwil pada umumnya dipergunakan untuk menunjukkan makna dan kalimat (jumlah)
Diantara para ulama’ ada pula yang mengatakan bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, sedangkan takwil penjelasan yang didasarkan atas dirayah.
Dikalangan ulama’ menta’khirkan, takwil diartikan kepada memalingkan makna suatu lafal dari makna yang kuat kepada makna yang kurang kuat. Sedangkan tafsir menjelasakan makna suatu makna ayat berdasarkan makna yang kuat. [45]

ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA
a. kebudayaan: pengertian,unsur dan fungsi
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.[46] Menurut S. Takdir Alisyahbana,[47] kebudayaan mempunyai beberapa pengertian :
1. Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-
    beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan    
    yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.
3. Kebudayaan adalah cara, aturan, dan jalan hidup manusia.
4. Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan  
    persoalan.
5. Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
6. Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.

Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa budaya adalah suatu akal pikiran manusia yang menjadikan suatu hukum adat istiadat tertentu yang harus di patuhi.
Sedangkan kebudayaan adalah segala sesuatu yang menjadikan manusia bisa bergaul dengan masyarakat dengan aturan atau cara yang bisa diterima oleh masyarakat tertentu.
Ternyata kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas berbagai unsur besar dan unsur kecil yang merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan.
 Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut:
a.   norma yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota masyarakat dalam        upaya      menguasai alam sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi.
c. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama  dan yang paling utama).
d. Organisasi kekuatan.

Dengan demikian kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau alat kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat. Teknologi ini paling sedikit meliputi tujuh unsur, seperti : alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, alat transformasi.

Budaya dalam Tujuan Islam
Seperti yang kita ketahui, islam berasal dari Timur Tengah. Kepercayaan kepada satu tuhan berkembang sampai saat ini. Budaya sebagai alat untuk menarik minat para umat supaya memeluk agama islam. Dalam ajaran islampun banyak diadopsi dari budaya bangsa arab seperti haji dan qurban. Bahasa dalam Al-Qur’anpun juga menggunakan bahasa arab, mungkin jika Al-Qur’an turun di jawa maka akan berbahas jawa.
Nabi Muhammad dalam meghadapi adanya berita memiliki banyak istri merupakan salah satu tradisi dalam kehidupan orang arab. Diceritakan setelah Khadijah meninggal, Rasulullah menikah lagi dengan para janda melainkan satu wanita saja yakni Aisyah Binti Abu Bakar. Kita tidak boleh mengkaburkan fakta bahwa Rasulullah tertarik dan menikmati bersama wanita juga sebagai teman dan pasangan hidup[48]
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat. Kedua, kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ketiga, kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas.
Pendekatan Study Budaya
Secara umum studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis serta abadi (eternal), untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern,agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang sekiranya relevan.[49]
Memahami suatu agama diperlukan berbagai pendekatan diantaranya melalui pendekatan teologis normatif, antopologis, sosiologis, historis, filosofis, dan kebudayaan. Hal itu dilakukan agar melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak fungsional.[50]
Pendekatan teologis normatif adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar, sedangkan yang lain adalah salah. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan sosiologis dapat diartikan sebagaimana pendekatan agama melalui ilmu-ilmu sosial, karena di dalam agama banyak timbul permasalahan sosial. Melalui pendekatan ini agama dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Pendekatan historis adalah pendekatan agama melalui ilmu sejarah. Pendekatan filosofis dapat diartikan sebagai upaya pendekatan agama melalui ilmu filsafat dengan tujuan agama dapat dimengerti dan dipahami dengan seksama. Pendekatan kebudayaan adlah pendekatan melalui budaya seperti kepercayaan, kesenian, adat istriadat. Misalnya cara berpakaian di saat resepsi pernikahan, kehidupan sehari-hari, pergaulan antara pria dan wanita dan upacara keagamaan.
Dalam pendekatan budaya terhadap agama terdapat beberapa kegunaan yaitu:
1. Sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat   
     dan para warganya.
2. Sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan  
     menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan  
     ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para
     warga masyarakat tersebut.
3. Seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda
     dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita    
     dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut.

Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan demikian sulit untuk mengantisipasi adanya perbedaanantara ajaran Islam dengan kebudayaan Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia.

Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun, misal: masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa. Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu.[51]

STUDI KAWASAN ISLAM
Pengertian, Latar Belakang dan Perkembangan Studi Wilayah
 Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, yakni area dan studi. Area mengandung arti “region of the earth’s surfaces”, artinya adalah: daerah permukaan bumi. area juga bermakna: luas, daerah kawasan setempat dan bidang. Sedangkan studi  mengandung pengertian “devotion of time and thought to getting knowledge”, artinya adalah pemanfaatan waktu dan pemikiran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Studi juga mengandung pengertian “something that attracts investigation”  yakni sesuatu yang perlu untuk dikaji.
Studies adalah bentuk jamak dari studi, kata ini menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan terhadap sebuah wilayah tidak hanya terbatas pada suatu bidang kajian, melainkan terdiri dari berbagai bidang. Secara terminologi studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah dimana masalah tersebut terjadi.[52]
            Setelah nabi Muhammad saw. wafat, dominasi Islam atas Jazirah Arab sudah sedemikian luas. Hal itu merupakan permulaan dari pencapaian peradaban Islam. Rencana penaklukkan yang direncakanan nabi Muhammad saw. dianggap merupakan wasiat yang harus dijalankan oleh para sahabat, maka adalah hal yang wajar bila ekspansi ini terus dijalankan oleh para sahabat sepeninggal beliau. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. dan Umar ra. wilayah Islam sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Iraq bagian Selatan, Persia, Syiria, Pantai Laut Tengah dan Mesir. Perluasan wilayah ini kemudian dilanjutkan oleh Utsman ra. hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbijan, dan Armenia.
            Pada perkembangan berikutnya, tekanan Islam terhadap daerah-daerah Barat semakin intens. Sebuah peristiwa penting terjadi pada 751 dimana pasukan muslim berhasil menaklukkan semenanjung Iberia, Sisilia, dan Andalusia, bahkan penaklukkan tersebut berlanjut hingga Pyneress menuju daerah Prancis Selatan[53]
Pasukan yang menaklukkan Andalusia didominasi oleh kaum muslimin, sehingga kekuatan muslimpun disadari oleh penganut agama Kristen yang berada di wilayah Barat.
            Pada tahun 1236 M, kekuatan gabungan gereja Spanyol mengambil alih kembali Cordova dan disusul dengan Sevilla pada tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar dapat bertahan kurang lebih dua abad lamanya sebelum akhirnya juga jatuh.
            Sejak saat itu, serangan kaum Kristen untuk menaklukkan wilayah yang dikuasai oleh kaum muslimin semakin gencar. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan, mereka melakukan pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas kekuasaan mereka.
            Serangkaian penaklukkan yang terjadi tidak hanya bertujuan, baik sengaja ataupun tidak, untuk menguasai wilayah dan aspek-aspek material saja, akan tetapi juga, serangkaian penaklukkan ini dibarengi dengan imperialisme kultural.
            Melaluai ekspansi politik dan kultural terhadap wilayah-wilayah Islam, maka kajian wilayah menjadi sebuah usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama Islam.
    Dunia Islam Sebagai Kajian Studi Wilayah
A.    Islam di Indonesia (asia tenggara)
Sejarah Islam di Indonesia, dinilai sangat rumit oleh sebahagian sejarawan. Kerumitan tersebut disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri, sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini.
Nusantara merupakan Negara maritim yang penduduknya memiliki kemampuan mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan kawasan asia tenggara. Bahkan pada abad I Hijiriyah pedagang-pedagang muslim arab, Persia dan India telah ada di Indonesia untuk berdagang. Namun untuk menjadi “kampong-kampung” Islam di kawasan tersebut masih membutuhkan waktu yang relatif lama[54]
Kerumitan lain adalah dalam menangani sumber-sumber sejarah dengan adanya kecenderungan tertentu di kalangan sejarawan atau ilmuan sosial yang mengkaji Islam di Indonesia, seperti yang ditegaskan oleh Roff bahwa sejak zaman kolonial hingga saat ini terdapat hasrat yang luar biasa di kalangan pengamat Barat secara konseptual untuk mengurangi peranan Islam dalam membentuk kebudayaan Indonesia.
Tentang masuknya Islam ke Indonesia ada tiga teori[55]
Teori yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab yang dikemukakan oleh Niemann (1861) menyatakan bahwa Islam dibawah oleh orang-orang Mesir yang bermadzhab Syafi’i seperti layaknya kaum mayoritas di nusantara.
Teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari India yang dikemukakan oleh Pijnapel (1872) yang menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabarlah yang membawa ajaran Islam ke Indonesia.
Teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia dari Benggali (Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Ia mengutip keterangan dari Tome Pires yang menyatakan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali.
Islam boleh jadi telah sampai di Indonesia sejak Abad ke-7/8 M, Akan tetapi sejauh menyangkut kedatangan Islam di indenesia terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.[56]
Tetapi untuk muncul sebagai kekuatan politik, ia memerlukan waktu hingga enam abad sampai terbentuknya kerajaan Islam di Sumatera pada abad ke-13 M. akan tetapi rumusan ini masih bersifat hipotetif. Belum sampai dua abad Islam tampil sebagai kekuatan politik di Nusantara,  datanglah kekuatan tandingan dari Barat yang berupa Imperialisme yang secara berangsur, sekalipun selalu mendapat perlawanan, ternyata berhasil mengurangi peranan Islam di nusantara.
Terlepas dari perbedaan para ahli sejarah dalam menentukan awal masuknya Islam ke Indonesia, Taufik Abdullah menyatakan bahwa dalam proses perjalanan Islam di bumi nusantara, Islam merupakan suatu dasar pembentukan tradisi kultural baru.
Kebudayaan itu secara dramatis dimulai oleh Snouck Hurgronje dengan memisahkan adat lokal pada satu pihak dengan Islam pada pihak yang lain. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.
Agar Islam di masa depan tidak menjadi “menggapai dalam ketiadaan daya” maka kajian Islam yang mendasar dan strategis di Indonesia tidak dapat ditunda. Jika bangsa ini ingin “pembentukan kultural baru” maka harus didapatkan sebuah landasan intelektual yang kokoh. Dengan kata lain, kajian ke-Islaman di Indonesia, di samping mendalami ajaran substansi ajaran, pendekatan yang berorentasi ke masa depan merupakan kebutuhan mutlak secara iman dan akademik.
Memang sejarah berurusan dengan masa lalu, tapi masa lalu itu hendaknya dijadikan untuk kepentingan masa depan. Dengan cara ini diharapkan bahwa Islam tidak saja menjadi agama yang didominasi oleh ritual demi keshalehan pribadi, tetapi menjadi agama yang hidup dan menghidupkan, agama yang mampu memecahkan persoalan-pesoalan ke-manusiaan secara mendasar.

B.     Islam di Timur Tengah.
Masyarakat Islam dibangun diatas peradaban Timut Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental, yaitu asal-usul dan struktur sejarah yang telah berlangsung.
Garis keturunan keluarga, kekerabatan, komunitas etnis terus berlanjut seperti semula sekalipun telah terjadi kesejarahan. Ekologi regional berlangsung dengan didasarkan pada komunitas petani dan perkotaan, dan ekonomi dijalankan diatas basis pemasaran dan pertukaran uang. Bentuk-bentuk dasar organisasi negara, termasuk administrasi birorasi, pola kehidupan keagamaan yang berlaku sebelumnya difokuskan kepada keyakinan yang bersifat universal dan transendental.
Perjalanan panjang Islam di Timur Tengah berlangsung sekitar 622 sampai 1002 M, yang berlangsung dalam tiga fase.[57]Fase pertama adalah fase penciptaan sebuah komunitas baru yang bercorak Islam di Arabia sebagai hasil dari transformasi wilayah pemikiran dengan sebuah masyarakat kekerabatan yang telah berkembang sebelumnya menjadi sebuah tipe monotheistik Timur Tengah.
Fase ke-dua adalah fase penaklukkan Timur Tengah oleh masyarakat Arab Muslim yang baru terbentuk tersebut, dan mendorong kelahiran sebuah imperium dan kebudayaan Islam (selama periode ke-khalifahan yang pertama sampai tahun 945 M).
Fase ketiga adalah fase kesultanan (945-1200 M). pada fase pola dasar kultural dan institusional dari era khilafah berubah menjadi pola-pola negara dan institusi Islam.
Dalam fase pertama, dapat difahami bahwa fase tersebut merupakan fase kelahiran Islam pertama dalam masyarakat ke-sukuan. Pada fase ke-dua adalah memandang Islam sebagaimana ia menjadi agama dari sebuah negara kerjaan dan kalangan elit perkotaan. Sedangkan fase ke-tiga, nilai-nilai Islam ternyata telah mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah.
Penyatuan beberapa wilayah seperti bagian Sasania dan Bizantium di Timur Tengah menjadi sebuah pemerintahan, beberapa halangan politis dan strategis perdagangan menjadi hilang, dan sebuah fondasi utama untuk kebangkitan perdagangan telah terhampar.
Selanjutnya sungai Eufrat yang membatasi antara Persia dan wilayah Bizntium telah musnah dan Transxonia untuk pertamakalinya dalam sejarah disatukan dalam imperium Timut Tengah. Dunia perdagangan semakin maju mengilhami ekspansi Arab ke Asia Tengah dan India, da pengembangan kota-kota di Syiria utara, Iran, Iraq, Basra dan belakangan Baghdad menjadi pusat perdagangan dunia.
Arab Saudi yang merupakan tempat tumbuhnya Islam pertama kali, gejolak politik yang terjadi selalu sejalan dengan perkembangan keislaman di kawasan ini. Sa’udiyyun (keuarga sa’ud) yang menjadi nenek moyang keluarga Sa’udiyyan yang berkuasa sekarang telah berdiri sejak 1446 M dan menetap di Wadi Hanifah.
Setelah melalui tujuh generasi, Sa’ud ibnu Mukram memerintah al-Dariyah. Peletak dasar keamiran bagi keluarga Sa’udiyyah adalah anaknya yang bernama Sa’ud Ibnu Muhammmad Ibnu Mukran (1724-1765 M). Oleh karena itu tempat mereka setelah berkembangnya disebut al-Dar’iyyah.[58] Setelah beberapa saat, kekuasaan mereka semakin berkembang, maka inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan Arab Saudi yang ada sekarang.
Sosok Muhammad ibnu Wahab yang dikenal memiliki pemikiran yang berpengaruh di Saudi Arabia sampai saat ini, awalnya ia pergi ke Basrah, al-Ahsa, Huramailah dan Uyainah. Disetiap kota itu pula ia selalu mendapat cacian hingga akhirnya ia pergi ke al-Dar’iyyah yang kemudian ia medapatkan sambutan sejumlah orang, termasuk amirnya ketika itu Muhammad Ibnu Sa’ud Ibnu Muqran II. Disinilah Muhammad Ibnu Abdul wahab menyampaikan dakwahnya tentang hakikat tauhid.


Sepintas pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahab dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah, yaitu sebagai berikut:
1.      Pemahaman terhadap Al-Kitab dan Al-Sunnah yang dipahami berdasarkan metodologi Salaf as-Shalih. Ia berpandangan bahwa Al-Kitab dan Al-Sunnah bukan hanya sekedar berita saja sebagaimana diperkirakan orang-orang dari ahli kalam, hadis, fiqih, dan tasauf tetapi sebagai dalil dan petunjuk jalan bagi makhluk dan dalil yang tegas bagi dasar-dasar agama.
2.      Ketauhidan sangat diperhatikan meliputi zat, sifat dan ibadah makhluk terhadap tuhan, berupa an la na’buda Allah wa lanusyrika bihi siwahu. Oleh karena itu, doa merupakan bagian dari ibadah yang tidak boleh meminta kepada sesame makhluk yang sudah mati.
3.      Rasul Allah Saw tidak melebih-lebihkan, tetapi cukup sebagai petunjuk saja. Dibolehkan menziarahi kuburnya, tetapi tidak boleh untuk meminta-minta.


C.    Islam di Turki. (Eropa)
a.      Penyebaran Bangsa Turki.
Turki merupakan wilayah kebudayaan Islam yang sangat luas dan beraneka ragam yang meliputi banyak etnik dan wilayah termasuk memainkan berbagai variasi lokal yang sangat menonjol, terutama di wilayah-wiayah eropa yang kelak meninggalkan jejak sejarah etnik dan agama yang sangat panjang.
Namun jika melacak pada pada proses pembentukan awal sejarah kebudayaan Turki, tradisi Persia adalah bagian terpenting yang harus dibicarakan. Komunikasi antara orang-orang Turki dengan Persia telah terjadi sejak zaman Sassania, terutama dengan bangsa Iran sebagai wilayah tetangganyanya dan tampaknya hampir tidak mungkin kebudayaan Islam Turki muncul dalam panggung sejarah tanpa ditopang dan diakumulasi oleh Tradisi Islam Persia, terutama pada priode pertengahan dan priode-priode akhir masa kekuasaan Abbasiyah.
b.      Islamisasi Bangsa Turki.
Kontak mereka dengan dunia Islam sebenarnya telah terbentuk sejak abad ke-7 M, ketika penaklukan-penaklukan orang Arab terhadap wilayah-wilayah Asia Tengah khususnya Transoxania, terutama saat penaklukan wilayah-wilayah pegunungan pamir dan T’ien-Shan. Saat tentara-tentara Arab melewati Kaukasus, telah terjalin komunikasi terutama dengan orang-orang turki Khazars dilembah Volga dan banyak diantara mereka menerima Islam secara damai.
Islamisasi selanjutnya diteruskan oleh para sufi hingga abad ke-16 M dimana orang-orang Turki Eresia yang semula penganut Samanisme, Budhisme, Maniceanisme bahkan Nasrani, seluruhnya akhirnya menjadi komponen penting bagi dunia Islam.
Sebelum era modernisasi yang digulirkan oleh Ataturk, Turki dalam waktu yang relative lama berada dibawah kekuasaan salah satu Kekhalifahan terbesar dalam Islam yaitu Daulah Utsmaniyah. Selama berates tahun mereka menjadi bangsa yang terkemuka di Duni Islam, sehingga ini menandakan sebuah indikasi bahwa betapa pentingnya Islam dalam kehidupan nasional rakyat Turki. Secara praktis, setiap orang yangbertempat tinggal di Turki adalah orang Turki, tetapi secara kebudayaan orang Turki adalah hanya orang Muslim.[59]
c.       Pemikiran ke-Islaman di Turki.
Jika berbicara Turki memang nyaris tidak bias dipisahkan dari sosok Ataturk. Sejak terpilih sebagai Presiden Pertama Republik Turki, pasca tumbangnya khalifah Utsmaniyah, Mustafa Kemal Ataturk menjadikan agama hanya sebagai kekuatan moral dan bukan sebagai kekuatan politik. Perubahan arah politik inilah yang kelak menjadikan Islam di Turki sebagai Negara yang berpenduduk Muslim, tetapi hidup dengan cara modern.
Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan yang intinya berupaya meningkatkan masyarakat Turki pada masyarakat kontemporer modern diantara kebijakan itu adalah:
1.      Undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan pada tanggal 3 Maret 1924,
2.      Undang-undang tentang kopiyah tanggal 25 November 1925,
3.      Undang-undang tentang pemberhentian petugas jamaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman tanggal 30 November 1925,
4.      Peraturan Sipi tentang perkawinan, Tanggal 17 Februari 1926,
5.      Undang-undang penghapusan huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tuisan arab, Tangga 1 November 1928, dan
6.      Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli, Tanggal 13 Desember 1934.
Amin Abdullah[60]mengatakan bahwa hingga saat sekarang ini, tidak hanya partai politik yang berbau agama, tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan masih dilarang di Turki. Namun anehnya, di negara sekuler itu mereka mempunyai “dianet isleri” (kantor urusan agama) yang bernaung dibawah menteri negara.
Dengan kondisi seperti ini, para generasi muda Turki merasa bosan dan tidak puas, akhirnya mereka beralih menggunakan “media cetak” sebagai sarana lalu-lintas dan penyampaian pesan kepada masyarakat.
Muncul beberapa penerbitan keagamaan yang memiliki ciri-ciri arus pemikiran yang berbeda, seperti:
a.       Penerbitan yang disponsori Dianet Islery yang memiliki ciri Islam negara.
b.      Penerbitan yang disponsori tarekat kuno.
c.       Penerbitan yang disponsori tarekat baru.
d.      Penerbitan yang disponsori oleh kaum fundamentalis.

D.    Islam di Amerika
Sebuah kajian yang sangat menarik jika membahas bagaimana sebuah agama minoritas disebuah Negara mempertahankan integritas dan keyakinannya. Di Amerika saat ini, Islam bagi sebagian besar rakyat amerika masih dianggap sebagai ancaman, rentetan peristiwa yang melibatkan para militan muslim selalu dianggap sebagai permusuhan yang memiliki unsure historis yang sangat panjang.
Maka saat ini, ummat Islam di amerika masih mengalami diskriminasi keyakinan, selama berabad-abad non-muslim mengkritik Muhammad dan masih saja bermunculan sampai sekarang, mulai dengan membuat karikatur yang berbau pelecehan, sampai pada tindakan-tindakan “konyol” yang justru menyudutkan mereka sendiri di mata dunia.
Pada Juni 1998 AT&T Worldnet Service, penyedia jasa internet langsung terbesar di Amerika Serikat menhapus sebuah situs web yang menyebut Muhammad sebagai orang munafik yang cabul yang jelas-jelas bukan pesuruh Tuhan.
Disebagian kota-kota di Amerika terjadi kontroversi apakah panggilan salat (azan) boleh dilakukan atau malah dianggap mengganggu lingkungan tempat masjid berada, tidak seperti di Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim leluasa mengumandangkan azan dengan pengeras suara.
Berbagai kelompok mengatasi masalah ini dengan cara yang beragam, kebanyakan di masjid-masjid di Amerika, panggilan azan dilakukan di dalam ruangan shalat dan bukan diluar. Yang berfungsi sebagai tanda dimulainya ritual tersebut.

E.     Signifikansi dan Konstribusi
            Berawal dari pembicaraan Munawwir Sadjali dengan Fazlurrahman dan Gigma[61] bahwa keduanya menekankan tentang kepincangan dan ketidaklengkapan studi Islam saat ini, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara. Satu sisi, banyak ahli ke-Islaman tetapi tidak tahu tentang Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya, sebaliknya banyak pakar ahli wilayah tapi tidak mengetahui tentang Islam.
            Kelemahan lain adalah banyak ahli yang berasal dari Barat yang melihat Islam di kawasan Asia Tenggara dan yang lainnya dengan menggunakan tolak ukur yang berasal dari Barat, sehingga dalam kesimpulan penelitiannya tidak selalu tepat.
            Konstribusi studi wilayah ini memberikan suatu upaya untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkannya sesuai dengan rumusan Islam, disamping juga menopang bangunan suatu bangsa. Karena Islam memiliki daya tarik luar biasa sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya dikaji. Terbukti, sejak lama Islam menjadi objek studi, tidak saja di kalangan muslim tetapi juga di kalangan non muslim, untuk tujuan dan kepentingan beragam. Titik perhatian studi Islam juga beragam, baik pada tingkat Islam sebagai sistem keyakinan maupun Islam sebagai suatu sistem sosial.
            Maka sangat diperlukan saat ini sebuah kajian yang komprehensif tentang studi Islam dengan pendekatan wilayah. Agar ummat islam maupun non-musim dapat melihatnya secara ril dan meniai secara objektif. Walaupun telah banyak yang mencoba mengkaji Isam dengan pendekatan wilayah, namun masih saja sulit menilai kualitas daripada hasil kajian itu, karena masih saja selalu ada kepentingan yang menopangnya.





DAFTAR PUSTAKA
bd. A’la. Al-quran dan Hermeneutika, dalam jurnal Tashwirul Afkar,edisi 08, Jakarta Selatan: LAKPESDAM
Jalaludin. Dr., Psikologi Agama, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Nata, Abuddin. 1998.Metodologi Studi Islam. Jakarta. CV. Rajawali Press.
Syihab, Quraisy. 2007. Membumikan Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung. PT Mizan Pustaka.
Syukur,M.Amin, Prof.Dr.MA. 2003 Pengantar Studi Islam,Semarang: CV. Bima Sakti
Yatimin, Drs. M. M.A. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: AMZAH.
Yusuf, ali anwar. Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia
Organization, World Shia Muslim. Trjmah Muslim Arobi. 1989.Rasionalitas Islam. Jakarta. Yapi.
Kaelany Hd, Drs. M.A. 2000. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Aziz, Abdul, Qur’an Hadits, Semarang: CV Wicaksana, 1994
Departemen Agama RI, A-l-Qur’an dan Terjemah, Semarang: CV Toha Putra, 1989
Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Maghfurin, Ahmad, Sejarah Teks Taurat dan Al-Qura’an, Semarang: PUSLIT, 2009
Ramulyo, Mohammad Idris, Asas-asas Hukum Sejarah Islam Timbul dan Berkembang Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinaf Grafika
Suyati, Sri dan Sugiono, Fitah, Solo: CV. Al-Fath, 2006
Umar, Muin dkk, Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986
Yusuf, Kadar M, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, Cet I, 2009
Abd.Hakim, Atang, JaihMubarok.MetodologiStudi Islam. 1999. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Ahmad Taufik, Weldan, Dimyati Huda. MetodologiStudi Islam. 2004. Malang: Bayumedia Publishing.
An Najah, Ahmad Zain. 2013. Relasi Antara Islam dan Kebudayaan. (diambi dari http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/08/relasi-antara-islam-dan-kebudayaan/ tanggal 31 Oktober 2013)
Assegaf, Abd. Rahman.Studi Islam Kontekstual. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
John L. Esposito. Islam Actual. 2005. Depok: Inisiasi Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Muhaimin dkk. Kawasan dan wawasan studi Islam. 2005. Jakarta: Prenada media.
Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Fananie, Peny Zainuddin, Studi Islam Asia Tenggara. Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.
Hornby, A. S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1986.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I.  Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999.
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1977.
http://taufiqiyyah.blogspot.com





[1] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 2006, Jakarta: Amzah, Hlm. 147
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2009, Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 152-153
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2009, Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 151
[4] Ibid, hlm. 149
[5] Ibid, hlm. 153-154
[6] Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 154
[7] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
[8] Drs. M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006, Hlm. 37
[9] Prof. Dr. H.M.Amin Syukur, MA, Pengantar Studi Islam,Semarang: CV. Bima Sakti,2003.Hlm.25
[10] Ibid. Hlm. 26-27
[11]Ibid. Hlm. 29
[12] Drs. Kaelany Hd, M.A, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan,Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000, Hlm. 17-18
[13] Dr. Atang Abdul Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok Mubarok, Metodologi Studi Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya,2009, Hlm.190
[14] Harun Nasution, Filsafat Islam, Jakarta, 1978, hlm. 10.
[15] Drs. T. Ibrahim dan Drs. H. Darsono, Membangun Akidah Akhlak, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003  
    hlm. 15-16.
[16] Dr. H. Abuddin Nata, MA, Op.Cit, hlm.62-65
[17] http://repository.usu.ac.id/bistream/.
[18] http://File.satus.net/i/identical/-20110527T003832-q26aqr7.html
[19] Lihat Mufradat Alfaazhil Qur-aan, hlm, 423. karya al-‘Allamah ar-Raghib
[20] Terjaga dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh) dan terjaga hartanya, maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana terdapat dalam hadits Arba’iin yang kedelapan.
[21] Lihat Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, Ma’aarijul  
     Qabuul (II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum
     wal Hikam oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.
[22] Abudin nata, Metodologi studi islam, Jakarta :rajawali pers, 2009, hlm.28
[23] Ibid. Hlm. 34
[24] Peter connoly, Aneka pendekatan studi agama, yogyakarta: PT. Lkis, 2009. Halm 34
[25] Abuddin nata, metodologi studi islam, (Jakarta : 2008), halm. 35-38.
[26] Abuddin nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: 2008). Halm.295-298.
[27] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, hlm. 24
[28] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 65
[29] Drs. Atang Abd. Hakim, M.A. dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 69
[30] ibid.hlm. 70-71
[31] Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 104
[32] Badudu dan zain, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 617
[33] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 5, hlm.
[34] Drs. M. Yatimin Abdullah, M. A, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Hamzah, 2006, Cet. 1, hlm.
[35] Hameed, Hakim Abdul., Aspek-aspek Pokok Agama Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hlm. 72
[36] Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), hlm.6
[37] Ahmad Maghfurin, Sejarah Teks Taurat dan Al-Qura’an, Semarang: PUSLIT, 2009, Hlm 56-57
[38] Departemen Agama RI, A-l-Qur’an dan Terjemah, Semarang: CV Toha Putra, 1989, Hlm 999
[39] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, Cet I, 2009, Hlm 176-177
[40] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, Cet I, 2009, Hlm 177-183
[41] Mohammad Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Sejarah Islam Timbul dan Berkembang Kedudukan Hukum Islam  
     dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinaf Grafika, Cet 2), Hlm 75
[42] Sri Suyati dan Sugiono, Fitah, Solo: CV. Al-Fath, 2006, hlm 35
[43] Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
     Agama, 1986, hlm 70
[44] Kadar M. Yusuf, Op Cit. Hlm 126-130
[45] Kadar M. Yusuf, Op Cit. Hlm 143-146
[46] KBBI hlm. 149
[47] Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999) hlm. 28
[48] Esposito, John L. ISLAM AKTUAL.Depok: Inisiasi Press, 2005 h.14-15
[49] Muhaimin dkk,Kawasan dan wawasan studi Islam, Jakarta: Prenada media, 2005, hlm. 12
[50] Akhmad Taufik, Metodologi Studi Islam, Malang: Bayumedia Publishing, 2004, hlm.13
[51] Atang Abd.Hakim,Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 43
[52] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ,Jakarta: Rajawali Press, 1999, hlm. 142.
[53] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam Jakarta: Paramadina, 1977 hlm. 10.
[54] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010 cet ke 20, hlm. 191 
[55] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara ,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, hlm. 12.
[56] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Bandung: Mizan,
    1998, hlm. 24
[57] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I ,Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999,hlm.14.
[58] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafinda Persada, 2004, hlm. 230
[59] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, hlm. 218
[60] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historisitas ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 183.
[61] Peny Zainuddin Fananie, Studi Islam Asia Tenggara  ,Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999, hlm. 117.

No comments:

Post a Comment