MENU

Monday, January 11, 2016

pendekan psikologi dakwah masa rasulullah SAW dengan masa sekarang

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dakwah Psikologi masa rasulullah dan masa sekarang”.
Shalawat serta salam tak lupa kita kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, beseta keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penulisan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi dakwah.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan kepada semua mahasiswa yang berada di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Arraniry Banda Aceh.





Banda Aceh,  September 2015

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sesungguhnya dakwah adalah tugas yang amat mulia. Tugas warisan para Nabi dan Rasul. Allah Swt. menegaskan bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dari pada menyeru ke jalan Allah Swt.
Allah berfirman :
“Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang berdakwah kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata : sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS. Fushillat : 33).
Orientasi dakwah para rasul adalah taqwa. Setiap rasul mengajak kaumnya agar bertaqwa. Dakwah menuju ketaqwaan tentu saja akan mendapatkan sambutan, baik dari orang orang yang menjaga kesucian fitrahnya dan yang menghormati akalnya. Tapi jangan lupa, sebanyak-banyaknya orang yang menyambut dakwah kepada ketaqwaan lebih banyak lagi yang menentangnya. Orang-orang yang menentang dakwah akan berusaha terus menerus untuk mengagalkannya dengan segala macam cara, baik dengan cara yang halus maupun cara yang kasar. Baik dengan bujukan, rayuan, iming-iming, dan segala macam kesenangan duniawi lainnya, maupun dengan ancaman, tekanan, siksaan dan tindakan kekerasan lainnya.

B.     Rumusan Masalah

1.         Apakah yang dimaksud dengan psikologi dakwah?
2.         Bagaimanakah dakwah psikologis masa rasulullah SAW?
3.         bagaimanakah dakwah psikologis masa sekarang?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Psikologi Dakwah
1.      Pengetian Psikologi
Psikologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi, psikologi secara bahasa dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. Namun pengertian ilmu jiwa itu sendiri masih dianggap kabur dan belum jelas. Hal ini disebabkan karena para sarjana belum mempunyai kesepakatan tentang jiwa itu sendiri. Menurut Sarlito, tidak ada seorang pun yang tahu dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan jiwa itu sendiri, karena jiwa adalah kekuatan yang abstrak yang tidak tampak oleh pancaindera wujud dan zatnya. Melainkan yang nampak hanya gejala-gejalanya saja.[1]
Sedangkan menurut para ahli psikologi memiliki makna yang berbeda- beda diantanya menurut para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles mendefinisikan ilmu jiwa (psyche) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya. Hal ini karena filsafat selalu mengkaji tentang hakikat segala sesuatu secara mendasar dan menyeluruh.[2] Pada zaman renaisans ( zaman revolusi ilmu pengetahuan di Eropa) Rene Descartes (1596-1650) seorang filsuf Prancis mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang  kesadaran. Sedangkan menurut George Berkeley (1685-1753) seorang filsuf Inggris mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang pengindraan (persepsi).[3]
2.      Pengertian Dakwah
Secara bahasa dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu Da’a, Yad’u, Da’watan yang artinya menyeru memanggil mendorong dan mengajak.
Secara terminologi, para ulama masih berbeda pendapat mengenai definisi dakwah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memaknai dan memandang kalimat dakwah itu sendiri. Sebagian ulama seperti diungkapkan oleh Muhammad Abu al-Futuh dalam kitabnya al-Madkhal ila ’Ilm ad-Da’wat mengatakan bahwa dakwah adalah menyampaikan dan menerangkan apa yang telah dibawa oleh nabi Muhammad SAW.[4] Muhammad al-Khaydar Husayn dalam kitabnya ad-Da’wat ila al-Ishlah mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak kepada kebaikan dan petunjuk, serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kepada kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.[5] Ahmad Ghalwasy dalam kitabnya ad-Da’wat al-Islamiyyat mendefinisikan dakwah sebagai pengetahuan yang dapat memberikan segenap usaha yang bemacam-macam, yang mengacu kepada upaya penyampaian ajaran Islam kepada seluruh manusia yang mencakup akidah, syariat dan akhlak. Sedangkan menurut Abu Bakar Zakaria dalam kitabnya ad-Da’wat ila al-Islam dakwah ialah kegiatan para ulama dengan mengajarkan menusia apa yang baik bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat menurut kemampuan mereka.
3.      Pengertian Psikologi Dakwah
Berdasarkan definisi-definisi dakwah di atas, sesungguhnya esensi dakwah terletak pada usaha pencegahan dari penyakit-penyakit masyarakat yang bersifat psikis dengan cara mengajak, memotivasi, merangsang serta membimbing individu atau kelompok agar sehat dan sejahtera jiwa dan raganya. Sehingga mereka dapat menerima ajaran dengan penuh kesadaran dan dapat menjalankan ajaran agama sesuai dengan tungtunan syariat Islam.
Tujuan psikologi dakwah adalah membantu dan memberikan pandangan kepada para Da’i tentang pola dan tingkah laku para Mad’u dan hal-hal yang mempengaruhi tingkah laku tersebut yang berkaitan dengan aspek kejiwaan (psikis) sehingga mempermudah para Da’i untuk mengajak mereka kepada apa yang dikehendaki oleh ajaran Islam.
B.   Dakwah Psikologis Masa Rasulullah SAW
a.       Pendekatan Personal ( Sirri )
Pendekatan ini dilakukan dengan cara face to face individual antara da’i dan mad’u bertatap muka langsung sehingga reaksi yang timbul akan segera diketahui. Pendekatan ini dilakukan Rasulullah pada fase dakwah sirriyah ( dakwah secara rahasia ) meskipun demikian dakwah personal ini masih relevan diterapkan pada saat ini bahkan hingga akhir masa. Hal ini disebabakan pendekatan personal memiliki keterkaitan batin serta interaksi emosional antara da’i dan mad’u.[6]
Pendekatan personal merupakan pertama kali dilakukan Nabi setelah menerima wahyu kepada orang orang terdekatnya. Hal ini dilakukan karena pada saat itu untuk mengantisipasi pengikut Nabi masih sedikit serta resistensi kaum Quraisy yang keras. Dakwah personal ini dilakukan Nabi selama tiga tahun, diantara yang beriman pada saat itu adalah Khadijah binti Khuwalid, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Harits, Abu Bakar as-Shidiq, Utsman bin Affan, Zubair al-Arqam dan lain sebaginya.
Pendekatan personal ini dilakukan Rasullullah pada masa awal ketika ketika dakwah belum dimungkinkan dilaksanakan secara terbuka. Dakwah secara sembunyi-sembunyi dilakukan Rasululullah bukan karena beliau takut melainkan merupakan strategi jitu yang dilakukan oleh Rasul[7]. Hal ini disebabkan Rasulullah selalu dibimbing oleh wahyu termasuk untuk melaksanakan dakwah personal. Pendekatan dakwah ini dilandasi juga ketika umat Islam pada saat itu belum kuat dan masih sedikit. Melalui pendekatan ini da’i langsung membimbing ke mad’u sehingga keimanan mad’u bertambah mantap. Permasalahan keagaman dapat langsung dipecahkan secara seketika.
Dengan pendekatan personal ini Nabi SAW telah menggabungkan antara ikhtiar dan tawakal. Dari sini pula dapat dipetik hikmah bahwa dalam berdakwah harus memperhatikan situasi dan kondisi, kapan dakwah dilaksanakan secara sembunyi dan kapan dakwah dilaksanakan secara terbuka disinilah letak keluwesan dakwah. Da’i dituntut harus panda’i membaca situasi serta memahami kondisi untuk menerapkan dakwahnya.
b.      Pendekatan Pendidikan ( Taklim )
Dakwah melaui pendekatan pendidikan telah dilakukan Nabi pada masa-masa awal berbarengan dengan dakwah Sirri seperti dilakukan di rumah Abu al-Arqom. Pada saat Nabi di Makkah pendidikan seperti di Bait al-Arqom belum diorganisir secara maksimal, hal ini disebabkan belum berkembangnya pendidikan karena faktor keamanan. Ketika Nabi hijrah ke Madinah barulah pendidikan berkembang dan diorganisir secara sempurna. Adapun sistem pendidikan yang dikembangkan Nabi adalah sistem kaderisasi dengan membina para sahabat. Kemudian para sahabat mengembangkannya ke seluruh dunia. Mulai dari Khulafaurasyidin kemudian generasi berikutnya. Dimulai dari pembinaan dan kaderisasi di Makkah yang agak terbatas kemudian ke Madinah dengan membentuk komunitas muslim ditengah-tengah masyarakat Madinah yang cukup heterogen. Tempat-tempat yang dijadikan sebagai tempat untuk mendidik para sahabat baik di Makah maupun di Madinah yaitu : Dar-al-Arqom, Rumah Nabi, al-Shuffah, Dar-al-Qurra, Kuttab, Masjid, dan Rumah para sahabat.
1)      Dar al-Arqam ( Rumah al-Arqam )
Pada saat Nabi SAW melaksanakan dakwah sirriyah selama tiga tahun di Makkah, terdapat tiga puluh pemeluk Islam.Hal ini menjadi landasan Nabi untuk melaksanakan dakwah melalui pendidikan meskipun masih rahasia. Tempat yang digunakan pertama kali ádalah rumah Abu Arqam. Ia sendiri sebenarnya bernama al-Arqam bin Abu Manaf, karena abu Manaf dikenal dengan nama Abu al-Arqam, maka al-Arqam kemudian lazim dipanggil al-Arqam bin al-Arqam. Letak rumah tersebut antara kaki bukit Shafa dan tidak jauh dari Ka’bah. Mungkin hal ini yang melandasi Nabi melakukan pendidikan di rumah tersebut disamping tentunya factor keamanan.[8]
Di tempat tersebut Umar bin Khatab memeluk Islam pada tahun ke enam keRasulan. KeIslaman Umar disambut gembira oleh Nabi dan para sahabat sehingga dijadikan momentum untuk berdakwah secara terbuka. Masuk Islamnya Umar menambah kekuatan kaum Muslimin karena pada saat Umar memeluk Islam diikuti pula sahabat lain sehingga yang mengucapkan Syahadat pada saat itu kurang lebih empat puluh orang. Patut dicatat pula pendekatan pendidikan di rumah al-Arqam memiliki kemiripan dengan model pendidikan pesantren. Pesantren di Indonesia memiliki tiga komponen yaitu ; pengajar, santri dan masjid. Di Dar al-Arqam ada Nabi sebagai pendidik, ada sahabat sebagai santri dan masjid al-Haram tempat ibadah. Hal ini dapat dikatakan Dar al-Arqam sebagai pesantren pertama dalam Islam sehingga rumah Al-arqam disebut pula Dar al-Islam, membuktikan bahwa rumah tersebut sebagai lembaga pendidikan Islam pada masanya.
2)      Rumah Nabi Muhammad SAW
Masuknya Umar bin Khatab menjadi muslim menjadikan titik tolak Nabi untuk berdakwah secara terbuka sehingga pendidikan yang dilakukan di rumah al-Arqam pun dipindahkan ke rumah Nabi. Ada dua pendapat mengenai rumah Nabi yang dijadikan tempat pendidikan apakah rumah ketika Nabi dilahirkan atau ketika Nabi telah menikah dengan Khadijah. Apabila rumah yang dimaksud pendapat pertama maka rumah tersebut sampai sekarang masih ada, yaitu rumah di Syeib Amir Makkah yang sekarang menjadi perpustakaan Mamlukah Su’udiyyah, namun apabila yang dimaksud rumah Nabi pada pendapat kedua, saat ini tidak dapat dilacak keberadaanya.
3)      al-Shuffah
Pada saat Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang pertama kali beliau bangun ádalah Masjid. Di dalam masjid –masjid yang beliau dirikan terdapat ruangan khusus diperuntukan untuk pendidikan disamping juga untuk menampung sahabat yang tidak mamapu. Ruangan tersebut dikenal dengan al-Shuffah. M.Azami menerangkan al-Shuffah merupakan perguruan tinggi Islam pertama. Fakta ini merupakan sesuatu hal yang tidak berlebihan karena Rasulullah SAW sendiri sebagai guru besarnya. Dibandingkan pada saat di Makkah atau Dar al-Arqom, pendidikan di al-Shuffah relatif terorganisir dengan baik karena di Madinah Nabi Muhammad disamping mengemban misi profetik juga sebagai pimpinan politik.
Tenaga pengajar al-Shuffah disamping Nabi SAW juga para sahabat senior. Begitu pentingnya peran al-Shaffah karena meskipun gratis tapi melahirkan alumni yang mumpuni dalam baca tulis al-Qur’an. Para sahabat yang mengajar diantaranya Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Said, Ubay bin Kaab. Jumlah mahasiswanya tergantung situasi, menurut Ibnu Taymiyah 400 orang sedangkan Qatadah menyebutkan 900 orang salah satu diantaranya Abu Hurairah.[9]
4)      Dar al-Qurra
Selain al-Shaffah di Madinah juga terdapat lembaga pendidikan yang bertempat di rumah Makhramah bin Nufal. Dar al-Qurra bermakna rumah para pembaca al-Qur’an. Di dalamnya diajarkan baca, tulis dan menghafal al-Qur’an. Al-Qur;an merupakan sumber motivasi,inspirasi serta ilmu dari segala ilmu.
5)      Kuttab
Di Madinah juga terdapat lembaga pendidikan yang disebut Kuttab alumninya yaitu Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit yang pada saat itu masih kanak-kanak. Kutab berarti tempat belajar, biasanya kuttab tempat belajar bagi anak-anak. Penamaan kuttab ini untuk membedakan dengan al-Shuffah yang dikhususkan bagi orang dewasa sedangkan Kuttab bagi kanak-kanak semacam pendidikan bagi tingkat dasar.
6)      Masjid.
Masjid pada awal Islam disamping untuk sholat juga digunakan untuk belajar. Pada masa Rasulullah tinggal di Madinah terdapat sembilan buah masjid.
7)      Rumah para sahabat.
Rumah para sahabat dimanfaatkan juga untuk sarana belajar dan mengajar meskipun secara temporer. Biasanya ketika Nabi kedatangan tamu dari luar Madinah. Para tamu tersebut menginap di rumah sahabat, selagi menginap Rasullullah memberikan pengajaran kepada para tamunya di rumah sahabat.
Metode pendidikan yang dilakukan Nabi terdapat sahabat setidaknya meliputi :
metode graduasi ( al-Tadarruj ),
1.      levelisasi ( Mura’at al-Mustawayat ),
2.      Variasi ( al-Tanwi’ wa al-Taghyir ),
3.      keteladanan  ( alUswah wa al-Qudwah )
4.      aplikatif ( al-Tatb iqi wa al-Amali ),
5.      mengulang-ulang ( al-Takrir wa al-Muraja’ah )
6.      evaluasi ( al-Taqyim )
7.      dialog ( al-Hiwar ),
8.      analogi ( al-Qiyas )dan
9.      metode cerita atau kisah ( al-Qishshah. ).
Metode graduasi merupakan metode penahapan yang merupakan metode al-Qur’an dalam membina masyarakat baik untuk menghapuskan tradisi jahiliyah atau yang lain.begitupun dalam menanamkan akidah al-Qur’an menggunakan metode graduasi atau penahapan ( secara bertahap). Metode levelisasi merupakan salah satu metode yang mengklasifikasikan peserta didik ataupun mad’u sesuai dengan kemampuan, serta daya nalar yang dimiliki. Mengajari orang badui berbeda dengan mengajarkan kepada orang kota yang pandai. Nabi SAW berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan dan budaya obyeknya. Metode variasi dilakukan bukan hanya mengajar saja tetapi juga mengenai waktu belajar.Metode keteladanan merupakan metode yang pokok dilakukan Nabi SAW berkat keteladanan beliau ajaran Islam diterima oleh setiap kalangan di seluruh dunia sebagai rahmatan lil alamain. Metode aplikatif juga dilakukan Nabi dalam mengajarkan al-Qur’an terhadap para sahabatnya. Untuk memantapkan ajaranya kepada sahabat Rasul selalu mengulang-ulang menggunakan metode takrir wa muraja’ah. Kepada sahabat Nabi selalu memantau dan mengevaluasi baik dalam hal ilmu maupun kehidupan.
Metode selanjutnya adalah dialog. Dalam mengajarkan ilmu seringkali melakukan dialog dengan sahabatnya. Banyak sekali ungkapan-ungkapan Nabi dimulai dengan perumpamaan atau qiyas disamping itu Rasulullah juga mengajar dengan mengungkapakan kisah-kisah terutama yang termaktub dalam al-Qur’an.
c.       Pendekatan Penawaran ( ’Ardh )
Makkah merupakan pusat ziarah sejak zaman Nabi Ibrahim hingga sekarang. Baik pada masa pra Islam maupun sesudahnya. Salah satu pendekatan dakwah Nabi adalah menawarkan agama Islam kepada kabilah-kabilah yang menziarahi Ka’bah. Meskipun tidak ada seorangpun yang mengikuti dakwah Nabi akibat teror dari kafir Quraisy. Nabi tetap menjalankan tugas dakwah itu setiap musim haji dari tahun keempat sampai tahun kesepuluh dari keNabian beliau. Baru pada tahun kesebelas kabilah Khajraj dari Yatsrib menyatakan memeluk Islam berlanjut kepada baiat Aqobah pertama dan kedua. Masuk Islamnya kabilah dari Yatsrib merupakan wasilah hijrahnya Nabi ke Yatsrib atau kemudian lebih dikenal Madinah.
d.      Pendekatan Misi ( Bi’tsah )
Pendekatan misi adalah pengiriman da’i ke daerah yang jauh dari tempat tinggal Nabi untuk mengajarkan agama Islam. Pendekatan dakwah ini merupakan bagian dari pendekatan pendidikan namun dalam hal ini axis mundis ( titik tekan ) nya pada pendelegasian atau pengiriman para da’i oleh Nabi. Pendekatan misi yang dilakukan Nabi diantaranya; Misi dakwah ke Yatsrib, Nejed, Khaibar, Yaman, Najran dan Makkah.
Sesudah baiat Aqobah pertama, orang Yatsrib meminta kepada Nabi untuk dikirim orang yang mengajarakan Islam di Yatsrib. Nabi SAW mengutus Mush’ab bin Umair ke Yatsrib. Peristiwa ini terjadi sebelum Nabi hijrah. Pada bulan safar 4 H Nabi kedatangan tamu dari Nejed. Ia diajak Nabi masuk Islam tapi tidak mau hanya meminta untuk dikirim da’i untuk mengajarkan Islam di Nejed. Nabi mengirimkan 70 orang sahabat ahli Qur’an ke Nejed dipimpin Mundzir nin Amr.
Misi dakwah ke Khaibar yang dihuni orang Yahudi bersamaan dengan perang Khaibar yang di awali oleh penghianatan orang Yahudi terhadap Nabi. Sahabat yang ditugasi Nabi untuk mmengislamkan Khaibar dipimpin Ali bin Abi Thalib. Sahabat Nabi yang ditugaskan berdakwah ke Yaman diantaranya Abu Musa al-Asyari, Muadz bin Jabal, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid dan al-Barra bin Azib. Pada tahun 10 H Khalid bin Walid ditugaskan Nabi ke Najran tepatnya kabilah Bani al-Harts. Semua warga kabilah ini kemudian memeluk Islam dan Khalid bin Walid tinggal di Najran untuk beberapa waktu untuk mengajarkan agama Islam. Sebelum Fathul Makkah 8 H. Makkah dikuasai oleh orang kafir Quraisy. Ketika Nabi kembali ke Madinah setelah pembebasan Makkah, Nabi mengutus Muadz bin Jabal untuk mengajarkan al-qur’an pada orang Makkah dan mengangkat Attab bin Usaid sebagai walikota Makkah.
e.       Pendekatan korespondensi ( Mukatabah )
Pendekatan korespondensi merupakan salah satu dakwah yang dilkukan Nabi SAW. Dakwah melalui korespondensi ini dilakukan Nabi SAW pada tahun ke 7 hijriyah terhadap bangsa – bangsa non Arab, sebelumnya selama 16 tahun Nabi SAW berdakwah hanya kepada masyarakat arab tepatnya 10 tahun di Makkah dan 6 tahun di Madinah. Fakta ini menunjukan bahwa Islam adalah agama universal. Melalui surat dakwah islam disebarkan Nabi ke Eropa ( Romawi ), Persia, dan Afrika ( Abbesenia ).
Muhammad bin Sa’ad ( W 230 H ) menulis kitab al-Tabaqat al-Kubra untuk menulis satu persatu surat Nabi SAW lengkap dengan sanadnya. Surat-surat tersebut berjumlah 105 buah. Surat-surat Nabi SAW dikirimkan terhadap al-Najasyi ( raja Habsyah ). Surat ini dibawa oleh Amir bin Umayyah al-Dhamri, ia adalah orang pertama yang dipercaya Rasulullah menyampaikan surat kepada raja-raja dan kepala negara. Surat dakwah Nabi juga dikirimkan terhadap kaisar Romawi Heraclius. Surat ini dibawa oleh Dhiyah bin Khalifah al-Kalbi.
Surat Dakwah Rasul dikirimkan juga kepada Kisra atau Khoesroes gelar raja-raja Persia. Yang mendapat surat Nabi adalah Aparwiz bin Hormuz bin Anursiwan. Surat dakwah yang lain diberikan Rasul kepada al-Mauqauqis atau al-Muqauqas gelar raja-raja Iskandariyah ( Mesir ). Raja yang menerima surat Nabi adalah Juraij bin Mina, sedangkan yang menyampaikannya adalah Hatib bin Abu Balta’ah. Surat dakwah juga dirimkan kepada raja Balqa ( wilayah Romawi Timur ) bernama al-Harits al-Ghassani, Hauzah bin Ali al-Hanafi penguasa Yamamah ( tokoh Musyrikin Arab ) suratnya dibawa oleh Salit bin Amr al-Amiri. Dari keenam surat yang dikirim Nabi tak satupun penerima surat memeluk agama Islam kecuali Najasyi yang masih kontroversi. Namun demikian bukan berarti dakwah tidak berhasil karena pada perkembangan selanjutnya daerah daerah tersebut merupakan pusat peradaban Islam. Seperti Iran dan Mesir.
Surat dakwah Nabi secara garis besar berisi :
1)      Surat-surat yang berisi seruan untuk masuk Islam.
2)      Surat-surat yang berisi aturan ajaran Islam seperti zakat dan sebagainya.
3)      Surat-surat yang berisi kewajiban bagi non muslim seperti jizyah.
Sebagai surat dakwah Rasulullah selalu mengawalinya dengan Basmallah. Disamping itu surat dakwah juga merupakan surat resmi kepala negara karena setiap surat dicap dengan stempel berbahan perak dengan tulisan Muhammad Rasul Allah. Dengan demikin surat-surat yang dikirimkan Nabi Saw mengemban amanat profetik dan politik.
f.       Pendekatan diskusi ( Mujadalah )
Pendekatan mujadalah mengandung arti dialogis. Mujadalah bukanlah pembicaraan yang monolog dan monoton. Di dalam al-Qur’an kata mujadalah diulang 29 kali. Diskusi atau mujadalah juga merupakan pendekatan dakwah yang persuasif. Mengingat tidak setiap mad’u begitu saja menerima ajakan dakwah tetapi perlu adu argumen untuk meyakinkan kebenaran ajaran Islam. Dakwah pendekatan diskusi ini menuntut da’i untuk profesional dan mampu mengaplikasikan ilmu logika serta menguasai pengetahuan yang mendalam terutama topik yang didiskusikan. Mujadalah juga dimaksudkan agar orang yang sebelumnya menantang ia akan menerima sekaligus mendukung penuh pengertian. Pendekatan diskusi yang dilakukan Rasulullah merupakan implementasi Q.S al-Nahl : 125.
Artinya :”serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( Q.S. a-Nahl : 125 ).
Diskusi atau mujadalah yang diperintahkan Allah SWT kepada kaum muslimin adalah jadal yang baik. Jadal yang baik adalah jadal yang tidak mengandung unsur penganiayaan karena adanya pemaksaan kehendak ( pendapat ) dan tidak ada unsur-unsur yang merendahkan lawan dialog. Hal ini penting karena watak manusia memiliki ego tersendiri. Seseorang tidak mudah melepaskan pendapatnya sendiri, kecuali kritik terhadap pendapatnya dilakukan secara halus sehingga yang bersangkutan tidak merasa pendapatnya dipinggirkan.
Dari pendekatan pendekatan dakwah yang dilakukan Nabi SAW yang paling efektif adalah pendekatan pendidikan ( ta’lim ) dan pendekatan misi ( bi’tsah ). Ketika Rasulullah SAW wafat beliau meninggalkan setidaknya 114.000 orang sahabat. Mereka secara umum pernah mendapat pendidikan dari Nabi SAW. Sementara pendekatan misi dilakukan Nabi pertama kali mengutus Mush’ab bin Umair ke Yatsrib sebelum Rasul hijrah pasca Baiat Aqobah. Selama setahun ia berhasil mengislamkan 63 orang dengan kata lain 12 orang tiap bulan, suatu jumlah yang signifikan pada saat itu. Pendekatan –pendekatan personal ( sirri ), penawaran ( ’ardh ), diskusi (mujadalah ) dan korespondensi ( mukatabah ) tidak ditemukan indikatornya yang signifikan.
Dengan memperhatikan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai metode dakwah Rasulullah, dapat dijadikan sebagai pelajaran kepada umat Islam dalam pelaksanaan dakwah memerlukan beberapa faktor sebagai berikut:[10]
1)      Mengembangkan pola pikir dan wawasan keilmuan;
2)      Pola pikir dan wawasan yang luas tersebut mempengaruhi kepribadian, sehingga
tidak mudah terlarut dengan sikap-sikap negatif;
3)      Mampu menguraikan materi sesuai dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

C. Dakwah Psikologis Masa Sekarang atau Kontemporer

A. Pengertian Dakwah Kontemporer
Dakwah yang pada intinya menyeru kepada Allah, adalah kewajiban setiap muslim. Kesadaran ini penting ditanamkan pada setiap muslim. Allah SWT. berfirman dalam QS. an-Nahl 16:125 yang artinya “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. ( QS. Ali Imron 3: 104). Ayat inilah yang mengindikasikan perlunya dakwah secara kolektif atau jama’iyah. Ayat inilah yang menjadi dasar alam pikiran K. H. Ahmad Dahlan waktu mendirikan perserikatan Muhamadiyah pada tahun 1912.[11]
Terkait dengan seruan untuk berdakwah, lahirlah istilah dakwah kontemporer saat ini. Yang mana Dakwah kontemporer adalah dakwah yang dilakukan dengan cara menggunakan tekhnologi modern yang sedang berkembang, misalnya televisi, radio, media cetak, internet, dan lain-lain. Dakwah kontemporer ini sangat cocok apabila dilakukan di lingkungan masyarakat kota atau masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan menengah keatas. Teknis yang ada dan yang digunakan dalam dakwah kontemporer ini juga sangat berbeda dengan dakwah kultural. Jika dakwah kultural pada umumnya dilakukan dengan cara menyesuaikan budaya yang ada pada masyarakat setempat, tetapi dakwah kontemporer dilakukan dengan cara mengikuti teknologi yang sedang berkembang pada saat ini.
Persaingan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang periklanan adalah merupakan tantangan bagi para da’i kita untuk segera berpindah dari kebiasaan dakwah kultural ke dakwah kontemporer. Dakwah kontemporer yang dimaksud adalah, dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi modern sebagaimana iklan yang lagi semarak dewasa ini.[12]
Al-Qur’an yang selama ini banyak disampaikan dengan cara tradisional, maka harus segera dirubah cara penyampaiannya, yaitu dengan cara modern dengan menggunakan teknologi yang sesuai dengan tuntutan zaman. Al-Qur’an sudah saatnya harus disampaikan dengan menggunakan metode cepat dan tepat, yaitu dengan cara menggunakan fasilitas komputer. Munculnya tekhnologi di bidang komputer ini sebenarnya sangat membantu bagi para da’i dalam menyampaikan nilai-nilai al-Qur’an dengan metode tematik. Walaupun kita sadari bahwa para da’i kita banyak yang tidak bisa meng-operasionalkan komputer dengan baik, sehingga banyak para da’i kita yang tidak mampu untuk membuka Holy Qur’an yang lagi berkembang dewasa ini.
Munculnya Holy Qur’an, Holy Hadits dan beberapa CD kitab kutubut-tis’a merupakan kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam umumnya dan para da’i pada khususnya untuk segera direalisasikan kepada pada umat yang selama ini dalam menggali al-Qur’an itu dengan metode tradisional. Dakwah yang menggunakan fasilitas mimbar hanya akan di dengar sebatas yang hadir pada acara tersebut. Lain halnya dengan dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi elektronik seperti TV, internet dan teknologi modern lainnya, pasti akan lebih banyak manfaatnya.
Dari dua perbandingan di atas, maka dakwah kontemporer yang memanfaatkan teknologi modern lebih banyak manfaatnya dari pada dakwah kultural yang masih harus menyesuaikan dengan kondisi budaya masing-masing daerah. Materi dakwah yang tepat untuk menghadapi masyarakat modern ini adalah materi kajian yang bersifat tematik. Artinya Islam harus di kaji dengan cara mengambil tema-tema tertentu yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan fasilitas yang tepat adalah dengan menggunakan media cetak dan elektronik, karena dengan menggunakan media cetak dan elektronik hasilnya akan lebih banyak serta jangkauannya lebih luas.
B. Problematika Dakwah pada Era Kontemporer
Dakwah pada era kontemporer ini dihadapkan pada berbagai problematika yang lain kompleks. Hal ini tidak terlepas dari adanya perkembangan masyarakat yang semakin maju. Pada masyarakat agraris kehidupan manusia penuh dengan kesahajaan tentunya memiliki problematika hidup yang berbeda dengan masyarakat kontemporer yang cenderung matrealistik dan indifidualistik. Begitu juga tantangan problematika dakwah akan dihadapkan pada berbagai persoalan yang sesuai dengan tuntutan pada era sekarang.
Ada tiga problematika besar yang dihadapi dakwah pada era kontemporer ini, antara lain:
1.      pemahaman masyarakat pada umumnya terhadap dakwah lebih diartikan sebagai aktifitas yang bersifat oral communication (tablih) sehingga aktifitas dakwah lebih beriontasi pada kegiatan-kegiatan caramah.
2.       problematika yang berasifat epistemologis. Dakwah pada era sekarang bukan hanya bersifat rutinitas, temporal dan instan, melainkan dakwah membutuhkan para dikma keilmuan. Dengan adanya keilmuan dakwah tentunya hal-hal yang terkait dengan langkah srategis dan teknis dapat dicari runjukannya melalui teori-teori dakwah.
3.      problem yang menyangkut sumber daya manusia. Aktivitas dakwah masih dilakukan sambil lalu atau menjadi pekerjaan sampingan. Imlikasinya banyak bermunculan da’i yang kurang profesional, rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi da’i, dan lemahnya manajerial yang dilakukan oleh da’i dalam mengemas kegiatan dakwah.[13]
C. Media Dakwah Kontemporer
Seorang da’i atau juru dakwah, dalam menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia tidak akan lepas dari sarana atau media. Karena di era modern ini dakwah tidak hanya cukup di sampaikan melalui lisan tanpa melalui bantuan alat-alat komunikasi modern, seperti: radio, televisi, film, VCD, percetakan dan media internet. Kata-kata yang di ucapkan seorang da’i sangatlah terbatas oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, kepandaian untuk memilih media atau sarana yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah.
Hamzah Ya’qub membagi sarana dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, audio, visual, dan akhlak (Amal Fathullah Zarkhasyi, 1998: 154). Dari lima macam pembagian tersebut, secara umum dapat dipersempit menjadi tiga media, yaitu:
1.      Spoken words, media dakwah yang berbentuk ucapan atau bunyi yang di tangkap dengan indra telinga, seperti radio, telepon, dan lain-lain
2.      Printed writings, berbentuk tulisan, gambar, lukisan dan sebagainya yang dapat di tangkap dengan mata.
3.      The Audio visual, berbentuk gambar hidup yang dapat didengar sekaligus dilihat, seperti televisi, video, film dan sebagainya.[14]
Dilihat dari segi sifatnya, media dapat digolongkan menjadi dua kategori: media dakwaah tradisional dan media dakwah modern. Media dakwah tradisional berupa berbagai macam seni dan pertunjukan tradisional, dipentaskan secara umum terutama hiburah yang bersifat komulatif. Sedangkan media modern di istilahkan dengan media elektronik yaitu media yang dihasilkan dari tekhnologi seperti televisi, radio, pers, internet dan sebagainya (Amar fathullah Zarkhasyi, 1998: 154).
Sementara masyarakat sekarang ini adalah masyarakat plural yang berkembang dengan berbagai kebutuhan yang praktis, sehingga kecanggihan tekhnologi tidak dapat dinafikan dapat membuka sekat dan menghilangkan batas ruang dan waktu. Memilih dan menggunakan media yang tepat sudah menjadi keharusan dan tuntunan zaman apabaila menginginkan tujuan dakwah untuk memengaruhi bisa tercapai. Dengan demikian, media sebagai sarana dakwah yang merupakan suatu wasilah dakwah haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi pada masyarakat kontemporer.


Dakwah melalui VCD merupakan suatu model atau sarana dakwah yang baru, dan manfaat yang di petik dari dakwah model tersebut tidaklah sedikit dan sangat efektif manfaatnya, seperti contoh VCD Harun Hahya Series dimana karya-karya beliau sarat manfaat, menjadi best seller di berbagai negara, VCD yang berisi ilmu-ilmu yang diulas secara ilmiah dengan gambar-gambar yang menakjubakan, asal-usul kejadian manusia, teori Darwin, yang menyebabkan tidak sedikit orang-orang eropa (non muslim) tersentak dan akhirnya mereka masuk Islam. Begitupun dengan Arimatea, salah satu model dakwahnya adalah dengan menggunakan serta memanfaatkan VCD sebagai sarana dakwahnya, dengan debat-debat ilmiyah yang mencerahkan.[15]
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Psikologi dakwah ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
Metode psikologi dakwah yang digunakan oleh Rasulullah adalah metode yang sesuai yang tertera di dalam Alquran, dengan melalui pendekatan-pendekatan tertentu diantaranya: Pendekatan Personal (Sirri), Pendekatan Pendidikan (Taklim), Pendekatan Penawaran (’Ardh), Pendekatan Misi (Bi’tsah), Pendekatan korespondensi (Mukatabah), Pendekatan diskusi (Mujadalah).
Berdeda dengan psikologi dakwah pada masa sekarang ini dengan cara menggunakan tekhnologi modern yang sedang berkembang, misalnya televisi, radio, media cetak, internet, dan lain-lain. Sehingga para da’i harus memiliki rujukan ilmu yang harus ada pada diri seorang da`i karena mad’u pada zaman sekarang ini sudah cerdas dalam memilih kebenaran dakwah.














DAFTAR PUSTAKA

~Faizah,Effendi Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah, ( Jakarta: Kencana, 2009).
~Rafi’udin dan Maman Abd Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
~Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana Premedia Group, 2007).
~Sarlito, Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000).
~www. http//Metode dakwah rasulullah.com
~Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah melalui Internet, Yogyakarta: Gava Media, 2004.
~Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer , Purwokerto: stainpress, 2006.
~Siti Uswatun Khasanah , Berdakwah Dengan Jalan Debat: antara muslim dan non muslim, Purwokerto: stainpress, 2007.
~http:// www. Google. Com (Dakwah kontemporer).






[1] Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan Dengan Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) Hlm. 1-2.
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993) Hlm. 19.
[3] Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), Hlm. 3.
[4] Muhammad Abu Futuh al-Bayanuni, al-Madkhal ila ‘Ilm ad-Da’wat (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1991), hlm. 14.
[5]Muhammad al-Khaydar Husayn, ad-Da’wat ila al-Ishlah (Kairo: Maktabat al-Azhar, -.), hlm. 14.
[6] H. M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia, hlm.19.
[7] Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana Premedia Group, 2007, h. 48-50.
[8] Abu Bakar Zakaria, ad-Da’wat ila al-Islam (Kairo: Maktabah Dar al-Urubat, 1962), hlm. 8.
[9] Syekh Ahmad Ghalwasy, ad-Da’wat al-Islamiyyat (Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, -.) hlm. 10.
[10]Rafi’udin dan Maman Abd Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung: Pustaka Setia, 1997, h. 79-80.

[11] Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah melalui Internet (Yogyakarta: Gava Media, 2004), hal. 7-8.

[12] http:// www. Google. Com (Dakwah kontemporer).

[13] Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer (Purwokerto: stainpress, 2006). hal...
[14] Siti Uswatun Khasanah , Berdakwah Dengan Jalan Debat: antara muslim dan non muslim (Purwokerto: stainpress, 2007), hal. 36-37.

[15] Ibid., hal. 37-38.

No comments:

Post a Comment