Nama : Ade putra setiawansyah
nim :411307110
jur :KPI
fakultas dakwah dan komunikasi uin arraniry
METODOLOGI
PEMAHAMAN ISLAM
A. Pengertian
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari
bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu
ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan
sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran
yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan
dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah
kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran
tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu
penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti
harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat
dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika
yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik
kesimpulan logis untuk membuat konsep.[1]
B. Kegunaan Metode Pemahaman ajaran Islam
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga
saat ini, fenomena amat variatif . Kondisi ini terjadi diberbagai negara
termasuk Indonesia. Walau keadaan amat variatif , namun tidak keluar dari yang
terkandung dalam alqur’an dan sunnah serta sejalan dengan data-data historis
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap berikutnya, yang
menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam) sehingga setiap
masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu
tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan Sunni. Paham
lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan, dan saling
mengahargai.
Pada tahap selanjutnya, muncul paham keIslaman
bercorak tasawuf yang mengambil bentuk tarikat terkesan kurang menampilkan pola
hidup yang seimbang antara urusan dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf
kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan
dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan umat mundur dalam bidang
keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh pemahaman keIslaman di atas
diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di
masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum komprehensif. Sekalipun
dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru diserap sebagian sarjana
yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Ali syari’ati (1933-1977), seorang
sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor
utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran , perdaban dan
kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan
adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat masalah
objek itu berubah, dan sebagai akibatnyakehidupan manusia juga berubah. Dengan
demikian kita dapat mengetahui dan memahami tentang pentingnya metodologi
sebagi faktor fundamental dalam renaisans.[2]
C. Metode Studi Ilmu Keislaman
Metode studi ilmu keislaman diharapkan dapat
melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan intern dan ekstern.
Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan
keluar dari konflik intra agama islam. Secara ekstern, studi islam diharapkan
dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam pluralitas
agama. Pada segi normative, studi islam bersifat memihak, romantis, apologis,
dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori, islam tampak sebagai disiplin
ilmu.
Selanjutnya, ada pula yang disebut Sains Islam.
Menurut Hussein Nasr, sains islam adalah sains yang dikembangkan oleh kaum
muslimin sejak abad islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah
satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Sains Islam mencakup berbagai
pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan
sebagainya yang dibangun di atas arahan nilai-nilai Islami.[3]
D. Metode Memahami Islam
Memahami berasal dari kata paham yang artinya
mengerti, memaklumi dan mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati,
didengarkan, dikerjakan ataupun sesuatu hal yang sedang terjadi.[4]
Ali Syari’ati lebih lanjut
mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara adalah dengan
mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara
lainnya adalah dengan mempelajari kitab Alqur’an dan membandingkannya dengan
kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari
kepribadian rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar
pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi,
ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya
dengan tokoh-tokoh utama agama maupun alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh
cara yang ditawarkan Ali Syari’ati itu pada intinya adalah metode perbandingan
(komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui
kelebihan dan kekuranganyang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan itu.
Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan
memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak
ada pemihakan, tidak ada pra konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi
dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang baru
mau beragama.[5]
Metode lain untuk memahami Islam
yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli
sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan
tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama.
Dalam hal agama Islam, juga agama-agama lain, yaitu:
1)
Aspek ketuhanan
2)
Aspek kenabian
3)
Aspek kitab suci
4)
Aspek keadaan waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan
individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali
Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam
hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari
dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan
manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia
memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus
menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidng studinya dia harus
senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang
tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.[6]
Dari beberapa metode tersebut
terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1.
Metode komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan membandingkan seluruh
aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif
dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda
dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam
kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2.
Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah
dengan metode logis normatif.[7]
MANUSIA DAN
KEBUTUHAN DOKTRIN AGAMA
A. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam
kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami
kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta
pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari
keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan
membutuhkan Sang Khaliknya.[8]
Ada yang berpendapat bahwa benih agama adalah rasa
takut yang kemudian melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini yang
memiliki kekuatan menakutkan. Seperti yang ditulis oleh Yatimin bahwa pada masa
primitif, kekuatan itu menimbulkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Ia
memerinci bentuk penghormatan itu berupa:
1.
Sesajian pada pohon-pohon besar, batu, gunung,
sungai-sungai, laut, dan benda alam
lainnya.
2.
Pantangan
(hal yang tabu), yaitu perbuatan-perbuatan ucapan-ucapan yang dianggap dapat mengundang
murka (kemarahan) kepada kekuatan itu.
3.
Menjaga dan menghormati kemurkaan yang
ditimbulkan akibat ulah manusia, misalnya
upacara persembahan, ruatan, dan mengorbankan sesuatu yang
dianggap berharga.
agama muncul dari rasa penyesalan seseorang.
Namun bukan berarti benih agama kemudian menjadi satu-satunya alasan bahwa
manusia membutuhkan agama. Karena kebutuhan manusia terhadap agama dapat
disebabkan karena masalah prinsip dasar kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan
perlunya manusia terhadap agama sebagai kebutuhan. Ada tiga faktor yang
menyebabkan manusia memerlukan agama. Yaitu:
a) Faktor Kondisi Manusia
b) Faktor Status Manusia
c) Faktor Struktur Dasar Kepribadian
B. Fungsi agama dalam kehidupan
Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi
segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang
pencipta alam semesta sehingga peraturan yang dibuatNya betul-betul adil.
Secara terperinci agama memiliki peranan yang bisa dilihat dari: aspek
keagamaan (religius), kejiwaan (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis),
hakkekat kemanusiaan (human nature), asal usulnya (antropologis) dan moral
(ethics).[9]
Dari aspek religius, agama
menyadarkan manusia, siapa penciptanya. Faktor keimananjuga mempengaruhi karena
iman adalah dasar agama.[10] Secara antropologis, agama memberitahukan kepada
manusia tentang siapa, darimana, dan mau kemana manusia. Dari segi sosiologis,
agama berusaha mengubah berbagai bentuk kegelapan, kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan. Agama juga menghubungkan masalah ritual ibadah dengan masalah
sosial. Secara psikologis, agama bisa menenteramkan, menenangkan, dan
membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Dan secara moral, agama menunjukkan
tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berpeilaku baik
(akhlaq mahmudah).[10]
Fungsi agama juga sebagai pencapai tujuan luhur manusia di dunia
ini, yaitu cita-cita manusia untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam Al-Quran surat Thoha ayat 117-119 disebutkan:
”Maka kami berkata: “Hai Adam, Sesungguhnya Ini (iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.
Dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa
panas matahari di dalamnya”.
fungsi agama mempunyai dimensi
yang lain seperti apa yang diuraikan di bawah ini:
a. Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
b. Menjawab pelbagai pertanyaan yang tidak mampu dijawab
oleh manusia.
c. Memainkan fungsi peranan sosial.
d. Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
C. Rasa Ingin Tahu Manusia
Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu ketika itu yang
diketahuinya hanya ”saya tidak tahu”. Tapi kemudian dengan pancaindra, akal,
dan jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah, dengan coba-coba
(trial and error), pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya ia
menemukan pengetahuan. Namun demikian keterbatasan panca indra dan akal
menjadikan sebagian banyak tanda tanya yang muncul dalam benaknya tidak dapat
terjawab. Hal ini dapat mengganggu perasaan dan jiwanya dan semakin mendesak
pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin gelisah ia apabila tak terjawab. Hal
inilah yang disebut dengan rasa ingin tahu manusia. Manusia membutuhkan
informasi yang akan menjadi syarat kebahagiaan dirinya.[11]
D. Doktrin kepercayaan agama
Dalam pemikiran kaum Marxis doktrin agama dianggap sebagai
candu masyarakat yang melalaikan manusia terhadap berbagai penindasan kaum
borjuis. Lantas apakah doktrin kepercayaan agama memang bersifat demikian.
Pernyataan Karl Mark dilatarbelakangi oleh konteks yang demikian. Namun perlu
diketahui bahwa agama terutama Islam sama sekali tidak menganjurkan manusia
lalai dengan tindakan ketidak adilan yang ada di depan matanya.
Perlu diketahui juga bahwa dalam menjalankan fungsi dan
mencapai tujuan hidupnya manusia telah dianugerahi oleh Allah dengan berbagai
bekal seperti: naluri, (insting), pancaindra, akal, dan lingkungan hidup untuk
dikelola dan dimanfaatkan. Fungsi dan tujuan hidup manusia adalah dijelaskan
oleh agama dan bukan oleh akal. Agama justru datang karena ternyata bekal-bekal
yang dilimpahkan kepada manusia itu tidak cukup mampu menemukan apa perlunya ia
lahir ke dunia ini. Agama diturunkan untuk mengatur hidup manusia. Meluruskan
dan mengendalikan akal yang bersifat bebas. Kebebasan akal tanpa kendali, bukan
saja menyebabkan manusia lupa diri, melainkan juga akan membawa ia ke jurang
kesesatan, mengingkari Tuhan, tidak percaya kepada yang gaib dan berbagai
akibat negatif lainnya.
Yang istimewa pada doktrin agama ialah wawasannya lebih
luas. Ada hal-hal yang kadang tak terjangkau oleh rasio dikemukakan oleh agama.
Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada ajaran agama (yang benar) bertentangan
dengan akal, oleh karena agama itu sendiri diturunkan hanya pada orang-orang
yang berakal.[12]
Maka jelas bahwa manusia tidak akan mampu menanggalkan doktrin agama dalam diri
mereka. Jika ada yang merasa diri mereka bertentangan dengan agama maka akalnya
lah yang tidak mau berpikir secara lebih luas.
Lebih luas lagi menurut T. Jeremy Gunn ada tiga segi agama
yang perlu diketahui, yaitu :
Pertama, agama sebagai kepercayaan. Agama sebagai
kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti
Tuhan, kebenaran, atau doktrin kepercayaan. Kepercayaan terhadap agama
menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam,
karma, darma, atau pesan sinkretis lainnya yang menurut banyak doktrin agama
mendasari realitas kehidupan.
Kedua, agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin,
sedangkan agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok.
Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
keluarga, etnisitas, ras atau Kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas
agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau
refleksi.
Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way
of life). Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan
dan tradisi yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama
sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas
keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk salat lima waktu,
mengharamkan daging babi, dan lain sebaginya. Dalam segi ini, keimanan berusaha
tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan.
F. Doktrin Kepercayaan Agama Islam
1) Iman kepada Allah
Kalimat
lailaha illa Allah atau sering disebut kalimat thoyyibah adalah suatu
pernyataan pengakuan terhadap keberadaan Allah yang Maha Esa, tiada tuhan
selain Dia (Allah). Ia merupakan bagian lafadz dari syahadatain yang harus
diucapkan ketika akan masuk Islam yang merupakan refleksi dari tauhid Allah
ynag menjadi inti ajaran Islam.
a. Argumen keberadaan Allah
b. Kemustahilan menemukan zat Allah
2) Iman kepada malaikat kitab dan rasul Allah
a. malaikat Allah
b. kitab-kitab Allah
c. Rasul-rasul Allah
Doktrin islam mengajarkan agar setiap muslim beriman kepad
rasul yang diutus oleh Allah tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya.[13]
BEBERPA PRINSIP DASAR EPISTEMOLOGY ISLAM
A.
Pengertian Epistemologi dan Islam
a. Pengertian Epistemologi
Menurut Harun
Nasution, pengertian epistemologi ; episteme berarti pengetahuan dan
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang apa pengetahuan dan bagaimana
memperoleh pengetahuan.[14]
Selanjutnya, Drs. R.B.S. Furdyartanto memberikan
pengertian epistemologi sebagai berikut; Epistemologi berarti : ilmu filsafat
tentang pengetahuan atau pendek kata, filsafat pengetahuan.
Dari pengertian diatas Nampak bahwa epistemologi
bersangkutan dengan masalah-masalah yang meliputi:
1) Filsafat
yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
2) Metode yaitu
sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh realitas
kebenaran pengetahuan.
3) Sistem yaitu
sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
b. Pengertian Islam
Pengertian Islam bisa kita bedah
dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Menurut
bahasa, kata islam berasal dari kata yang mempunyai arti, yaitu keselamatan,
perdamaian, dan penyerahan diri kepada Allah SWT.[15]
Dari pengertian kebahasaan ini,
kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan. Senada dengan itu Nurcholis
Majid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari
pengertian Islam.
Pengertian Islam menurut Maulana Muhammad Ali dapat
dipahami dari Firman Allah yang terdapat pada ayat 208 surat Al-Baqarah yang
artinya: Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu
turuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Dan juga dapat dipahami dari
ayat 61 surat al-Anfal yang artinya: dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Dari uraian diatas, kita sampai pada suatu
kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh tunduk,
taat dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan
kebahagiaan hidup baik didunia maupun diakhirat. Hal demikian dilakukan atas
kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan
sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam
kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Harun Nasution mengatakan bahwa
Islam menurut istilah (islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sebagai
Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajawan yang bukan hanya mengenal
satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu, maulana Muhammad
Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dua ajaran pokoknya, yaitu
kesesaan Allah dan Kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata,
bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka kata Islam
menurut istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang
datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari
Nabi Muhammad SAW. Posisi Nabi dalam ajaran Islam diakui sebagai yang ditugasi
oleh Allah untuk menyebarkan agama Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam
proses penyebaran agama Islam nabi terlibat dalam member keterangan,
penjelasan, uraian, dan contoh prakteknya. Namuan keterlibatan ini masih dalam
batas-batas yang dibolehkan Tuhan.[16]
B. Sumber Pengetahuan (Wahyu, Akal dan
Rasa)
Bagi yang mengaku dirinya muslim
sumber utamanya adalah wahyu atau al-Quran sebagai sumber absolut yang berasal
dari Tuhan semesta alam. Wahyu menempati posisi absolut karena bersumber dari
yang absolut pula. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar dan
kebenarannnya tidak dapat dibantah manusia. Hampir setiap penilaian terhadap
sesuatu senantiasa merujuk kepada wahyu tersebut. Wahyu yang menekankan ketiga
sumber tersebut dan mengingatkan manusia tentang ketertinggalan dan kemunduran
untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran tidak lain disebabkan oleh diri
manusia itu sendiri yang lalai dan malas menggunakan semua potensi- potensi
yang telah dianugerahkan kepada mereka atau pengetahuan itu tidak menghampiri
manusia karena ada hijab (batas) yang menghalanginya.
Di kalangan kaum muslimin ada dua tipe pemikiran
dalam memahami wahyu itu sebagai sumber. Pertama, sebagai sumber ilmu
pengetahuan ilmiyah dan kedua, sebagai sumber petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi,
Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka
tergolong kedalam kelompok yang pertama sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi dan
Quraish Shihab termasuk kelompok yang kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada
diantara kedua kelompok tersebut, ia menekankan wahyu itu sebagai petunjuk bagi
manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk
senantiasa menggunakan indra, akal dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari
alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri.
Sumber pengetahuan yang lain adalah akal yang
mempunyai fungsi sangat besar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Posisinya
sangat tinggi dalam Islam, ia berpotensi sebagai alat untuk berfikir, memahami
dan mengambil kesimpulan, khususnya dikalangan para filosof dibagi kepada dua
yakni aktif dan teoritis dengan fungsinya masing-masing. Akal aktif berkaitan
dengan etika, sedangkan yang pokok akal teoritis merupakan fakultas pemahaman.
Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental
yang luar biasa , yang tidak dimiliki oleh hewan yakni akal. Akal mempunyai
kemampuan bertanya secara kritis. Kelebihan yang paling istimewa dari akal
terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap kuiditas atau esensi
dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat
pengetahuan, indra tentu sangat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh
aliran filsafat tertentu, seperti empirisme, indra dipandang sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Indra adalah sumber awal mengenal alam
sekeliling kita. Bahkan satu riwayat menyatakan : “apabila seorang manusia
kehilangan salah satu indranya, maka ia telah kehilangan setengah ilmu”.
Melalui mata manusia menangkap hal-hal yang tampak apakah bentuk, keberadaan,
sifat atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Melalui telinga dapat
mendengar suara. Demikian juga dengan indra perasa, kita bisa mengenal dimensi
yang lain lagi dari objek-objek dunia yaitu rasa, (masam, manis , asam, pahit
dan lain-lain) yang tentunya tidak dapat dilihat dan didengar oleh mata dan
telinga .Indra peraba untuk memegang. Tak kalah pentingnya juga indra penciuman
yang dapat menyerap aspek lain dari objek-objek fisik yaitu bau Setelah melihat
fungsi indra sangat besar pengaruhnya untuk mendapatkan pengetahuan. Persoalan
sekarang, cukupkah indra memenuhi kebutuhan akan ilmu sebagai pengetahuan
tentang sesuatu sebagaimana adanya?. Apakah misalnya penglihatan manusia telah
mampu memberikan pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan,
bintang ? Sepintas bisa dijawab ya, dapat dikatakan langit itu biru dan bintang
itu kecil. Namun apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri
sebagaimana adanya atau semata-mata kesan yang tercerap oleh mata belaka?.
Apakah kesan-kesan inderawi itu sama dengan kenyataan? tidak, ternyata indra
itu terbatas. Banyak dorongan dan perintah bagi kaum muslimin dalam Alquran
untuk mengadakan pengamatan (observasi) dengan indera juga penalaran dalam
memahami alam.
C. Kriteria Kebenaran dalam Epistemologi Islam
Pandangan Islam akan kebenaran
merujuk kepada landasan keimanan dan keyakinan terhadap keadilan yang bersumber
pada Al-Qur’an. Sebagaimana yang diutarakan oleh fazrur rahman bahwa semangat
dasar dari Al-qur’an adalah semangat moral, ide-ide keadilan social dan
ekonomi. Hokum moral adalah abadi, ia adalah “perintah Allah”. Manusia tak
dapat membuat dan memusnahkan hokum moral : ia harus menyerahkan diri
kepadanya. Pernyataan ini dinamakan Islam dan Implementasinya dalam
kehidupan di sebut Ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi hokum
moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.
Dalam kajian epistemologi Islam dijumpai beberapa
teori tentang kebenaran :
a.Teori Korespondensi
Menurut teori ini suatu posisi atau pengertian itu
benar adalah apabila terdapat suatu fakta bersesuaian, yang beralasan dengan
realitas, yang serasi dengan situasi actual, maka kebenaran adalah sesuai fakta
dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal yang diberinya interpretasi.
b.Teori Konsistensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan (judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta atau
realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata
lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang baik
dengan putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benar terlebih
dahulu, jadi sesuatu itu benar, hubungan itu saling berhubungan dengan
kebenaran sebelumnya.
c.Teori Prakmatis
Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan,
dalil atau semata-mata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya.[17]
D. Peranan dan Fungsi Pengetahuan Islam
Ilmu atau pengetahuan dalam Islam
mempunyai peran dan fungsi yang cukup penting. Tak dapat dipungkiri keberadaan
ilmu menempati posisi sangat tinggi karena mempunyai peran dan pengaruh cukup
besar pada perkembangan, perubahan dan kemajuan umat manusia.
Jalaluddin Rakhmat mengungkap peran penting ilmu
menurut Islam antara lain :
1. Ilmu
pengertahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem), hubungan sebab
akibat dan tujuan dialam semesta. Dalam banyak ayat Alquran dijelaskan bahwa
alam ini diurus oleh pengurus dan pencipta yang tunggal, karena itu tidak
pernah ada kerancuan (tahafut) di dalamnya. Alam bergerak menuju tujuan
tertentu, karena Allah tidak menciptakannya untuk main-main dan bukan perbuatan
sia-sia. Keteraturan dalam ilmu biasanya disebut hukum-hukum yang terdapat
dalam afaq disebut alquran sebagai qadar atau takdir sedangkan aturan dalam
anfus dan tarikh disebut sebagai sunnatullah.
2. Ilmu
harus dikembangkan untuk mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah
sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang dan segala yang langit
dan dibumi untuk manusia.
3. Ilmu harus dikembangkan
dengan tidak menimbulkan kerusakan baik afaq atau anfus.
Adapun fungsi ilmu menurut RBS. Fubyartana
sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari antara lain:
1.
fungsi Deskriptis : menggambarkan, melukiskan
dan memaparkan suatu obyek atau masalah
sehingga mudah dipelajari oleh peneliti
2.
Fungsi pengembangan : Melanjutkan hasil penemuan
yang lalu yang menemukan hasil ilmu
pengetahuan yang baru
3.
Fungsi prediksi : meramalkan kejadian yang besar
kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat
mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya
4. Fungsi kontrol : berusaha mengendalikan
peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.
Dalam Ensiklopedi, Dawam Raharjo menyatakan satu
fungsi ilmu yakni, perbaikan atau pembaharuan, dalam istilah Alquran “ishlah”
.Mahdi Ghulsyani menerangkan manfaat ilmu antara lain :
1. Ilmu dapat
meningkatkan pengetahuan seseorang akan Allah.
2. Ilmu dengan
efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan
tujuan-tujuannya.
3. Dapat
membimbing orang lain.
4. Dapat
memecahkan berbagai problem masyarakat.
pandangan Murtadha Muthahhari,
Quraisy Shihab menyingkap hubungan penting antara ilmu pengetahuan dan agama
sebagai berikut :
· Ilmu
mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.
· Ilmu
menyesuaikan manusia dengan lingkungannya dan agama menyesuaikan dengan jati
dirinya.
· Ilmu
hiasan lahir dan agama hiasan batin
· Ilmu
memberikan kekuatan dan menerangi jalan dan agama memberi harapan dan dorongan
bagi
jiwa
· Ilmu
menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab yang
dimulai
dengan “mengapa”.
· Ilmu
tidak jarang mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama selalu menenangkan
jiwa
pemeluknya
yang tulus.[18]
DEFENISI ISLAM DAN SUMBER AJARAN ISLAM
A. Definisi Islam
Islam secara etimologi (bahasa)
berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at
(terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua definisi:
1. Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata
iman, maka definisi Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun
furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan
perbuatan. Jadi defnisi ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan
lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah SWT. atas semua yang
telah ditentukan dan ditakdirkan.[19]
“(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim),
‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’”
[Al-Baqarah: 131]
2. Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata
iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang
dengannya terjaga diri dan hartanya[20],
baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal
hati [21].
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’
Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah
tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala)
amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat: 14]
B. Sumber Ajaran Islam
1. Al-Qur’an
a.Pengertian Al-Qur’an
Etimologi = Al-Qur’an
–> Qara’a – Yaqra’u – Qur’anan yang berarti bacaan.
Terminologi =
Al-Qur’an adalah Kalam Allah swt. yang merupakan mu’jizat yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam Mushaf, diriwayatkan secara mutawatir
dan membacanya adalah ibadah.
Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur selama kurang
lebih 23 tahun, 13 tahun sebelum hijrah hingga 10 tahun setelah hijrah.
b. Fungsi Al-Qur’an
1. Sebagai pedoman hidup.
2. Sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab
Allah swt. yang terdahulu.
3. Sebagai sarana peribadatan.
c. Kandungan Al-Qur’an
1. Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah swt., malaikat,
rasul, hari akhir, qadha dan qadar, dan
sebagainya.
2. Prinsip-prinsip syari’ah baik mengenai ibadah
khusus maupun ibadah umum sepertiperekonomian,
pemerintahan,
pernikahan, kemasyarakatan dan sebagainya.
3. Janji dan ancaman.
4. Kisah para nabi dan Rasul Allah swt. serta
umat-umat terdahulu ( sebagai i’tibar / pelajaran ).
5. Konsep ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang
masalah ketuhanan ( agama ), manusia, masyarakat
maupun
tentang alam semesta.
2. As-Sunnah
a. Pengertian As-Sunnah / Hadits
Etimologi = jalan /
tradisi, kebiasaan, adat istiadat, dapat juga berarti undang-undang yang
berlaku.
T erminologi
= berita / kabar, segala perbuatan, perkataan dan takrir ( keizinan /
pernyataan ) Nabi Muhammad saw.
b. Kedudukan As-Sunnah / Hadits
As-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua
sesudah Al-Qur’an.
Apabila as-Sunnah / Hadits tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami
kesulitan-kesulitan seperti :
1.
Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji, mengeluarkan
Zakat dan lain sebagainya, karena ayat al-
Qur’an dalam hal tersebut hanya
berbicara secara global dan umum, sedangkan yang menjelaskan secara rinci
adalah as-Sunnah / Hadits.
2.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, untuk
menghindari penafsiran yang subyektif dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
3. Mengikuti pola hidup Nabi, karena dijelaskan
secara rinci dalam Sunnahnya, sedangkan
mengikuti pola
hidup Nabi adalah perintah al-Qur’an.
4. Menghadapi masalah kehidupan yang bersifat
teknis, karena adanya peraturan-peraturan
yang diterangkan oleh as-Sunnah / Hadits
yang tidak ada dalam al-Qur’an seperti kebolehan
memakan bangkai ikan dan belalang,
sedangkan dalam al-Qur’an menyatakan bahwa
bangkai itu haram.
3. Ijtihad
a. Pengertian
Ijtihad
Etimologi =
mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha bersungguh-sungguh, bekerja
semaksimal munggkin.
Terminologi = usaha
yang sungguh-sungguh oleh seseorang ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu,
untuk merumuskan kepastian hukum tentang sesuatu ( beberapa ) perkara tertentu
yang belum ditetapkan hukumnya secara explisit di dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Menurut Mahmud Syaltut, Ijtihad
atau al-Ra’yu mencakup 2 pengertian, yaitu :
1. Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum
yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-
Qur’an
dan as-Sunnah.
2. Penggunaan pikiran dalam mengartikan,
menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat
atau
Hadits.
b. Kedudukanijtihad
Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijtihad
sebagai sumber hukum Islam yang ketiga terikat dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Yang ditetapkan oleh Ijtihad
tidak melahirkan keputusan yang absolut, sebab Ijtihad merupakan
aktivitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka
keputusan Ijtihad pun relatif.
2. Keputusan yang diterapkan
oleh Ijtihad mungkin berlaku bagi seseorang, tetapi tidak berlaku bagi
orang lain. Berlaku untuk satu masa /
tempat, tetapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
3. Keputusan Ijtihad tidak
boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Berijtihad mempertimbangkan
faktor motivasi, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan
nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa
ajaran Islam.
5. Ijtihad tidak berlaku dalam
urusan Ibadah Makhdah.
BEBERAPA
PENDEKATAN STUDI ISLAM
a) Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif
termasuk salah satu pendekatan studi islam yang cukup populer dikalangan umat
islam. Pendapat ini dalam memahami agama dengan mengunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu
keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainya.[22]
Dengan demikian teologi adalah
istilah ilmu agama yang membahas ajaran ajaran dasar dari suatu agama atau
suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami
seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama
yang diyakininya.
Pendekatan teologi dalam
pendekatan pemahaman keagmaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk
formal atau simbol simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang
paling benar sedangkan yang lainya adalah salah. Aliran teologi yang satu
begitu yakin dan fanatik bahwa fahamnyalah yang paling benar sedangkan yang
lainya adalah salah, sehingga memandang faham orang lain itu keliru, sesat,
kafir, murtad dan seterusnya.
Sedangkan kelebihan dari
pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan ini seorang akan
memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh kepada agama yang
diyakininya sebagai yang bnar tanpa memandang dan meremehkan agama lain. Dengan
pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama
yang dianutnya.[23]
Klasifikasi atau pembidangan ilmu-ilmu agama islam
erat hubungannya dengan perkembangan islam dalam sejarah. Tidak bisa dipungkiri
bahwa ajaran islam mengalami perkembangan dalam sejarah, sejak zaman Nabi
Muhammad Saw sampai ke zaman kita sekarang, dan akan terus berkembang lagi pada
masa depan.
Ajaran-ajaran islam tidak turun
sekaligus begitu saja dari langit melainkan diturunkan secara berangsur-angsur
kepada Nabi Muhammad Saw. Sesuai dengan perkembangan umat islam pada zaman
beliau hidup. Alqur’an datang untuk meluruskan keyakinan manusia dengan membuat
ajaran tauhid. Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah,
tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada Nya. Sifat-sifat yang lebih
disifatkan kepadaNya dan tentang sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari
padaNya.
b) Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologi dalam
memahami agama dapat di artikan sebagagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktis keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Antropologi dalam kaitan ini sebagai mana dikatakan Dewan Raharjo,
lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Penelitian antropologi yang induktif, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak
pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya pembebasan diri kungkungan teori-teori
formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagai mana yang dilakukan dibidang
sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang mengunakan model model matematis.
Karl marx (1818-1883) sebagai contoh melihat agama
sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk
memperkenalkan teori[i] konflik atau yang biasa disebut dengan teori
pertentangan kelas. Lain hanya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya
korelasi positif antara ajaran protestan dengan munculnya semangat munculnya
kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja
masyarakat industri yang modern yang kapitalistik.
Selanjutnya melaui pendekatan
antropologis ini, kita dapat mlihat agama dalam hubunganya dengan mekanisme
pengorganisasian. Seperti kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam
karyanya The Religion of Java dapat dijadikan contoh Yang baik dalam hal ini,
Geertz melihat adanya klasifikasi social dalam masyarakat muslim di Java,
antara santri, priyayai dan abangan.
Dengan demikian pendekatan
antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran
agama tersebut terdapat uraiyan dan informasi yang dapat dijelaskan lewat
bantuan ilmu antropologi dengan cabang cabangnya.
Salah satu konsep kunci terpenting
dalam antropologi modern adalah holisme, yaknipandangan bahwa praktik praktik
sosial harus diteliti dalm konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik
yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang di teliti. Para
antropologis harus melihat agama dan praktik praktik pertanian, kekeluargan dan
politik, magig dan pengobatan “secara bersama-sama maka agama tidak bisa
dilihat sebagai system otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik
sosial lainya.[24]
c) Pendekatan Filosofis
Kata filsafat berasal dari kata
philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat
dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat
serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum
Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenal sebab-sebab, asas-asas, hukum dsb
terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti
“adanya” sesuatu. Pengertian filsafat pada umumnyadikemukakan oleh Sidi
Galzaba. Menurut beliau filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa filsafat berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah
mengenai sesuatu yang berada di balik formatnya. Filsafat mencari sesuatu yang
mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai
contoh, kita sering menjumpai berbagai merk pulpen dengan kualitas dan harganya
yang berlainan, namun inti semua pulpen adalah sebagai alat tulis.
Berdasarkan pendekatan filosofis, Pendidikan Islam
dapat diartikan sebagai studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan
nilai-nilai ajaran Islam menurut konsepsi filosofis, bersumber kitab suci
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Pendekatan filosofis ini memandang
bahwa manusia
Dalam proses belajar mengajar,
pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya pada
pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam, atau pada proses
penciptaan manusia berasal, bagaimana proses kejadiannya sampai pada
terciptanya bentuk manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal
pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,
yaitu Allah SWT).
Dalam hal ini, Al-Qur’an
benar-benar memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan
pikirannya (rasio) secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selalau hamba
Allah SWT, selaku makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi.
Pendekatan filosofis, Al Qur’an
memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti dengan adanya
pengahrgaan Allah SWT kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran (rasio).
Ungkapan penghargaan tersebut terulang sebanyak 780 kali salah satu diantaranya
adalah surat Al Baqarah: [2]: 269
c) Pendekatan Historis
Sejarah atau histories adalah
suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan
unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik
dari alam idialis kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini
seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat
dalam alam idialis dengan yang ada dalam alam empiris dan historis.
Melalui pendekatan sejarah ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama
keluar dari konteks historisnya karena pemahaman demikiian itu akan menyesatkan
orang yang memahaminya.seseorang yang ingin memahami alquran secara benar
misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunya alquran atau
kejadian kejadian yang mengiringi turunya alquran yang selanjutnya disebut
sebagai ilmu Asbab an Nuzul (ilmu tentang sebab sebab turunya ayat ayat
alquran) yang pada intinya berisi sejarah turunya ayat alquran. Dengan ilmu
asbabun Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam
suatu ayat yang berkenan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara
syariat dari kekeliruan memahaminya.[25]
Dengan menggunakan pendekatan
sejarah ada lima teori yang bisa digunakan, yaitu:
1. Idealisme approach
Adalah
seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan
mempercayai
secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan.
2. Reductionalist approach
Adalah
seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan
penuh
keraguan.
3. Diakronik
Adalah
penelusuran sejarah dan perkembangan satu fenomena yang sedang diteliti.
4. Sinkronik
Adalah
kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang
diteliti.
5. Teori
Adalah
sistem nilai atau budaya.
d) Pendekatan Politis
Secara harfiah, politik dapat
diartikan sebagai usaha atau rekayasa yang diatur sedemikian rupa dalam rangka
mencapai tujuan. Dengan pengertian ini politik yang dalam bahasa arabnya
dikenal dengan istilah al-siyasah berlaku pada semua aspek kehidupan seperti
pendidikan, keluaraga, ekonomi, budaya, keagamaan, dan lain sebagainya. Dalam
perkembangan selanjutnya, politik sering dikaitkan dengan urusan pemerintahan
tersebut, tampakmya yang paling menonjol dibandingkan dengan pengertian politik
lainya.
Dalam sejarah islam, hububgab antara
pendidikan dengan politik juga dapat dilacak pada masa-masa pertumbuhan paling
subur dalam lembaga-lembaga pendidikan islam, semacam marasah sepanjang sejarah
terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan
ini, misalnya, dapat dilihat dari pendirian bayak madrasah di timur tengah yang
disponsori oleh penguasa publik. Contoh paling terkenal dalam hal ini adalah
madrasah Nishamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar tahun1064 M oleh Wazir
Nizham Dinasti saljuk, Nizam al-Mulk, di madrasah ini terkenal adanya seorang
pemikir bsar al-ghozali yang menjadi salah seorang mahagurunya.
Siknifikansi dan implikasi politik dan pengembangan
madrasah atau pendidikan islam, pada umumnya, bagi para penguasa muslim sudah
jelas. Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang
kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, diantaranya
untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguaa sebagai orang orang yang
mempunyai kesalehan, minat, dan kepedulian kepada kepentingan umat, dan ini
lebih penting lagi sebagai pembeda antara ortodoksi dan lainya. Semua ini,
menurut Azyumardi Azra, pada giliranya akan memperkuat legitimasi penguasa
berkaitan dengan rakyat yang mereka pimpin.[26]
SUMBER DAN
KARAKTERISTIK ISLAM
A. Sumber Ajaran Islam: Primer dan Sekunder
Menurut Harun Nasution Islam
merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
manusia melalui Nabi Muhammad SAW.[27]
Secara Istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang
datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari
nabi Muhammad SAW.[28]
Kemudian kalangan ulama’ sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah
Alqur’an dan Al-Sunnah, sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat
untuk memahami Alqur’an dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam
itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT.
1. Sumber Ajaran Islam Primer
a. Alqur’an
Menurut pendapat yang paling kuat,
seperti yang dikemukakan oleh Subni Shalih, Alqur’an berarti bacaan. Ia
merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti ism
al-maf’ul, yaitu maqru’ yang dibaca (alqur’an terjemahannya, 1990: 15).
Pegertian ini merujuk pada sifat alqur’an yang difirmankan-Nya dalam alqur’an
(Q.S. Alqiyamah [75]:7-18), dalam ayat tersebut Allah berfirman.
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (didadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami
telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Alqiyamah
[75]:7-18)[29]
Fungsi Al-Qur’an tersurat dalam nama-namanya adalah
sebagaimana berikut;
1) Al-huda (petunjuk)
Dalam al-qur’an terdapat tiga
kategori tentang posisi alqur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi
manusia secara umum. Kedua, Alqur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman,
“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alqur’an yang berfungsi sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” (Q.S.
ai-Baqarah [2]: 185)
2) Al-furqan (pemisah)
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia
adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang
batil, atau antara yang benar dan salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan
adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (Q.S. al-Baqarah [2]: 185).
3) Al-syifa (obat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia
berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada pada dada (mungkin
disini yang dimaksud adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada...” (Q.S. Yunus [10]:
57).
4) Al-mau’izah (nasihat).
Dalam alqur’an dikatakan bahwa ia
berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman,
“Al-qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orangg yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran [3]: 138)[30]
b. Al-Hadis
Al-Hadis berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam
yang kedua setelah Al-qur’an. Selain didasarkan pada keterangan-keterangan
ayat-ayat Alqur’an dan Hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para
sahabat.[6] Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau
wafat.
Dalam literatur hadis dijumpai
beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah,
al-khabar, dan al-atsar. Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut
kebanyakan ulama’ hadis adalah sama dengan terminologi al-hadits meskipun
ulama’ lain ada yang membedakannya.
Al-sunnah dalam pengertian etimologi adalah
“Jalan atau cara yang merupakan kebiasaan yang baik
atau jelek. (Nur al-‘ Athar, 1979: 27)”
Posisi dan Fungsi Hadits
Umat Islam sepakat bahwa hadits
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur’an. Kesepakatan mereka
didasarkan pada nas, baik yang terdapat dalam al-qur’an maupun hadits. Hal ini
sejalan dengan sabda Nabi (lihat Jalal al-din Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr
al-Suyuti, th. 505)
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu, yang kalian
tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan Sunnah Rasul.
Hadits berfungsi merinci danmengiterpretasi
ayat-ayat al-qur’anyang mujmal (global) serta memberikan persyaratan (taqyid)
terhadap ayat-ayat yang muthlaq. Disamping itu, ia pun berfungsi mengkhususkan
(tahkhshish) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (‘am). Fungsi ini merujuk
pada bayan al-tafshil versi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga bayan tafsir.
Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam
al-qur’an. Fungsi ini mengacu pada bayan al-tasyri’ versi Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
2. Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam Sekunder
a. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal
dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukkan pekerjaan
yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.
Menurut Abu Zahra, secara istilah, arti ijtihad
ialah:
Upaya seorang ahli fiqh dengan
kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci.
Sebagian lagi menggunakan metode
ma’quli (berdasarkan ra’yi dan akal).
Secara harfiah ra’yi berarti pendapat dan
pertimbangan. Tetapi orang-orang arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan
keahlian yang dipertimbangkan dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi.[31]
b. Syarat-syarat Mujtahid
1) Mukalaf, karena hanya mukalaf yang mungkin dapat
melakukan penetapan hukum.
2) Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya
3) Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan
sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4) Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki
qarinah atau tidak.
d. Macam-macam Mujtahid
1) Mujtahid Mutlak
Yaitu
orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari al-Qur’an
dan hadits, dan
seringkali mendirikan mazhab sendiri seperti halnya para sahabat dan
para imam yang empat.
2) Mujtahid Mazhab
Yaitu
para mujtahid yang mengikuti salah satu mazhab dan tidak membentuk suatu
mazhab
tersendiri akan tetapi dalam beberapa hal mereka berijtihad mungkin
berbeda pendapat dengan
imamnya.
3) Mujtahid fil Masa’il
Yaitu
orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam
arti
keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu mazhab.
4) Mujtahid Mugaiyyad
Yaitu
orang-orang yang berijtihad mengikatkan diri dan mengikuti pendapat ulama
salaf, dengan
kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih utama dan pendapat-pendapat
yang berbeda
beserta riwayat yang lebih kuat di antara riwayat itu, begitu pun mereka
memahami dalil-dalil yang
menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti.
e. Hukum Ijtihad
Pertama, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam
nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ’ain.
B. Karakteristik Islam
Istilah “karakteristik ajaran
Islam” terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran Islam. Karakteristik
adalah sesuatu yang mempunyai karakter atau sifatnya yang khas.[32]
Islam adalah agama yang diajarkan Nabi Muhammad saw., yang berpedoman pada
kitab suci Al-Qur’an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu Allah SWT. Dari
pengertian dua kata tersebut, karakteristik ajaran Islam dapat diartikan
sebagai suatu ciri khas dari ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad yang
mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam
berbagai bidang agama , muamalah, yang di dalamnya termasuk ekonomi, sosial,
politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup, dan disiplin ilmu,
yang kesemuanya itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dari sini dapat
dilihat bahwa Islam memiliki karakteristik yang universal sehingga mampu
menjangkau lapisan masyarakat yang berlainan dan beragam model dan bentuknya.
Dan dengan itulah Islm memberikan banyak solusi dalam berbagai bidang kehidupan
disepanjang zaman. Dan inilah yang merupakan karakteristik dari ajaran Islam
yang hakiki.
1. Dalam Bidang Agama
Islam itu agama yang Kitab Sucinya dengan tegas
mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik.
Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar
paham kemajemukan sosial budaya dan agama, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak
berubah-ubah.[33]
Hal ini diperkuat pada Qs. Al-Maidah ayat 46.
Artinya: Dan kami teruskan jejak
mereka dengan mengutus ‘Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya,
yaitu Taurat. Dan kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitb yang sebelumnya yaitu Taurat, dan
sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
2. Dalam Bidang Ibadah
Ibadah dapat diartikan sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya,
menjauhi segala yang dilarang-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya.
Ibadah ada yang bersifat khusus dan umum. Ibadah khusus dapat diartikan sebagai
apa yang telah ditetapkan Allah akan perinci-perinciannya, tingkat dan
cara-caranya tertentu. Misalnya bilangan salat lima waktu serta tata cara
mengerjakannya, ketentuan ibadah haji dan tata cara mengerjakannya. Dalam
yurisprudensi Islam telah ditetapkan bahwa dalam urusan ibadah khusus tidak
boleh ada “kreativitas”, sebab yang meng”create” atau yang membentuk suatu ibadah
dalam Islam dinilai sebagai bid’ah yang dikutuk Nabi sebagai kesesatan.
3. Bidang Ilmu Dan Kebudayaan
Dalam bidang ilmu, kebudayaan, dan
teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka dan tidak
tertutup, terbuka untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi juga harus
selektif, maksudnya adalah tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan
teknologi, melainkan ilmu dan teknologi yang sesuai tidak menyimpang dari
ajaran Islam.
4. Bidang Pendidikan
Karakteristik Islam dalam bidang
pendidikan yaitu Islam memandang pendidikan sebagai hak bagi setiap orang
(education for all), laki-laki atau peempuan, dan berlangsung sepanjang hayat
(long life education). Islam pu memiliki rumusan yang jelas terhadap dunia
pendidikan dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana, dan lain
sebagainya.
5. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, ciri khas
yang diajarkan Islam yaitu ajaran yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia.
Berbagai ajaran yang diajarkan Islam untuk mensejahterakan manusia antara lain
sikap toleransi meskipun dengan umat yang berbeda agama, sikap tolong mnolong,
kesamaan derajat, kesetiakawanan, tenggang rasa, kegotong royongan atau
kebersamaan, dan lain sebagainya
6. Bidang Kehidupan Ekonomi
Islam merupakan agama yang memiliki
ajaran dalam segala bidang, dalam urusan kehidupan duniapun dalam hal ini
bidang ekonomi, Islam mengajarkannya untuk kesejahteraan manusia, karena Islam
memandang bahwa manusia itu harus hidup seimbang dan tidak terpisahkan antara
urusan dunia dan akhirat. Adapun ciri khas ekonomi Islam yaitu:[34]
a) Ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem ekonomi
Islam
b) Ekonomi Islam merealisasikan keseimbangan individu
dengan kepentingan masyarakat.
C. Moralitas Islam
1. Dasar Moralitas
Dasar-dasar dalam moralitas Islam meliputi
dasar-dasar agama, dimana etika Islam berakar pada kehidupan dan ajaran-ajaran
Nabi Muhammad, yang prinsip-prinsip moralitas dan perilaku utamanya sangat
komprehensif. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari perilaku (moralitas) utamanya,
dapat kita pelajari dari pembicaraan Nabi dan Ali, sebagai berikut:[35]
“ Suatu kali Ali bertanya pada Nabi tentang
prinsip-prinsip yang mendasari perilaku utamya, dan beliau menjawab:
ilmu-pengetahuan adalah modalku, akal fikiran adalah dasar agamaku, cinta
adalah landasanku, hasrat adalah kendaraanku, ingat kepada Allah adalah
sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar adalah bajuku, pengetahuan adalah
tanganku, kepuasan adalah harta rampasanku, menolak kesenangan adalah
profesiku, keyakinan adalah makananku, kebenaran adalah saranaku, taat adalah
perbekalanku, jihad adalah kebiasaanku dan kesenangan hatiku ialah dalam
mengarjakan ibadah.”
2. Tujuan Moralitas
Islam tidak mengajarkan hidup bertapa dan hidup
mewah, juga tidak memperkenalkan moralitas tanpa agama. Tujuan dari moralitas
Islam ialah membuat manusia patut menduduki jabatannya, yakni membuatnya
menjadi khalifah di bumi. Manusia yang demikian itu adalah ideal. Dalam
hadits-hadits Nabi Muhammad, perintah-perintah moral sangat komprehensip
meliputi nilai-nilai individual, sosial, fisikal, dan spiritual (ibadah) agar
manusia bisa hidup bahagia di dunia ini dan di alam baka. Adapun contoh sumber
moralitas dalam aspek spiritual (ibadah) yaitu sembahyang (shalat), adalah
sumber utama moralitas, karena shalat mampu mengatur fikiran dan badan menuju
arah yang benar. Tidak ada perbuatan yang disebut bermoral kecuali jika ia
sadar dan sesuai dengan sumber moral – ketentuan-ketentuan al-qur’an dan Hadits
serta motif-motif pribadi yang mempengaruhi suatu perbuatan – karena, “segala
perbuatan dinilai menurut niat (maksud)nya” demikian sabda Nabi.
D. Islam dan Wacana Pembaharuan
Sebagai ormas terbesar di negeri ini, Muhammadiyah
dan NU memang sangat berpengaruh dalam hampir seluruh aspek kehidupan bangsa
ini. Bahkan, pencitraan islam indonesia, secara langsung atau tidak senantiasa
dihubungkan pada organisasi modernis, dan NU yang sama-sama memiliki jama’ah
yang besar. Harapan ini tentu saja tidak berlebihan, sekalipun bukan tanpa
masalah. Bahkan, masalah tersebut dapat muncul dalam internal ormas
Muhammadiyah dan NU. Misalnya apakah Muhammadiyah dan NU mampu menjadi
alternatif dalam menjawab persoalan – persoalan yang mumcul dihadapan hidung
umat islam, ataukah Muhammadiyah dan NU berhenti dalam ijtihad sehingga masalah
– masalah umat semakin menumpuk dan tidak ada jalan keluarnya.
Problem tersebut bukan hanya teologis, tetapi
sekaligus kultural dan struktural. Yang mana ketiganya mengharuskan adanya
sebuah proses kreatif dari Muhammadiyah dan NU, sehingga ormas islam ini mampu
memberikan sumbangan yang penting dalam proses pembaharuah pemikiran islam.[36]
a. Problem Teologis
Terdapat banyak problem yang menghinggapi pada
kehidupan umat beragama. problem teologis misalnya yang merupakan turunan dari
ideologi. Keyakinan penganut setiap agama yang ada, sehingga tidak jarang
membuahkan truth claim sebagai pemilik mutlak kebenaran tuhan, sehingga agama
diluar agama yang dianut tidak lebih dari agama palsu/ bahkan agama setan.
Problem teologis ini seakan - akan mendapatkan
legitimasi dari kitab suci yang dipahami secara rigit – tekstual, sehingga
pemahaman atas teks suci keagamaan tidak memasukkan dimensi sosial historis
yang menjadi bagian dari basis munculnya teks suci tiap-tiap agama terutama
yang menyangkut pada agama ibrahim. Dan tiga agama ibrahim ini akhirnya tidak
pernah lepas dari pertentangan dan bahkan perebutan wilayah dakwah- misi unntuk
memperluas penganut jama’ah di tengah masyarakat.
b. Problem Kultural
Selain problem teologis, problem cultural juga menjadi
bagian dari rumitnya kehidupan umat beragama yang harus direspons oleh islam.
Misalnya perpindahan agama, jika kita memiliki pemahaman yang tidak stereotype
tentang agama-agama. Sebenarnya perpindahan agama dapatlah dipandang sebagai
sebuah proses social yang wajar, tatkala perpindahan agama dilakukan dengan
cara sadar, tanpa paksaan, sebab dalam agama yang baru diyakini dapat
memberikan”keberkahan” dan keselamatan, perlindugan, secara memadai atas
kehidupan yang dialaminya. Perpindahan agama karena itu, bukan merupakan
persoalan teologis yang menghawatirka, sebab kepenganutan agama dalam tradisi
masyarakat kita, lebih dekat dengan factor keturunan dan lingkungan. Bila
bapak- nenek moyang kita dan komunitas kita beragama islam, kemungkinan akan
beragama islam, demikian pula jika beragama Kristen dan seterusnya, kita juga
akan beragama Kristen. Pendek kata, proses internalisasi keagamaan lebih banyak
dipengaruhi karna factor keturunan dan komunitasnya, bahkan teologis apalagi
politik.
c. Problem Struktural
Selain problem teologis dan problem cultural, ada
juga problem structural. misalnya, problem dominannya keterlibatan negara dalam
urusan agama, yakni adanya kompilasi hukum islam yang mengatur tentang
kehidupan umat beragama, tidak saja umat islam. Sebab dalam kompilasi hukum
islam mengatur pula tentang boleh tidaknya perkawinan antar- agama, hak
perwalian, hak pewaisan, dan hak pengadopsian anak.
sebagai agama yang memiliki
kebenaran, tetapi kebenaran tersebut lebih rendah dari kebenaran agama yang
dianutnya. Pandangan agama seperti itu bukan pandangan yang pluralis tapi bisa
disebut lazy tolerance.
Oleh sebab, itu cara pandang
standar ganda harus dirombak dengan cara pandang pluralis, yang menempatkan
kesetaraan dalam kebenaran agama. Sehingga menumbuhkan adanya mutual trust
antar umat beragama sebab, mutual trust akan menghasilkan demokratisasi dalam
kehidupan umat beragama yang pluralistik.
ISLAM SEBAGAI AGAMA WAHYU AL-QUR’AN
Pengertian Wahyu Al-Qur’an
Al-Qur’an berasal dari kata Arab yang terambil dari akar
kata. kata ini memiliki tiga bentuk noun (mashdar), secara bahasa kata ini
memiliki arti mengumpulkan.
Dalam istilah keyakinan umat Islam
al-Qur’an biasa didefinisikan sebagai firman Allah yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis di mushaf-mushaf, ditransmisikan
secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah.
Kata firman Allah dalam definisi di
atas menunjukkan keyakinan umat Islam bahwa tidak ada campur tangan manusia
dalam firman itu, termasuk pembawannya sendiri. Al-Qur’an adalah benar-benar
firman Allah, baik redaksi maupun maknanya. Penegasan ini juga menegasikan
hadits qudsi karena meskipun maknanya dari Allah, tetapi redaksinya dari Nabi
sendiri.[37]
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan
Subkhi Sholeh, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar)
dari kata qara’a (fi’il madhi) dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru’ yang
artinya dibaca. Pengetian ini merujuk pada sifat al-Qur’an yang
difirmankan-Nya. Dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 17-18 dimana menyebutkan
bahwa Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S al-Qiyamah: 17-18). [38]
Kata al-Qur’an selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan
kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kalam Allah yang
diwahyukan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak dinamai al-Qur’an,
seperti Taurat yang diwahyukan kepada Nabi Musa AS, Zabur kepada Nabi Daud AS,
dan Injil kepada Nabi Isa AS. Sebagai wahyu, al-Qur’an bukan pikiran dan
ciptaan Nabi Muhammad SAW. Perdebatan sekitar otentitas al-Qur’an sebagai
firman Allah (wahyu) telah terjadi semenjak al-Qur’an diturunkan. Akan tetapi
manusia tidak akan mampu menyusun satu ayatpun sebagaimana al-Qur’an, baik segi
susunan dan keindahan bahasanya juga maknanya lebih-lebih kepastian dan
kebenaran akan isinya yang berlaku mutlak dan tidak bisa dipungkiri.
Fungsi Al-Qur’an
Allah sebagai Khaliq (pencipta) dan manusia sebagai makhluk
mempunyai hubungan timbal balik. Manusia mempunyai keterikatan atau hubungan
dengan Allah. Paling tidak ada tiga hal yang membuat manusia terikat dan
tergantung penuh terhadap Allah, yaitu hubungan penciptaan, pengajaran dan
pemberian rezeki.
Sebagai konsekuensi dari hubungan dan keterikatan ini,
manusia pula mesti menjalin hubungan baik dengan-Nya, yaitu bersyukur
kepada-Nya. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana bersyukur itu?
Manusia memang sudah Allah anugerahkan akal yang dapat menganalisis apa yang
ada pada dirinya alam sekitar, yang mungkin saja dapat menemukan cara bersyukur
kepada Allah. Akan tetapi, akal tidak cukup mampu menemukan cara bersyukur itu
dengan senpurna. Maka untuk itulah al-Qur’an diturunkan, berfungsi membimbing
manusia bersyukur kepada-Nya dan mengajar cara-cara bersyukur ini.
Al-Qur’an menyebutkan fungsi beberapa fungsinya hadir di
tengah-tengah manusia, yaitu menjadi maw’izhah, syifa’ al-qalb, hudan, rahmah
dan al-furqan.[39]
Maw’izhah
Kata maw’izhah merupakan mashdar mimi dari kata wa’azha.
Secara harfiah is berati an-nushhu (nasihat) dan at-tadzkir bi al-awaqib
(memberi peringatan yang disertai ancaman). Ibnu Sayyidih, seperti dikutib oleh
Ibnu Manzu, mendefinisikan al-mauizhah itu kepada “perinngatan yang diberikan
kepada manusia untuk melunakkan hatinya yang disertai dengan ganjaran dan
ancaman“.
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai al-mau’izhah. Hal ini
berarti, bahwa sebagai pemberi nasihat dan peringatan kepada manusia. Nasihat
Al-Qur’an itu disertai janji-janji, baik ancaman berupa neraka bagi orang yang
melanggar nasihat tersebut maupun ganjaran beruapa surga bagi orang yang
menurutinya. Nasihat dan peringatan itu dapat melunakkan dan meluluhkan hati,
sehingga jiwa diharapkan tertarik kepada kebenaran yang disampaikannya.
Orang yang dapat menangkap maw’izhah hanyalah orang-orang
yang benar-benar hatinya mencari dan merindukan kebenaran; ketika membaca dan
memahaminya benar-benar berangkat dari ketulusan hati dan kepercayaan yang
penuh terhadapnya. Sebaliknya, mempelajari Al-Qur’an yang didasarkan atas
keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadapnya tidak akan melunakkan hati dan
jiwa.
Syifa’ (obat)
Seacra harfiah, syifa’ berarti obat. Maka Al-Qur’an sebagai
asy-syifa’ merupakan obat bagi manusia. Artinya, Al-Qur’an dapat mengobati
penyakit yang timbul di tengah-tengah komunitas, baik penyakit individual
maupun penyakit masyarakat. Tentu saja, hal itu jika manusia mau berobat sesuai
petunjuk Al-Qur’an. Penyakit-penyakit peribadi seperti stres; kegundahan dan
pikiran kacau dapat diobati oleh Al-Qur’an. Demikian pula penyakit-penyakit
masyarakat, seperti sikap hedonisme, fitnah, kecanduan narkoba, korupsi dan
krisis moral lainnya.
Pemgobatan Al-Qur’an diarahkan kepada hati, karena ia adalah
sumber segala perbuatan jahat maupun perbuatan terpuji. Penyakit yang sedang
menimpa pribadi dan masyarakat berasal dari hati yang sakit. Penyakit itu
adalah kesombongan, keangkuhan, mencintai dunia dan jabatan yang sangat
berlebihan; riya, dengki dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit inilah yang
melahirkan perampokan, prostitusi, korupsi, hedonisme, arogansi dan pembelaan
terhadapnya. Al-Qur’an diturunkan kepada manusia dalam rangka mengobati
penyakit-penyakit tersebut.
Hudan (petunjuk)
Kata hudan berasal dari kata hada. Dari kata ini juga
terbentuk kata hidayah dan al-hadi, dimana yang terakhir ini merupakan salah
satu Asmaul Husna. Secara harfiah, ia berarti menjelaskan, memberi tahu dan
menunjukkan. Dan al-hadi berarti yang memperlihatkan dan memperkenalkan kepada
hamban-Nya jalan mengetahui-Nya, sehingga para hamba mengakui rububiyah-Nya.
Secara istilah, hidayah berarti “tanda yang menunjukkan hal-hal yang dapat
menyampaikan seseorang yang dituju“.
Maka al-Qur’an sebagai hudan atau hidayah berarti, bahwa
fungsi al-Qur’an adalah menjelaskan dan memberitahu manusia tentang jalan yang
dapat menyampaikan kepada tujuan hidup, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Atau dengan kata lain, al-Qur’an bagaikan rambu-rambu dan isyarat yang
mengarahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Jika manusia
menuruti rambu-rambu dan arahkan yang diberikan, maka manusia akan selamat ke
tujuan.
Rahmat
Hijazi mendefinisikan rahmat itu kepada “kelembutan hati
yang melahirkan perbuatan baik (ihsan), ramah dan kasih sayang terhadap orang
lain“.
al-Qur’an sebagai rahmat mempunyai tiga arti. Pertama ajaran
yang terkandung di dalamnya mengandung unsur kasih sayang. Ia berfungsi
menyebarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk. Kedatangan Muhammad SAW dengan
membawa al-Qur’an digambarkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Artinya,
seluruh ajaran, gagasan, ide dan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam
al-Qur’an yang dibawanya itu dibangun atas prinsip kasih sayang. Tidak ada
ketentuan ajaran al-Qur’an yang tidak mengandung kasih sayang.
Arti kedua adalah ajaran-ajaran tersebut bermaksud
menanamkan perasaan lembut dan kasih terhadap orang lain, bahkan alam sekitar.
Perintah dan larangan serta ketentuan lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an
bermaksud membimbing manusia agar berada dalam kehidupan yang harmonis, saling
mencintai, saling asih dan saling menghargai.
Arti ketiga adalah bahwa kitab suci ini merupakan perwujudan
rahmat Allah bagi manusia. Atau dengan kata lain, Allah memberikan rahmat
kepada manusia melalui al-Qur’an.
Furqan (pembeda)
Seacra harfiah kata furqan berasal dari kata faraqa, yang
berarti pembeda. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai pembeda (furqan) antara
yang benar dan yang salah, antara yang hak dan yang bathil, antara kesesatan
dengan petunjuk dan antara jalan yang menuju keselematan dengan jalan yang
menuju kesengsaraan.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa manusia
telah Allah bekali akal indera dan hati, dimana manusia melalui ketiga hal itu
dapat mengenali kebenaran dan membedakan antara hak dan batil.[40]
Hubungan Al-Qur’an dengan Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya wajib dipatuhi. Tidak ada khilaf sedikitpun
diantara umat Islam bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber pokok ajaran Islam. Dari
al-Qur’anlah diambil segala pokok syari’ah dan cabang-cabangnya. Juga dari
al-Qur’anlah dalil-dalil syar’i mengambil kekuatan. Dengan demikian jelas bahwa
al-Qur’an merupakan dasar pokok bagi ajaran Islam dan mencakup segala hukum.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama.
al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah
lengkap, untuk penjelasan isi al-Qur’an ini maka selalu di dapati dalam sunnah
Nabi, bagaimana memakai atau melaksanakan hukum yang tercantum dalam al-Qur’an.
Jika suatu nash hukum tidak didapai dalam al-Qur’an dan
Sunah barulah digunakan ijma’, yaitu pendapat ulama’-ulama’ atau ijtihad,
pendapat seorang ulama’ atau dengan qiyas, yaitu membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang sudah pasti hukumnya.[41]
Dalam agama Islam pikiran setiap manusia berhak dipergunakan
sebaik-baiknya, sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an afala ta’qilun, yang
artinya pergunakanlah pikiranmu. Tidak boleh mengikuti saja kalau tahu itu
salah berdasarkan al-Qur’an dan Sunah.
Kehujjahan al-Qur’an
Al-Qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber-sumber
hukum lain dan merupakan aturan dasar tertinggi. Oleh karena itu sumber hukum
dan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia untuk
diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya. Dasar
kehujjahakn al-Qur’an terdapat pada surat An-Nisa’ ayat 105.8
Kehujjahan As-Sunnah
Sunnah secara bahasa adalah artinya jalan yang ditempuh atau
jalan yang sudah terbiasa. Sedangkan menurut istilah sunnah adalah sesuatu yang
berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan
pengakuan. Allah memerintahkan kita dalam al-Qur’an agar taat kepada Allah dan juga
Rasul-Nya.
Fungsi Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, menurut
pendapat ulama’ ada 3, yaitu memperkuat al-Qur’an, menjelaskan atau merinci
aturan –aturan yang digariskan oleh al-Qur’an dan menetapkan hukum baru yang
belum diatur secara eksplisit oleh al-Qur’an.[42]
Jika sekiranya as-Sunnah bukan merupakan hujjah dan tidak
pula merupakan penjelasan atas al-Qur’an, sudah tentu kita tidak akan dapat
melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang
terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, As-Sunnah baik ia menjelaskan al-Qur’an
atau berupa penetapan suatu hukum, umat Islam wajib menaatinya.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa berarti kesepakatan atau sependapat
tentang suatu hal. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan mujtahid umat Islam
tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia.
Dasar hukum ijma’ berupa al-Qur’an, as-Sunnah dan akal
pikiran. Misalnya pada surat Ali Imran ayat 103. Ayat ini memerintahkan kaum
muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai berai. Termasuk dalam
pengertian bersatu itulah berijma’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai,
yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati para mujtahid.
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum (syara’) dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti. Karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan
dusta.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan, membandingkan atau
mengukur. Menurut ulama’ ushul fiqh, qiyas meruapkan penetapan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan
dengan suatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan illat (alasan) antara kedua kejadian atau
peristiwa itu. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini
bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian.
Tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan
melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak
ada nash yang dimaksud barulah dilakukan Qiyas.[43]
Hubungan al-Qur’an dan as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas adalah
sebagai sumber sumber dalil-dalil syar’i yang ketiganya (as-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas) digunakan setelah melihat dalam al-Qur’an tidak terdapat penyelesaian
dan penjelasannya.
Pendekatan Pokok dalam Studi Al-Qur’an
Al-Qur’an berupa teks dan dipengaruhi oleh konteks yang ada
(asbabun nuzul), jadi dalam pendekatannya perlu mengiterpretasi teks tanpa
melupakan konteksnya. Dalam pendekatan al-Qur’an dikenal dengan metode tafsir
dan takwil.
Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang semakna
dengan awdhaha dan bayyana, dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara-semakna
dengan idhah dan tabyin. Kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada
menjelaskan atau menyatakan. Secara istilah, tafsir berati menjelaskan makana
ayat al-Qur’an, keadaan kisah dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal
yang menunjukkan kepada makna dhahir. Secara simpel Adz-Dzahabi mendefinisikan
tafsir itu kepada “penjelasan kalam Allah atau menjelaskan lafal-lafal
al-Qur’an dan pengertian-pengertiannya.
Menafsirkan al-Qur’an berarti menangkap makna yang
terkandung di dalamnya. Dan kerena al-Qur’an itu merupakan pesan-pesan Ilahi
yang datang dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan
yang dumilikinya menangkap makna yang pengertian yang dimaksud Allah dalam
ayat-ayat tersebut, dengan demikian, seorang musafir berarti menemui makna
bukan mengadakan makna.
Sedangkan takwil merupakan mashdar dari awwala yaitu awwala,
yuawwilu, takwil. Secara bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal. Takwil
menurut istilah berarti “memalingkan suatu lafal dari makna dhahir kepada makna
yang tidak dhahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan
makna itu sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah.
Menurut ulama’ salaf, takwil ni mempunyai dua arti, pertama
menafsirkan suatu ungkapan dan menjelaskan maknanya, baik sesuai dengan makna
dhahir maupun tidak. Maka takwil dalam arti ini semakna dengan tafsir, ia
merupakan dua istilah yang muradif (sama). Dan makna kedua adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh suatu ungkapan, jika ungkapan itu perintah melakukan sesuatu
makna takwilnya adalah perbuatan itu sendiri. Dan jika ungkpan itu dalam bentuk
berita, maka takwilnya adalah berita yang disampaikan itu.[44]
Jika dilihat dari segi teknis atau cara bagaimana mufassir
menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikatagorikan
dalam beberapa macam, yaitu tahlili, muqaran, mujmal dan mawdhu,i.
Tahlili
Tafsir tahlili (analisis) ialah menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang
mufassir, dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosa kata atau
lafal dari aspek bahasa dan makna. Metode tahlili merupakan cara yang
dipergunakan oleh para mufassir klasik masa lalu.
Muqaran
Secara harfiah, muqaran berarti perbandingan. Secara
istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau teknik menafsirkan al-Qur’an
dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya
mengenai tafsir sejumlah ayat. Dalam perbandingan seorang mufassir menjelaskan
kecenderungan masing-masing mufassir dan menangkap sisi subjektivitas mereka
yang tergambar pada legimitasi terhadap madzhab yang dianutnya. Selai itu
tafsir muqaran juga memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau
perbandingan antara ayat dan hadits. Yang diperbandingkan itu adalah ayat
dengan ayat atau ayat dengan hadits yang memperbincangkan persoalan yang sama.
Ijmali
Tafsir ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Maka tafsir ijmalai
dapat artikan kepada penjelasan maksud ayat al-Qur’an secara umum tidak
terperinci, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan ilahi yang terkandung
dalam suatu ayat. Para mufassir yang menggunakan metode ini menyajikan kepada
pembaca isi kandunga ayat, tanpa mengulas secara luas sihingga mudah dipahami
oleh para pembaca dan mereka merasa penafsiran tidak jauh dari konteks.
Mawdhu’i
Tafsir mawdhu’i (tematik) ialah menafsirkan ayat al-Qur’an
tidak berdasarkan atas urutan ayat atau surah yang terdapat dalam mushaf,
tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufassir dengan menggunakan metode ini,
menentukan permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam al-Qur’an. Kemudian
dia mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tersebut yang tersebar
dalam berbagai surah.
Tafsir dan takwil mempunyai makna yang sama, seperti yang
sudah disinggung di atas. Sebagian ulama’ ada yang berbeda pendapat. Para
ulama’ yang melihat tafsir dan takwil sebagai dua istilah yang berbeda, juga
tidak sependapat dalam menjelaslkan perbedaan itu, yaitu sebagai berikut:
Sebagian ulama’ mereka mengatakan tafsir itu lebih umum dari
takwil karena ia dipakai dalam kitab Allah dan lainnya. Sedangkan takwil lebih
banyak dipergunakan dalam kitab Allah.
Tafsir pada umummnya dipergunakan ada lafal dan mufradat
(kosa kata), sedangkan takwil pada umumnya dipergunakan untuk menunjukkan makna
dan kalimat (jumlah)
Diantara para ulama’ ada pula yang mengatakan bahwa tafsir
adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, sedangkan takwil penjelasan yang
didasarkan atas dirayah.
Dikalangan ulama’ menta’khirkan, takwil diartikan kepada
memalingkan makna suatu lafal dari makna yang kuat kepada makna yang kurang
kuat. Sedangkan tafsir menjelasakan makna suatu makna ayat berdasarkan makna
yang kuat. [45]
ISLAM SEBAGAI PRODUK
BUDAYA
a.
kebudayaan: pengertian,unsur dan fungsi
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “
budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah
hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan,
kesenian dan adat istiadat.[46]
Menurut S. Takdir Alisyahbana,[47]
kebudayaan mempunyai beberapa pengertian :
1.
Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur
yang berbeda-
beda seperti pengetahuan, kepercayaan,
seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan
yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
2.
Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.
3.
Kebudayaan adalah cara, aturan, dan jalan hidup manusia.
4.
Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara
menyelesaikan
persoalan.
5.
Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
6.
Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Sehingga
bisa ditarik kesimpulan bahwa budaya adalah suatu akal pikiran manusia yang
menjadikan suatu hukum adat istiadat tertentu yang harus di patuhi.
Sedangkan kebudayaan adalah segala sesuatu yang menjadikan manusia bisa
bergaul dengan masyarakat dengan aturan atau cara yang bisa diterima oleh
masyarakat tertentu.
Ternyata kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas berbagai
unsur besar dan unsur kecil yang merupakan satu keutuhan yang tidak dapat
dipisahkan.
Unsur-unsur kebudayaan dalam
pandangan Malinowski adalah sebagai berikut:
a. norma yang memungkinkan terjadinya kerjasama
antara para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi.
c. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga
merupakan lembaga pendidikan pertama dan
yang paling utama).
d. Organisasi kekuatan.
Dengan demikian kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat
besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia
seperti kekuatan alam dan kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya. Hasil
karya masyarakat melahirkan teknologi atau alat kebendaan yang mempunyai
kegunaan utama dalam melindungi masyarakat. Teknologi ini paling sedikit
meliputi tujuh unsur, seperti : alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan
minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, alat
transformasi.
Budaya dalam Tujuan Islam
Seperti yang kita ketahui, islam
berasal dari Timur Tengah. Kepercayaan kepada satu tuhan berkembang sampai saat
ini. Budaya sebagai alat untuk menarik minat para umat supaya memeluk agama
islam. Dalam ajaran islampun banyak diadopsi dari budaya bangsa arab seperti
haji dan qurban. Bahasa dalam Al-Qur’anpun juga menggunakan bahasa arab,
mungkin jika Al-Qur’an turun di jawa maka akan berbahas jawa.
Nabi Muhammad dalam meghadapi
adanya berita memiliki banyak istri merupakan salah satu tradisi dalam
kehidupan orang arab. Diceritakan setelah Khadijah meninggal, Rasulullah
menikah lagi dengan para janda melainkan satu wanita saja yakni Aisyah Binti
Abu Bakar. Kita tidak boleh mengkaburkan fakta bahwa Rasulullah tertarik dan
menikmati bersama wanita juga sebagai teman dan pasangan hidup[48]
Islam datang untuk mengatur dan
membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan
demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut
suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan
agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat
dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang
beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Dari situ,
Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, kebudayaan yang
tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu
muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang
merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan
hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada
hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat. Kedua, kebudayaan yang
sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “rekonstruksi” sehingga
menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang
melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam ,
seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah
dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi
bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah
kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan
tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Ketiga, kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti,
budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran
mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang
meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat
Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat.
Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu
lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan
digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih.
Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang
besar, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang
luas.
Pendekatan Study Budaya
Secara umum studi Islam bertujuan
untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana
yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis
serta abadi (eternal), untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan
dunia modern,agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang
dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan
tujuan tersebut, maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang
sekiranya relevan.[49]
Memahami suatu agama diperlukan
berbagai pendekatan diantaranya melalui pendekatan teologis normatif,
antopologis, sosiologis, historis, filosofis, dan kebudayaan. Hal itu dilakukan
agar melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui berbagai pendekatan
tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak
fungsional.[50]
Pendekatan teologis normatif adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan,
yang masing-masing mengklaim dirinya paling benar, sedangkan yang lain adalah
salah. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan sosiologis dapat
diartikan sebagaimana pendekatan agama melalui ilmu-ilmu sosial, karena di
dalam agama banyak timbul permasalahan sosial. Melalui pendekatan ini agama
dapat dipahami dengan mudah karena agama itu sendiri diturunkan untuk
kepentingan sosial. Pendekatan historis adalah pendekatan agama melalui ilmu
sejarah. Pendekatan filosofis dapat diartikan sebagai upaya pendekatan agama
melalui ilmu filsafat dengan tujuan agama dapat dimengerti dan dipahami dengan
seksama. Pendekatan kebudayaan adlah pendekatan melalui budaya seperti
kepercayaan, kesenian, adat istriadat. Misalnya cara berpakaian di saat resepsi
pernikahan, kehidupan sehari-hari, pergaulan antara pria dan wanita dan upacara
keagamaan.
Dalam pendekatan budaya terhadap agama terdapat beberapa kegunaan
yaitu:
1. Sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai
oleh sebuah masyarakat
dan para warganya.
2. Sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk
dapat mengarahkan dan
menambah keyakinan agama
yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan
ajaran yang benar menurut
agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para
warga masyarakat tersebut.
3. Seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang
kita punyai itu dapat berbeda
dalam berbagai aspeknya yang
lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita
dapat menjadi lebih toleran
terhadap aspek-aspek lokal tersebut.
Permulaan berkembangnya Islam diIndonesia, dirasakan demikian sulit
untuk mengantisipasi adanya perbedaanantara ajaran Islam dengan kebudayaan
Arab. Tumbuh kembangnya Islam di Indonesia diolah sedemikian rupa oleh para
juru dakwah dengan melalui berbagai macam cara, baik melalui bahasa maupun
budaya seperti halnya dilakukan oleh para wali Allah di Pulau Jawa. Para wali
Allah tersebut dengan segala kehebatannya dapat menerapkan ajaran dengan
melalui bahasa dan budaya daerah setempat, sehingga masyarakat secara tidak
sengaja dapat memperoleh nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dapat mengemas
dan berubah menjadi adat istiadat di dalam hidup dan kehidupan sehari-hari dan
secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa
Indonesia.
Ajaran-ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan menyeluruh juga
dapat disaksikan dalam hal melaksanakan hari raya Idul Fitri 1 Syawal yang pada
awalnya sebenarnya dirayakan secara bersama dan serentak oleh seluruh umat
Islam dimanapun mereka berada, namun yang kemudian berkembang di Indonesia
bahwa segenap lapisan masyarakat tanpa pandang bulu dengan tidak memandang
agama dan keyakinannya secara bersama-sama mengadakan syawalan (halal bil
halal) selama satu bulan penuh dalam bulan syawal, hal inilah yang pada
hakikatnya berasal dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan ikatan tali
persaudaraan di antara sesama handai tolan dengan cara saling bersilaturahmi
satu sama lain, sehingga dapat terjalin suasana akrab dalam keluarga.
Berkaitan dengan nilai-nilai Islam dalam kebudayaan
Indonesia yang lain, juga dapat dikemukakan yaitu sesuai dengan perkembangan
zaman terutama ciri dan corak bangunan masjid di Indonesia yang juga mengalami
tumbuh kembang, baik terdiri dari masjid-masjid tua maupun yang baru dibangun,
misal: masjid-masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila,
pada umumnya hampir mirip dengan bentuk joglo yang berseni budaya Jawa.
Perkembangan budaya Islam yang terdapat pada masjid, secara nyata dapat
ditunjukkan yaitu adanya masjid-masjid tua yang kemudian diperbaiki dengan
ditambah konstruksi baru atau mengganti tiang-tiang kayu dengan tiang batu atau
beton, lantai batu dengan ubin dan dinding sekat dengan tembok kayu.[51]
STUDI KAWASAN ISLAM
Pengertian, Latar Belakang dan Perkembangan Studi Wilayah
Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua
kata, yakni area dan studi. Area mengandung arti “region of the earth’s
surfaces”, artinya adalah: daerah permukaan bumi. area juga bermakna: luas,
daerah kawasan setempat dan bidang. Sedangkan studi mengandung pengertian
“devotion of time and thought to getting knowledge”, artinya adalah pemanfaatan
waktu dan pemikiran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Studi juga mengandung
pengertian “something that attracts investigation” yakni sesuatu yang perlu
untuk dikaji.
Studies adalah bentuk jamak dari
studi, kata ini menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan terhadap sebuah wilayah
tidak hanya terbatas pada suatu bidang kajian, melainkan terdiri dari berbagai
bidang. Secara terminologi studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk
menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah
dimana masalah tersebut terjadi.[52]
Setelah nabi Muhammad saw. wafat, dominasi Islam atas Jazirah Arab sudah
sedemikian luas. Hal itu merupakan permulaan dari pencapaian peradaban Islam.
Rencana penaklukkan yang direncakanan nabi Muhammad saw. dianggap merupakan
wasiat yang harus dijalankan oleh para sahabat, maka adalah hal yang wajar bila
ekspansi ini terus dijalankan oleh para sahabat sepeninggal beliau. Dalam waktu
yang relatif singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. dan Umar ra.
wilayah Islam sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Iraq bagian Selatan, Persia,
Syiria, Pantai Laut Tengah dan Mesir. Perluasan wilayah ini kemudian dilanjutkan
oleh Utsman ra. hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbijan, dan Armenia.
Pada perkembangan berikutnya, tekanan Islam terhadap daerah-daerah Barat
semakin intens. Sebuah peristiwa penting terjadi pada 751 dimana pasukan muslim
berhasil menaklukkan semenanjung Iberia, Sisilia, dan Andalusia, bahkan
penaklukkan tersebut berlanjut hingga Pyneress menuju daerah Prancis Selatan[53]
Pasukan yang menaklukkan Andalusia didominasi oleh kaum
muslimin, sehingga kekuatan muslimpun disadari oleh penganut agama Kristen yang
berada di wilayah Barat.
Pada tahun 1236 M, kekuatan gabungan gereja Spanyol mengambil alih kembali
Cordova dan disusul dengan Sevilla pada tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan
Bani Ahmar dapat bertahan kurang lebih dua abad lamanya sebelum akhirnya juga
jatuh.
Sejak saat itu, serangan kaum Kristen untuk menaklukkan wilayah yang dikuasai
oleh kaum muslimin semakin gencar. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan,
mereka melakukan pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas
kekuasaan mereka.
Serangkaian penaklukkan yang terjadi tidak hanya bertujuan, baik sengaja
ataupun tidak, untuk menguasai wilayah dan aspek-aspek material saja, akan
tetapi juga, serangkaian penaklukkan ini dibarengi dengan imperialisme
kultural.
Melaluai ekspansi politik dan kultural terhadap wilayah-wilayah Islam, maka
kajian wilayah menjadi sebuah usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama
Islam.
Dunia Islam Sebagai Kajian Studi Wilayah
A. Islam di Indonesia (asia tenggara)
Sejarah Islam di Indonesia, dinilai sangat rumit oleh
sebahagian sejarawan. Kerumitan tersebut disebabkan oleh kompleksitas di
sekitar sosok Islam itu sendiri, sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin
di kawasan ini.
Nusantara merupakan Negara maritim yang penduduknya memiliki
kemampuan mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute
perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan kawasan asia tenggara. Bahkan
pada abad I Hijiriyah pedagang-pedagang muslim arab, Persia dan India telah ada
di Indonesia untuk berdagang. Namun untuk menjadi “kampong-kampung” Islam di
kawasan tersebut masih membutuhkan waktu yang relatif lama[54]
Kerumitan lain adalah dalam menangani sumber-sumber sejarah
dengan adanya kecenderungan tertentu di kalangan sejarawan atau ilmuan sosial
yang mengkaji Islam di Indonesia, seperti yang ditegaskan oleh Roff bahwa sejak
zaman kolonial hingga saat ini terdapat hasrat yang luar biasa di kalangan
pengamat Barat secara konseptual untuk mengurangi peranan Islam dalam membentuk
kebudayaan Indonesia.
Tentang masuknya Islam ke Indonesia ada tiga teori[55]
Teori yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab
yang dikemukakan oleh Niemann (1861) menyatakan bahwa Islam dibawah oleh
orang-orang Mesir yang bermadzhab Syafi’i seperti layaknya kaum mayoritas di
nusantara.
Teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari India yang
dikemukakan oleh Pijnapel (1872) yang menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang
bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabarlah yang membawa ajaran Islam ke
Indonesia.
Teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia dari
Benggali (Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Ia mengutip
keterangan dari Tome Pires yang menyatakan bahwa kebanyakan orang terkemuka di
Pasai adalah orang Benggali.
Islam boleh jadi telah sampai di Indonesia sejak Abad ke-7/8
M, Akan tetapi sejauh menyangkut kedatangan Islam di indenesia terdapat diskusi
dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat
asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.[56]
Tetapi untuk muncul sebagai kekuatan politik, ia memerlukan
waktu hingga enam abad sampai terbentuknya kerajaan Islam di Sumatera pada abad
ke-13 M. akan tetapi rumusan ini masih bersifat hipotetif. Belum sampai dua
abad Islam tampil sebagai kekuatan politik di Nusantara, datanglah
kekuatan tandingan dari Barat yang berupa Imperialisme yang secara berangsur,
sekalipun selalu mendapat perlawanan, ternyata berhasil mengurangi peranan
Islam di nusantara.
Terlepas dari perbedaan para ahli sejarah dalam menentukan
awal masuknya Islam ke Indonesia, Taufik Abdullah menyatakan bahwa dalam proses
perjalanan Islam di bumi nusantara, Islam merupakan suatu dasar pembentukan
tradisi kultural baru.
Kebudayaan itu secara dramatis dimulai oleh Snouck Hurgronje
dengan memisahkan adat lokal pada satu pihak dengan Islam pada pihak yang lain.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari
doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.
Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam
praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di
Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang
lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan
kebudayaan.
Agar Islam di masa depan tidak menjadi “menggapai dalam
ketiadaan daya” maka kajian Islam yang mendasar dan strategis di Indonesia
tidak dapat ditunda. Jika bangsa ini ingin “pembentukan kultural baru” maka
harus didapatkan sebuah landasan intelektual yang kokoh. Dengan kata lain,
kajian ke-Islaman di Indonesia, di samping mendalami ajaran substansi ajaran,
pendekatan yang berorentasi ke masa depan merupakan kebutuhan mutlak secara iman
dan akademik.
Memang sejarah berurusan dengan masa lalu, tapi masa lalu
itu hendaknya dijadikan untuk kepentingan masa depan. Dengan cara ini
diharapkan bahwa Islam tidak saja menjadi agama yang didominasi oleh ritual
demi keshalehan pribadi, tetapi menjadi agama yang hidup dan menghidupkan,
agama yang mampu memecahkan persoalan-pesoalan ke-manusiaan secara mendasar.
B. Islam di Timur Tengah.
Masyarakat Islam dibangun diatas peradaban Timut Tengah kuno
yang telah mapan sebelumnya. Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah
lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua
aspek yang fundamental, yaitu asal-usul dan struktur sejarah yang telah
berlangsung.
Garis keturunan keluarga, kekerabatan, komunitas etnis terus
berlanjut seperti semula sekalipun telah terjadi kesejarahan. Ekologi regional
berlangsung dengan didasarkan pada komunitas petani dan perkotaan, dan ekonomi
dijalankan diatas basis pemasaran dan pertukaran uang. Bentuk-bentuk dasar
organisasi negara, termasuk administrasi birorasi, pola kehidupan keagamaan
yang berlaku sebelumnya difokuskan kepada keyakinan yang bersifat universal dan
transendental.
Perjalanan panjang Islam di Timur Tengah berlangsung sekitar
622 sampai 1002 M, yang berlangsung dalam tiga fase.[57]Fase
pertama adalah fase penciptaan sebuah komunitas baru yang bercorak Islam di
Arabia sebagai hasil dari transformasi wilayah pemikiran dengan sebuah
masyarakat kekerabatan yang telah berkembang sebelumnya menjadi sebuah tipe
monotheistik Timur Tengah.
Fase ke-dua adalah fase penaklukkan Timur Tengah oleh
masyarakat Arab Muslim yang baru terbentuk tersebut, dan mendorong kelahiran
sebuah imperium dan kebudayaan Islam (selama periode ke-khalifahan yang pertama
sampai tahun 945 M).
Fase ketiga adalah fase kesultanan (945-1200 M). pada fase
pola dasar kultural dan institusional dari era khilafah berubah menjadi
pola-pola negara dan institusi Islam.
Dalam fase pertama, dapat difahami bahwa fase tersebut
merupakan fase kelahiran Islam pertama dalam masyarakat ke-sukuan. Pada fase
ke-dua adalah memandang Islam sebagaimana ia menjadi agama dari sebuah negara
kerjaan dan kalangan elit perkotaan. Sedangkan fase ke-tiga, nilai-nilai Islam
ternyata telah mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah.
Penyatuan beberapa wilayah seperti bagian Sasania dan
Bizantium di Timur Tengah menjadi sebuah pemerintahan, beberapa halangan
politis dan strategis perdagangan menjadi hilang, dan sebuah fondasi utama
untuk kebangkitan perdagangan telah terhampar.
Selanjutnya sungai Eufrat yang membatasi antara Persia dan
wilayah Bizntium telah musnah dan Transxonia untuk pertamakalinya dalam sejarah
disatukan dalam imperium Timut Tengah. Dunia perdagangan semakin maju
mengilhami ekspansi Arab ke Asia Tengah dan India, da pengembangan kota-kota di
Syiria utara, Iran, Iraq, Basra dan belakangan Baghdad menjadi pusat
perdagangan dunia.
Arab Saudi yang merupakan tempat tumbuhnya Islam pertama
kali, gejolak politik yang terjadi selalu sejalan dengan perkembangan keislaman
di kawasan ini. Sa’udiyyun (keuarga sa’ud) yang menjadi nenek moyang keluarga
Sa’udiyyan yang berkuasa sekarang telah berdiri sejak 1446 M dan menetap di
Wadi Hanifah.
Setelah melalui tujuh generasi, Sa’ud ibnu Mukram memerintah
al-Dariyah. Peletak dasar keamiran bagi keluarga Sa’udiyyah adalah anaknya yang
bernama Sa’ud Ibnu Muhammmad Ibnu Mukran (1724-1765 M). Oleh karena itu tempat
mereka setelah berkembangnya disebut al-Dar’iyyah.[58]
Setelah beberapa saat, kekuasaan mereka semakin berkembang, maka inilah yang
menjadi cikal bakal kerajaan Arab Saudi yang ada sekarang.
Sosok Muhammad ibnu Wahab yang dikenal memiliki pemikiran
yang berpengaruh di Saudi Arabia sampai saat ini, awalnya ia pergi ke Basrah,
al-Ahsa, Huramailah dan Uyainah. Disetiap kota itu pula ia selalu mendapat cacian
hingga akhirnya ia pergi ke al-Dar’iyyah yang kemudian ia medapatkan sambutan
sejumlah orang, termasuk amirnya ketika itu Muhammad Ibnu Sa’ud Ibnu Muqran II.
Disinilah Muhammad Ibnu Abdul wahab menyampaikan dakwahnya tentang hakikat
tauhid.
Sepintas pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahab dipengaruhi
oleh pemikiran Ibnu Taimiyah, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap Al-Kitab
dan Al-Sunnah yang dipahami berdasarkan metodologi Salaf as-Shalih. Ia
berpandangan bahwa Al-Kitab dan Al-Sunnah bukan hanya sekedar berita saja
sebagaimana diperkirakan orang-orang dari ahli kalam, hadis, fiqih, dan tasauf
tetapi sebagai dalil dan petunjuk jalan bagi makhluk dan dalil yang tegas bagi
dasar-dasar agama.
2. Ketauhidan sangat
diperhatikan meliputi zat, sifat dan ibadah makhluk terhadap tuhan, berupa an
la na’buda Allah wa lanusyrika bihi siwahu. Oleh karena itu, doa merupakan
bagian dari ibadah yang tidak boleh meminta kepada sesame makhluk yang sudah
mati.
3. Rasul Allah Saw tidak
melebih-lebihkan, tetapi cukup sebagai petunjuk saja. Dibolehkan menziarahi
kuburnya, tetapi tidak boleh untuk meminta-minta.
C. Islam di Turki. (Eropa)
a. Penyebaran Bangsa Turki.
Turki merupakan wilayah kebudayaan Islam yang sangat luas
dan beraneka ragam yang meliputi banyak etnik dan wilayah termasuk memainkan
berbagai variasi lokal yang sangat menonjol, terutama di wilayah-wiayah eropa
yang kelak meninggalkan jejak sejarah etnik dan agama yang sangat panjang.
Namun jika melacak pada pada proses pembentukan awal sejarah
kebudayaan Turki, tradisi Persia adalah bagian terpenting yang harus
dibicarakan. Komunikasi antara orang-orang Turki dengan Persia telah terjadi
sejak zaman Sassania, terutama dengan bangsa Iran sebagai wilayah
tetangganyanya dan tampaknya hampir tidak mungkin kebudayaan Islam Turki muncul
dalam panggung sejarah tanpa ditopang dan diakumulasi oleh Tradisi Islam
Persia, terutama pada priode pertengahan dan priode-priode akhir masa kekuasaan
Abbasiyah.
b. Islamisasi Bangsa Turki.
Kontak mereka dengan dunia Islam sebenarnya telah terbentuk
sejak abad ke-7 M, ketika penaklukan-penaklukan orang Arab terhadap
wilayah-wilayah Asia Tengah khususnya Transoxania, terutama saat penaklukan
wilayah-wilayah pegunungan pamir dan T’ien-Shan. Saat tentara-tentara Arab
melewati Kaukasus, telah terjalin komunikasi terutama dengan orang-orang turki
Khazars dilembah Volga dan banyak diantara mereka menerima Islam secara damai.
Islamisasi selanjutnya diteruskan oleh para sufi hingga abad
ke-16 M dimana orang-orang Turki Eresia yang semula penganut Samanisme,
Budhisme, Maniceanisme bahkan Nasrani, seluruhnya akhirnya menjadi komponen
penting bagi dunia Islam.
Sebelum era modernisasi yang digulirkan oleh Ataturk, Turki
dalam waktu yang relative lama berada dibawah kekuasaan salah satu Kekhalifahan
terbesar dalam Islam yaitu Daulah Utsmaniyah. Selama berates tahun mereka
menjadi bangsa yang terkemuka di Duni Islam, sehingga ini menandakan sebuah
indikasi bahwa betapa pentingnya Islam dalam kehidupan nasional rakyat Turki.
Secara praktis, setiap orang yangbertempat tinggal di Turki adalah orang Turki,
tetapi secara kebudayaan orang Turki adalah hanya orang Muslim.[59]
c. Pemikiran ke-Islaman
di Turki.
Jika berbicara Turki memang nyaris tidak bias dipisahkan
dari sosok Ataturk. Sejak terpilih sebagai Presiden Pertama Republik Turki,
pasca tumbangnya khalifah Utsmaniyah, Mustafa Kemal Ataturk menjadikan agama
hanya sebagai kekuatan moral dan bukan sebagai kekuatan politik. Perubahan arah
politik inilah yang kelak menjadikan Islam di Turki sebagai Negara yang
berpenduduk Muslim, tetapi hidup dengan cara modern.
Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan yang intinya
berupaya meningkatkan masyarakat Turki pada masyarakat kontemporer modern
diantara kebijakan itu adalah:
1. Undang-undang tentang
unifikasi dan sekularisasi pendidikan pada tanggal 3 Maret 1924,
2. Undang-undang tentang
kopiyah tanggal 25 November 1925,
3. Undang-undang tentang
pemberhentian petugas jamaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman tanggal
30 November 1925,
4. Peraturan Sipi tentang
perkawinan, Tanggal 17 Februari 1926,
5. Undang-undang penghapusan
huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tuisan arab, Tangga 1 November
1928, dan
6. Undang-undang tentang
larangan menggunakan pakaian asli, Tanggal 13 Desember 1934.
Amin Abdullah[60]mengatakan
bahwa hingga saat sekarang ini, tidak hanya partai politik yang berbau agama,
tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan masih dilarang di Turki. Namun
anehnya, di negara sekuler itu mereka mempunyai “dianet isleri” (kantor urusan
agama) yang bernaung dibawah menteri negara.
Dengan kondisi seperti ini, para generasi muda Turki merasa
bosan dan tidak puas, akhirnya mereka beralih menggunakan “media cetak” sebagai
sarana lalu-lintas dan penyampaian pesan kepada masyarakat.
Muncul beberapa penerbitan keagamaan yang memiliki ciri-ciri
arus pemikiran yang berbeda, seperti:
a. Penerbitan yang
disponsori Dianet Islery yang memiliki ciri Islam negara.
b. Penerbitan yang disponsori tarekat
kuno.
c. Penerbitan yang
disponsori tarekat baru.
d. Penerbitan yang disponsori
oleh kaum fundamentalis.
D. Islam di Amerika
Sebuah kajian yang sangat menarik jika membahas bagaimana
sebuah agama minoritas disebuah Negara mempertahankan integritas dan
keyakinannya. Di Amerika saat ini, Islam bagi sebagian besar rakyat amerika
masih dianggap sebagai ancaman, rentetan peristiwa yang melibatkan para militan
muslim selalu dianggap sebagai permusuhan yang memiliki unsure historis yang sangat
panjang.
Maka saat ini, ummat Islam di amerika masih mengalami
diskriminasi keyakinan, selama berabad-abad non-muslim mengkritik Muhammad dan
masih saja bermunculan sampai sekarang, mulai dengan membuat karikatur yang
berbau pelecehan, sampai pada tindakan-tindakan “konyol” yang justru
menyudutkan mereka sendiri di mata dunia.
Pada Juni 1998 AT&T Worldnet Service, penyedia jasa
internet langsung terbesar di Amerika Serikat menhapus sebuah situs web yang
menyebut Muhammad sebagai orang munafik yang cabul yang jelas-jelas bukan
pesuruh Tuhan.
Disebagian kota-kota di Amerika terjadi kontroversi apakah
panggilan salat (azan) boleh dilakukan atau malah dianggap mengganggu
lingkungan tempat masjid berada, tidak seperti di Indonesia yang mayoritas
berpenduduk Muslim leluasa mengumandangkan azan dengan pengeras suara.
Berbagai kelompok mengatasi masalah ini dengan cara yang
beragam, kebanyakan di masjid-masjid di Amerika, panggilan azan dilakukan di
dalam ruangan shalat dan bukan diluar. Yang berfungsi sebagai tanda dimulainya
ritual tersebut.
E. Signifikansi dan Konstribusi
Berawal dari pembicaraan Munawwir Sadjali dengan Fazlurrahman dan Gigma[61]
bahwa keduanya menekankan tentang kepincangan dan ketidaklengkapan studi Islam
saat ini, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara. Satu sisi, banyak ahli
ke-Islaman tetapi tidak tahu tentang Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya,
sebaliknya banyak pakar ahli wilayah tapi tidak mengetahui tentang Islam.
Kelemahan lain adalah banyak ahli yang berasal dari Barat yang melihat Islam di
kawasan Asia Tenggara dan yang lainnya dengan menggunakan tolak ukur yang
berasal dari Barat, sehingga dalam kesimpulan penelitiannya tidak selalu tepat.
Konstribusi studi wilayah ini memberikan suatu upaya untuk menggali ilmu
pengetahuan dan mengembangkannya sesuai dengan rumusan Islam, disamping juga
menopang bangunan suatu bangsa. Karena Islam memiliki daya tarik luar biasa
sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya dikaji. Terbukti, sejak lama
Islam menjadi objek studi, tidak saja di kalangan muslim tetapi juga di
kalangan non muslim, untuk tujuan dan kepentingan beragam. Titik perhatian
studi Islam juga beragam, baik pada tingkat Islam sebagai sistem keyakinan
maupun Islam sebagai suatu sistem sosial.
Maka sangat diperlukan saat ini sebuah kajian yang komprehensif tentang studi
Islam dengan pendekatan wilayah. Agar ummat islam maupun non-musim dapat
melihatnya secara ril dan meniai secara objektif. Walaupun telah banyak yang
mencoba mengkaji Isam dengan pendekatan wilayah, namun masih saja sulit menilai
kualitas daripada hasil kajian itu, karena masih saja selalu ada kepentingan
yang menopangnya.
DAFTAR
PUSTAKA
bd. A’la. Al-quran dan
Hermeneutika, dalam jurnal Tashwirul Afkar,edisi 08, Jakarta Selatan: LAKPESDAM
Jalaludin. Dr., Psikologi Agama,
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Nata, Abuddin. 1998.Metodologi
Studi Islam. Jakarta. CV. Rajawali Press.
Syihab, Quraisy. 2007. Membumikan
Alquran Fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung. PT Mizan
Pustaka.
Syukur,M.Amin, Prof.Dr.MA. 2003
Pengantar Studi Islam,Semarang: CV. Bima Sakti
Yatimin, Drs. M. M.A. 2006. Studi
Islam Kontemporer. Jakarta: AMZAH.
Yusuf, ali anwar. Studi Agama
Islam, Bandung: Pustaka Setia
Organization, World Shia Muslim.
Trjmah Muslim Arobi. 1989.Rasionalitas Islam. Jakarta. Yapi.
Kaelany Hd, Drs. M.A. 2000. Islam
dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Aziz, Abdul, Qur’an Hadits,
Semarang: CV Wicaksana, 1994
Departemen Agama RI, A-l-Qur’an
dan Terjemah, Semarang: CV Toha Putra, 1989
Hakim, Atang Abdul dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Maghfurin, Ahmad, Sejarah Teks
Taurat dan Al-Qura’an, Semarang: PUSLIT, 2009
Ramulyo, Mohammad Idris, Asas-asas
Hukum Sejarah Islam Timbul dan Berkembang Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinaf Grafika
Suyati, Sri dan Sugiono, Fitah,
Solo: CV. Al-Fath, 2006
Umar, Muin dkk, Ushul Fiqh I,
Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1986
Yusuf, Kadar M, Studi Al-Qur’an,
Jakarta: Amzah, Cet I, 2009
Abd.Hakim, Atang,
JaihMubarok.MetodologiStudi Islam. 1999. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Ahmad Taufik, Weldan, Dimyati
Huda. MetodologiStudi Islam. 2004. Malang: Bayumedia Publishing.
An Najah, Ahmad Zain. 2013.
Relasi Antara Islam dan Kebudayaan. (diambi dari
http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/08/relasi-antara-islam-dan-kebudayaan/
tanggal 31 Oktober 2013)
Assegaf, Abd. Rahman.Studi Islam
Kontekstual. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
John L. Esposito. Islam Actual.
2005. Depok: Inisiasi Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Muhaimin dkk. Kawasan dan wawasan
studi Islam. 2005. Jakarta: Prenada media.
Abdullah, Taufiq, Islam dan
Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam
di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Fananie, Peny Zainuddin, Studi
Islam Asia Tenggara. Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.
Hornby, A. S., Oxford Advanced
Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1986.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial
Ummat Islam, jil. I. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999.
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit
Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1977.
http://taufiqiyyah.blogspot.com
[1] Yatimin
Abdullah, Studi Islam Kontemporer,
2006, Jakarta: Amzah, Hlm. 147
[2] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, 2009,
Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 152-153
[3] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, 2009,
Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 151
[4] Ibid, hlm. 149
[5] Ibid, hlm. 153-154
[6] Abuddin
Nata, Op. cit., hlm. 154
[7] Yatimin
Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
[8] Drs.
M. Yatimin, M.A, Studi Islam Kontemporer,
Jakarta: Amzah, 2006, Hlm. 37
[9] Prof.
Dr. H.M.Amin Syukur, MA, Pengantar Studi
Islam,Semarang: CV. Bima Sakti,2003.Hlm.25
[10] Ibid. Hlm. 26-27
[11]Ibid. Hlm. 29
[12] Drs.
Kaelany Hd, M.A, Islam dan Aspek-Aspek
Kemasyarakatan,Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000, Hlm. 17-18
[13] Dr.
Atang Abdul Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok Mubarok, Metodologi Studi Islam,Bandung: Remaja Rosdakarya,2009, Hlm.190
[14] Harun
Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta, 1978, hlm. 10.
[15] Drs.
T. Ibrahim dan Drs. H. Darsono, Membangun Akidah Akhlak, Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003
hlm. 15-16.
[16] Dr.
H. Abuddin Nata, MA, Op.Cit, hlm.62-65
[17] http://repository.usu.ac.id/bistream/.
[18] http://File.satus.net/i/identical/-20110527T003832-q26aqr7.html
[19] Lihat
Mufradat Alfaazhil Qur-aan, hlm, 423. karya al-‘Allamah ar-Raghib
[20] Terjaga
dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh) dan terjaga hartanya,
maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana terdapat dalam hadits
Arba’iin yang kedelapan.
[21] Lihat
Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ)
karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, Ma’aarijul
Qabuul
(II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul Kutub
al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum
wal Hikam
oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.
[22] Abudin
nata, Metodologi studi islam, Jakarta
:rajawali pers, 2009, hlm.28
[23] Ibid. Hlm. 34
[24] Peter
connoly, Aneka pendekatan studi agama,
yogyakarta: PT. Lkis, 2009. Halm 34
[25] Abuddin
nata, metodologi studi islam, (Jakarta : 2008), halm. 35-38.
[26] Abuddin
nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan
Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: 2008). Halm.295-298.
[27] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, jilid 1, hlm. 24
[28] Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998), hlm. 65
[29] Drs.
Atang Abd. Hakim, M.A. dan Dr. Jaih Mubarok,
Metodologi Studi islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 69
[30] ibid.hlm. 70-71
[31] Hasan
Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tutup,
(Bandung: Pustaka Bandung, 1984), hlm. 104
[32] Badudu
dan zain, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 617
[33] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 5, hlm.
[34] Drs.
M. Yatimin Abdullah, M. A, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Hamzah, 2006, Cet.
1, hlm.
[35] Hameed,
Hakim Abdul., Aspek-aspek Pokok Agama
Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hlm. 72
[36] Zuly
Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006), hlm.6
[37] Ahmad
Maghfurin, Sejarah Teks Taurat dan
Al-Qura’an, Semarang: PUSLIT, 2009, Hlm 56-57
[38]
Departemen Agama RI, A-l-Qur’an dan
Terjemah, Semarang: CV Toha Putra, 1989, Hlm 999
[39] Kadar
M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, Jakarta:
Amzah, Cet I, 2009, Hlm 176-177
[40] Kadar
M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah,
Cet I, 2009, Hlm 177-183
[41] Mohammad
Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Sejarah
Islam Timbul dan Berkembang Kedudukan Hukum Islam
dalam Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Sinaf Grafika, Cet 2), Hlm 75
[42] Sri
Suyati dan Sugiono, Fitah, Solo: CV.
Al-Fath, 2006, hlm 35
[43] Muin
Umar, dkk, Ushul Fiqh I, Jakarta:
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama, 1986,
hlm 70
[44] Kadar
M. Yusuf, Op Cit. Hlm 126-130
[45] Kadar
M. Yusuf, Op Cit. Hlm 143-146
[46] KBBI hlm. 149
[47] Atang
Abd.Hakim, Jaih Mubarok,Metodologi Studi
Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999) hlm. 28
[48]
Esposito, John L. ISLAM AKTUAL.Depok:
Inisiasi Press, 2005 h.14-15
[49] Muhaimin
dkk,Kawasan dan wawasan studi Islam,
Jakarta: Prenada media, 2005, hlm. 12
[50] Akhmad
Taufik, Metodologi Studi Islam, Malang:
Bayumedia Publishing, 2004, hlm.13
[51] Atang
Abd.Hakim,Jaih Mubarok,Metodologi Studi
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 43
[52] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam ,Jakarta:
Rajawali Press, 1999, hlm. 142.
[53] Nurcholish
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam
Jakarta: Paramadina, 1977 hlm. 10.
[54] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010 cet ke 20, hlm. 191
[55] Azyumardi
Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara
,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, hlm. 12.
[56] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Bandung: Mizan,
1998, hlm.
24
[57] Ira
M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam,
jil. I ,Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999,hlm.14.
[58] Ajid
Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafinda Persada, 2004, hlm. 230
[59] Ajid
Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam, hlm. 218
[60] Amin
Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau
Historisitas ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 183.
[61] Peny
Zainuddin Fananie, Studi Islam Asia
Tenggara ,Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999, hlm. 117.
No comments:
Post a Comment