KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dakwah Psikologi masa
rasulullah dan masa sekarang”.
Shalawat
serta salam tak lupa kita kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw,
beseta keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penulisan Makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi dakwah.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima saran dan
kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan kepada semua
mahasiswa yang berada di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Arraniry Banda Aceh.
Banda
Aceh, September 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sesungguhnya
dakwah adalah tugas yang amat mulia. Tugas warisan para Nabi dan Rasul. Allah
Swt. menegaskan bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dari pada menyeru ke
jalan Allah Swt.
Allah
berfirman :
“Siapakah
yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang berdakwah kepada Allah,
mengerjakan amal shalih dan berkata : sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri” (QS. Fushillat : 33).
Orientasi
dakwah para rasul adalah taqwa. Setiap rasul mengajak kaumnya agar bertaqwa.
Dakwah menuju ketaqwaan tentu saja akan mendapatkan sambutan, baik dari orang
orang yang menjaga kesucian fitrahnya dan yang menghormati akalnya. Tapi jangan
lupa, sebanyak-banyaknya orang yang menyambut dakwah kepada ketaqwaan lebih
banyak lagi yang menentangnya. Orang-orang yang menentang dakwah akan berusaha
terus menerus untuk mengagalkannya dengan segala macam cara, baik dengan cara
yang halus maupun cara yang kasar. Baik dengan bujukan, rayuan, iming-iming,
dan segala macam kesenangan duniawi lainnya, maupun dengan ancaman, tekanan,
siksaan dan tindakan kekerasan lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan psikologi
dakwah?
2.
Bagaimanakah dakwah psikologis masa
rasulullah SAW?
3. bagaimanakah dakwah psikologis masa
sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikologi Dakwah
1.
Pengetian
Psikologi
Psikologi
menurut bahasa berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi, psikologi secara
bahasa dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. Namun pengertian ilmu jiwa itu
sendiri masih dianggap kabur dan belum jelas. Hal ini disebabkan karena para
sarjana belum mempunyai kesepakatan tentang jiwa itu sendiri. Menurut Sarlito,
tidak ada seorang pun yang tahu dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan
jiwa itu sendiri, karena jiwa adalah kekuatan yang abstrak yang tidak tampak
oleh pancaindera wujud dan zatnya. Melainkan yang nampak hanya gejala-gejalanya
saja.[1]
Sedangkan
menurut para ahli psikologi memiliki makna yang berbeda- beda diantanya menurut
para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles mendefinisikan ilmu jiwa
(psyche) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta
prosesnya. Hal ini karena filsafat selalu mengkaji tentang hakikat segala
sesuatu secara mendasar dan menyeluruh.[2]
Pada zaman renaisans ( zaman revolusi ilmu pengetahuan di Eropa) Rene Descartes
(1596-1650) seorang filsuf Prancis mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu
tentang kesadaran. Sedangkan menurut George Berkeley (1685-1753) seorang
filsuf Inggris mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang pengindraan
(persepsi).[3]
2.
Pengertian Dakwah
Secara
bahasa dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu Da’a, Yad’u, Da’watan yang artinya
menyeru memanggil mendorong dan mengajak.
Secara
terminologi, para ulama masih berbeda pendapat mengenai definisi dakwah. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memaknai dan memandang kalimat
dakwah itu sendiri. Sebagian ulama seperti diungkapkan oleh Muhammad Abu
al-Futuh dalam kitabnya al-Madkhal ila ’Ilm ad-Da’wat mengatakan bahwa dakwah
adalah menyampaikan dan menerangkan apa yang telah dibawa oleh nabi Muhammad
SAW.[4]
Muhammad al-Khaydar Husayn dalam kitabnya ad-Da’wat ila al-Ishlah mengatakan
bahwa dakwah adalah mengajak kepada kebaikan dan petunjuk, serta menyuruh
kepada kebajikan dan melarang kepada kemungkaran agar mendapat kebahagiaan
dunia dan akhirat.[5]
Ahmad Ghalwasy dalam kitabnya ad-Da’wat al-Islamiyyat mendefinisikan dakwah
sebagai pengetahuan yang dapat memberikan segenap usaha yang bemacam-macam,
yang mengacu kepada upaya penyampaian ajaran Islam kepada seluruh manusia yang
mencakup akidah, syariat dan akhlak. Sedangkan menurut Abu Bakar Zakaria dalam
kitabnya ad-Da’wat ila al-Islam dakwah ialah kegiatan para ulama dengan
mengajarkan menusia apa yang baik bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat
menurut kemampuan mereka.
3.
Pengertian Psikologi Dakwah
Berdasarkan
definisi-definisi dakwah di atas, sesungguhnya esensi dakwah terletak pada
usaha pencegahan dari penyakit-penyakit masyarakat yang bersifat psikis dengan
cara mengajak, memotivasi, merangsang serta membimbing individu atau kelompok
agar sehat dan sejahtera jiwa dan raganya. Sehingga mereka dapat menerima
ajaran dengan penuh kesadaran dan dapat menjalankan ajaran agama sesuai dengan
tungtunan syariat Islam.
Tujuan
psikologi dakwah adalah membantu dan memberikan pandangan kepada para Da’i
tentang pola dan tingkah laku para Mad’u dan hal-hal yang mempengaruhi tingkah
laku tersebut yang berkaitan dengan aspek kejiwaan (psikis) sehingga
mempermudah para Da’i untuk mengajak mereka kepada apa yang dikehendaki oleh
ajaran Islam.
B. Dakwah Psikologis Masa Rasulullah SAW
a.
Pendekatan Personal ( Sirri )
Pendekatan
ini dilakukan dengan cara face to face individual antara da’i dan mad’u
bertatap muka langsung sehingga reaksi yang timbul akan segera diketahui.
Pendekatan ini dilakukan Rasulullah pada fase dakwah sirriyah ( dakwah secara
rahasia ) meskipun demikian dakwah personal ini masih relevan diterapkan pada
saat ini bahkan hingga akhir masa. Hal ini disebabakan pendekatan personal
memiliki keterkaitan batin serta interaksi emosional antara da’i dan mad’u.[6]
Pendekatan
personal merupakan pertama kali dilakukan Nabi setelah menerima wahyu kepada
orang orang terdekatnya. Hal ini dilakukan karena pada saat itu untuk
mengantisipasi pengikut Nabi masih sedikit serta resistensi kaum Quraisy yang
keras. Dakwah personal ini dilakukan Nabi selama tiga tahun, diantara yang
beriman pada saat itu adalah Khadijah binti Khuwalid, Ali bin Abi Thalib, Zaid
bin Harits, Abu Bakar as-Shidiq, Utsman bin Affan, Zubair al-Arqam dan lain
sebaginya.
Pendekatan
personal ini dilakukan Rasullullah pada masa awal ketika ketika dakwah belum
dimungkinkan dilaksanakan secara terbuka. Dakwah secara sembunyi-sembunyi
dilakukan Rasululullah bukan karena beliau takut melainkan merupakan strategi
jitu yang dilakukan oleh Rasul[7].
Hal ini disebabkan Rasulullah selalu dibimbing oleh wahyu termasuk untuk
melaksanakan dakwah personal. Pendekatan dakwah ini dilandasi juga ketika umat
Islam pada saat itu belum kuat dan masih sedikit. Melalui pendekatan ini da’i
langsung membimbing ke mad’u sehingga keimanan mad’u bertambah mantap.
Permasalahan keagaman dapat langsung dipecahkan secara seketika.
Dengan
pendekatan personal ini Nabi SAW telah menggabungkan antara ikhtiar dan
tawakal. Dari sini pula dapat dipetik hikmah bahwa dalam berdakwah harus
memperhatikan situasi dan kondisi, kapan dakwah dilaksanakan secara sembunyi
dan kapan dakwah dilaksanakan secara terbuka disinilah letak keluwesan dakwah.
Da’i dituntut harus panda’i membaca situasi serta memahami kondisi untuk
menerapkan dakwahnya.
b.
Pendekatan Pendidikan ( Taklim )
Dakwah
melaui pendekatan pendidikan telah dilakukan Nabi pada masa-masa awal
berbarengan dengan dakwah Sirri seperti dilakukan di rumah Abu al-Arqom. Pada
saat Nabi di Makkah pendidikan seperti di Bait al-Arqom belum diorganisir
secara maksimal, hal ini disebabkan belum berkembangnya pendidikan karena
faktor keamanan. Ketika Nabi hijrah ke Madinah barulah pendidikan berkembang
dan diorganisir secara sempurna. Adapun sistem pendidikan yang dikembangkan
Nabi adalah sistem kaderisasi dengan membina para sahabat. Kemudian para
sahabat mengembangkannya ke seluruh dunia. Mulai dari Khulafaurasyidin kemudian
generasi berikutnya. Dimulai dari pembinaan dan kaderisasi di Makkah yang agak
terbatas kemudian ke Madinah dengan membentuk komunitas muslim ditengah-tengah
masyarakat Madinah yang cukup heterogen. Tempat-tempat yang dijadikan sebagai
tempat untuk mendidik para sahabat baik di Makah maupun di Madinah yaitu :
Dar-al-Arqom, Rumah Nabi, al-Shuffah, Dar-al-Qurra, Kuttab, Masjid, dan Rumah
para sahabat.
1)
Dar al-Arqam ( Rumah al-Arqam )
Pada
saat Nabi SAW melaksanakan dakwah sirriyah selama tiga tahun di Makkah,
terdapat tiga puluh pemeluk Islam.Hal ini menjadi landasan Nabi untuk
melaksanakan dakwah melalui pendidikan meskipun masih rahasia. Tempat yang
digunakan pertama kali ádalah rumah Abu Arqam. Ia sendiri sebenarnya bernama
al-Arqam bin Abu Manaf, karena abu Manaf dikenal dengan nama Abu al-Arqam, maka
al-Arqam kemudian lazim dipanggil al-Arqam bin al-Arqam. Letak rumah tersebut
antara kaki bukit Shafa dan tidak jauh dari Ka’bah. Mungkin hal ini yang
melandasi Nabi melakukan pendidikan di rumah tersebut disamping tentunya factor
keamanan.[8]
Di
tempat tersebut Umar bin Khatab memeluk Islam pada tahun ke enam keRasulan.
KeIslaman Umar disambut gembira oleh Nabi dan para sahabat sehingga dijadikan
momentum untuk berdakwah secara terbuka. Masuk Islamnya Umar menambah kekuatan
kaum Muslimin karena pada saat Umar memeluk Islam diikuti pula sahabat lain
sehingga yang mengucapkan Syahadat pada saat itu kurang lebih empat puluh
orang. Patut dicatat pula pendekatan pendidikan di rumah al-Arqam memiliki
kemiripan dengan model pendidikan pesantren. Pesantren di Indonesia memiliki
tiga komponen yaitu ; pengajar, santri dan masjid. Di Dar al-Arqam ada Nabi
sebagai pendidik, ada sahabat sebagai santri dan masjid al-Haram tempat ibadah.
Hal ini dapat dikatakan Dar al-Arqam sebagai pesantren pertama dalam Islam
sehingga rumah Al-arqam disebut pula Dar al-Islam, membuktikan bahwa rumah
tersebut sebagai lembaga pendidikan Islam pada masanya.
2)
Rumah Nabi Muhammad SAW
Masuknya
Umar bin Khatab menjadi muslim menjadikan titik tolak Nabi untuk berdakwah
secara terbuka sehingga pendidikan yang dilakukan di rumah al-Arqam pun
dipindahkan ke rumah Nabi. Ada dua pendapat mengenai rumah Nabi yang dijadikan
tempat pendidikan apakah rumah ketika Nabi dilahirkan atau ketika Nabi telah
menikah dengan Khadijah. Apabila rumah yang dimaksud pendapat pertama maka
rumah tersebut sampai sekarang masih ada, yaitu rumah di Syeib Amir Makkah yang
sekarang menjadi perpustakaan Mamlukah Su’udiyyah, namun apabila yang dimaksud
rumah Nabi pada pendapat kedua, saat ini tidak dapat dilacak keberadaanya.
3)
al-Shuffah
Pada
saat Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang pertama kali beliau bangun ádalah
Masjid. Di dalam masjid –masjid yang beliau dirikan terdapat ruangan khusus
diperuntukan untuk pendidikan disamping juga untuk menampung sahabat yang tidak
mamapu. Ruangan tersebut dikenal dengan al-Shuffah. M.Azami menerangkan
al-Shuffah merupakan perguruan tinggi Islam pertama. Fakta ini merupakan
sesuatu hal yang tidak berlebihan karena Rasulullah SAW sendiri sebagai guru
besarnya. Dibandingkan pada saat di Makkah atau Dar al-Arqom, pendidikan di
al-Shuffah relatif terorganisir dengan baik karena di Madinah Nabi Muhammad
disamping mengemban misi profetik juga sebagai pimpinan politik.
Tenaga
pengajar al-Shuffah disamping Nabi SAW juga para sahabat senior. Begitu
pentingnya peran al-Shaffah karena meskipun gratis tapi melahirkan alumni yang
mumpuni dalam baca tulis al-Qur’an. Para sahabat yang mengajar diantaranya
Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Said, Ubay bin Kaab. Jumlah mahasiswanya
tergantung situasi, menurut Ibnu Taymiyah 400 orang sedangkan Qatadah
menyebutkan 900 orang salah satu diantaranya Abu Hurairah.[9]
4)
Dar al-Qurra
Selain
al-Shaffah di Madinah juga terdapat lembaga pendidikan yang bertempat di rumah
Makhramah bin Nufal. Dar al-Qurra bermakna rumah para pembaca al-Qur’an. Di
dalamnya diajarkan baca, tulis dan menghafal al-Qur’an. Al-Qur;an merupakan
sumber motivasi,inspirasi serta ilmu dari segala ilmu.
5)
Kuttab
Di
Madinah juga terdapat lembaga pendidikan yang disebut Kuttab alumninya yaitu
Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit yang pada saat itu masih kanak-kanak.
Kutab berarti tempat belajar, biasanya kuttab tempat belajar bagi anak-anak.
Penamaan kuttab ini untuk membedakan dengan al-Shuffah yang dikhususkan bagi
orang dewasa sedangkan Kuttab bagi kanak-kanak semacam pendidikan bagi tingkat
dasar.
6)
Masjid.
Masjid
pada awal Islam disamping untuk sholat juga digunakan untuk belajar. Pada masa
Rasulullah tinggal
di Madinah terdapat sembilan buah masjid.
7)
Rumah para sahabat.
Rumah
para sahabat dimanfaatkan juga untuk sarana belajar dan mengajar meskipun
secara temporer. Biasanya ketika Nabi kedatangan tamu dari luar Madinah. Para
tamu tersebut menginap di rumah sahabat, selagi menginap Rasullullah memberikan
pengajaran kepada para tamunya di rumah sahabat.
Metode
pendidikan yang dilakukan Nabi terdapat sahabat setidaknya meliputi :
metode
graduasi ( al-Tadarruj ),
1.
levelisasi
( Mura’at al-Mustawayat ),
2.
Variasi
( al-Tanwi’ wa al-Taghyir ),
3.
keteladanan ( alUswah wa al-Qudwah )
4.
aplikatif
( al-Tatb iqi wa al-Amali ),
5.
mengulang-ulang
( al-Takrir wa al-Muraja’ah )
6.
evaluasi
( al-Taqyim )
7.
dialog
( al-Hiwar ),
8.
analogi
( al-Qiyas )dan
9.
metode
cerita atau kisah ( al-Qishshah. ).
Metode
graduasi merupakan metode penahapan yang merupakan metode al-Qur’an dalam membina masyarakat
baik untuk menghapuskan tradisi jahiliyah atau yang lain.begitupun dalam
menanamkan akidah al-Qur’an menggunakan metode graduasi atau penahapan ( secara
bertahap). Metode levelisasi merupakan salah satu metode yang mengklasifikasikan
peserta didik ataupun mad’u sesuai dengan kemampuan, serta daya nalar yang dimiliki.
Mengajari orang badui berbeda dengan mengajarkan kepada orang kota yang pandai.
Nabi SAW berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan dan budaya obyeknya. Metode
variasi dilakukan bukan hanya mengajar saja tetapi juga mengenai waktu
belajar.Metode keteladanan merupakan metode yang pokok dilakukan Nabi SAW
berkat keteladanan beliau ajaran Islam diterima oleh setiap kalangan di seluruh
dunia sebagai rahmatan lil alamain. Metode aplikatif juga dilakukan Nabi dalam
mengajarkan al-Qur’an terhadap para sahabatnya. Untuk memantapkan ajaranya
kepada sahabat Rasul selalu mengulang-ulang menggunakan metode takrir wa
muraja’ah. Kepada sahabat Nabi selalu memantau dan mengevaluasi baik dalam hal
ilmu maupun kehidupan.
Metode
selanjutnya adalah dialog. Dalam mengajarkan ilmu seringkali melakukan dialog
dengan sahabatnya. Banyak sekali ungkapan-ungkapan
Nabi dimulai dengan perumpamaan atau qiyas disamping itu Rasulullah juga
mengajar dengan mengungkapakan kisah-kisah terutama yang termaktub dalam
al-Qur’an.
c.
Pendekatan Penawaran ( ’Ardh )
Makkah
merupakan pusat ziarah sejak zaman Nabi Ibrahim hingga sekarang. Baik pada masa
pra Islam maupun sesudahnya. Salah satu pendekatan dakwah Nabi adalah
menawarkan agama Islam kepada kabilah-kabilah yang menziarahi Ka’bah. Meskipun
tidak ada seorangpun yang mengikuti dakwah Nabi akibat teror dari kafir
Quraisy. Nabi tetap menjalankan tugas dakwah itu setiap musim haji dari tahun
keempat sampai tahun kesepuluh dari keNabian beliau. Baru pada tahun kesebelas
kabilah Khajraj dari Yatsrib menyatakan memeluk Islam berlanjut kepada baiat
Aqobah pertama dan kedua. Masuk Islamnya kabilah dari Yatsrib merupakan wasilah
hijrahnya Nabi ke Yatsrib atau kemudian lebih dikenal Madinah.
d.
Pendekatan Misi ( Bi’tsah )
Pendekatan
misi adalah pengiriman da’i ke daerah yang jauh dari tempat tinggal Nabi untuk
mengajarkan agama Islam. Pendekatan dakwah ini merupakan bagian dari pendekatan
pendidikan namun dalam hal ini axis mundis ( titik tekan ) nya pada pendelegasian
atau pengiriman para da’i oleh
Nabi. Pendekatan misi yang dilakukan Nabi diantaranya; Misi dakwah ke Yatsrib,
Nejed, Khaibar, Yaman, Najran dan Makkah.
Sesudah
baiat Aqobah pertama, orang Yatsrib meminta kepada Nabi untuk dikirim orang
yang mengajarakan Islam di Yatsrib. Nabi SAW mengutus Mush’ab bin Umair ke
Yatsrib. Peristiwa ini terjadi sebelum Nabi hijrah. Pada bulan safar 4 H Nabi
kedatangan tamu dari Nejed. Ia diajak Nabi masuk Islam tapi tidak mau hanya
meminta untuk dikirim da’i untuk mengajarkan Islam di Nejed. Nabi mengirimkan
70 orang sahabat ahli Qur’an ke Nejed dipimpin Mundzir nin Amr.
Misi
dakwah ke Khaibar yang dihuni orang Yahudi bersamaan dengan perang Khaibar yang
di awali oleh penghianatan orang Yahudi terhadap Nabi. Sahabat yang ditugasi
Nabi untuk mmengislamkan Khaibar dipimpin Ali bin Abi Thalib. Sahabat Nabi yang
ditugaskan berdakwah ke Yaman diantaranya Abu Musa al-Asyari, Muadz bin Jabal,
Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid dan al-Barra bin Azib. Pada tahun 10 H
Khalid bin Walid ditugaskan Nabi ke Najran tepatnya kabilah Bani al-Harts.
Semua warga kabilah ini kemudian memeluk Islam dan Khalid bin Walid tinggal di
Najran untuk beberapa waktu untuk mengajarkan agama Islam. Sebelum Fathul
Makkah 8 H. Makkah dikuasai oleh orang kafir Quraisy. Ketika Nabi kembali ke
Madinah setelah pembebasan Makkah, Nabi mengutus Muadz bin Jabal untuk
mengajarkan al-qur’an pada orang Makkah dan mengangkat Attab bin Usaid sebagai
walikota Makkah.
e.
Pendekatan korespondensi ( Mukatabah )
Pendekatan
korespondensi merupakan salah satu dakwah yang dilkukan Nabi SAW. Dakwah
melalui korespondensi ini dilakukan Nabi SAW pada tahun ke 7 hijriyah terhadap
bangsa – bangsa non Arab, sebelumnya selama 16 tahun Nabi SAW berdakwah hanya
kepada masyarakat arab tepatnya 10 tahun di Makkah dan 6 tahun di Madinah.
Fakta ini menunjukan bahwa Islam adalah agama universal. Melalui surat dakwah
islam disebarkan Nabi ke Eropa ( Romawi ), Persia, dan Afrika ( Abbesenia ).
Muhammad
bin Sa’ad ( W 230 H ) menulis kitab al-Tabaqat al-Kubra untuk menulis satu
persatu surat Nabi SAW lengkap dengan sanadnya. Surat-surat tersebut berjumlah
105 buah. Surat-surat Nabi SAW dikirimkan terhadap al-Najasyi ( raja Habsyah ).
Surat ini dibawa oleh Amir
bin Umayyah al-Dhamri, ia adalah orang pertama yang dipercaya Rasulullah
menyampaikan surat kepada raja-raja dan kepala negara. Surat dakwah Nabi juga
dikirimkan terhadap kaisar Romawi Heraclius. Surat ini dibawa oleh Dhiyah bin
Khalifah al-Kalbi.
Surat
Dakwah Rasul dikirimkan juga kepada Kisra atau Khoesroes gelar raja-raja
Persia. Yang mendapat surat Nabi adalah Aparwiz bin Hormuz bin Anursiwan. Surat
dakwah yang lain diberikan Rasul kepada al-Mauqauqis atau al-Muqauqas gelar
raja-raja Iskandariyah ( Mesir ). Raja yang menerima surat Nabi adalah Juraij
bin Mina, sedangkan yang menyampaikannya adalah Hatib bin Abu Balta’ah. Surat
dakwah juga dirimkan kepada raja Balqa ( wilayah Romawi Timur ) bernama
al-Harits al-Ghassani, Hauzah bin Ali al-Hanafi penguasa Yamamah ( tokoh
Musyrikin Arab ) suratnya dibawa oleh Salit bin Amr al-Amiri. Dari keenam surat
yang dikirim Nabi tak satupun penerima surat memeluk agama Islam kecuali
Najasyi yang masih kontroversi. Namun demikian bukan berarti dakwah tidak
berhasil karena pada perkembangan selanjutnya daerah daerah tersebut merupakan
pusat peradaban Islam. Seperti Iran dan Mesir.
Surat
dakwah Nabi secara garis besar berisi :
1)
Surat-surat yang berisi seruan untuk masuk Islam.
2)
Surat-surat yang berisi aturan ajaran Islam seperti zakat dan sebagainya.
3)
Surat-surat yang berisi kewajiban bagi non muslim seperti jizyah.
Sebagai
surat dakwah Rasulullah selalu mengawalinya dengan Basmallah. Disamping itu
surat dakwah juga merupakan surat resmi kepala negara karena setiap surat dicap
dengan stempel berbahan perak dengan tulisan Muhammad Rasul Allah. Dengan
demikin surat-surat yang dikirimkan Nabi Saw mengemban amanat profetik dan
politik.
f.
Pendekatan diskusi ( Mujadalah )
Pendekatan
mujadalah mengandung arti dialogis. Mujadalah bukanlah pembicaraan yang monolog
dan monoton. Di dalam al-Qur’an kata mujadalah diulang 29 kali. Diskusi atau
mujadalah juga merupakan pendekatan dakwah yang persuasif. Mengingat tidak
setiap mad’u begitu saja menerima ajakan dakwah tetapi perlu adu argumen untuk
meyakinkan kebenaran ajaran Islam. Dakwah pendekatan diskusi ini menuntut da’i
untuk profesional dan mampu mengaplikasikan ilmu logika serta menguasai
pengetahuan yang mendalam terutama topik yang didiskusikan. Mujadalah juga
dimaksudkan agar orang yang sebelumnya menantang ia akan menerima sekaligus
mendukung penuh pengertian. Pendekatan diskusi yang dilakukan Rasulullah
merupakan implementasi Q.S al-Nahl : 125.
Artinya
:”serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( Q.S. a-Nahl : 125 ).
Diskusi
atau mujadalah yang diperintahkan Allah SWT kepada kaum muslimin adalah jadal
yang baik. Jadal yang baik adalah jadal yang tidak mengandung unsur
penganiayaan karena adanya pemaksaan kehendak ( pendapat ) dan tidak ada
unsur-unsur yang merendahkan lawan dialog. Hal ini penting karena watak manusia
memiliki ego tersendiri. Seseorang tidak mudah melepaskan pendapatnya sendiri,
kecuali kritik terhadap pendapatnya dilakukan secara halus sehingga yang
bersangkutan tidak merasa pendapatnya dipinggirkan.
Dari
pendekatan pendekatan dakwah yang dilakukan Nabi SAW yang paling efektif adalah
pendekatan pendidikan ( ta’lim ) dan pendekatan misi ( bi’tsah ). Ketika
Rasulullah SAW wafat beliau meninggalkan setidaknya 114.000 orang sahabat.
Mereka secara umum pernah mendapat pendidikan dari Nabi SAW. Sementara pendekatan
misi dilakukan Nabi pertama kali mengutus Mush’ab bin Umair ke Yatsrib sebelum
Rasul hijrah pasca Baiat Aqobah. Selama setahun ia berhasil mengislamkan 63
orang dengan kata lain 12 orang tiap bulan, suatu jumlah yang signifikan pada
saat itu. Pendekatan –pendekatan personal ( sirri ), penawaran ( ’ardh ),
diskusi (mujadalah ) dan korespondensi ( mukatabah ) tidak ditemukan
indikatornya yang signifikan.
Dengan
memperhatikan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai metode dakwah
Rasulullah, dapat dijadikan sebagai pelajaran kepada umat Islam dalam
pelaksanaan dakwah memerlukan beberapa faktor sebagai berikut:[10]
1)
Mengembangkan pola pikir dan wawasan keilmuan;
2)
Pola pikir dan wawasan yang luas tersebut mempengaruhi kepribadian, sehingga
tidak
mudah terlarut dengan sikap-sikap negatif;
3)
Mampu menguraikan materi sesuai dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
C. Dakwah Psikologis Masa Sekarang atau Kontemporer
A. Pengertian
Dakwah Kontemporer
Dakwah
yang pada intinya menyeru kepada Allah, adalah kewajiban setiap muslim.
Kesadaran ini penting ditanamkan pada setiap muslim. Allah SWT. berfirman dalam
QS. an-Nahl 16:125 yang artinya “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”
“Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang
yang beruntung”. ( QS. Ali Imron 3: 104). Ayat inilah yang mengindikasikan
perlunya dakwah secara kolektif atau jama’iyah. Ayat inilah yang menjadi dasar
alam pikiran K. H. Ahmad Dahlan waktu mendirikan perserikatan Muhamadiyah pada
tahun 1912.[11]
Terkait
dengan seruan untuk berdakwah, lahirlah istilah dakwah kontemporer saat ini.
Yang mana Dakwah kontemporer adalah dakwah yang dilakukan dengan cara
menggunakan tekhnologi modern yang sedang berkembang, misalnya televisi, radio,
media cetak, internet, dan lain-lain. Dakwah kontemporer ini sangat cocok
apabila dilakukan di lingkungan masyarakat kota atau masyarakat yang memiliki
latar belakang pendidikan menengah keatas. Teknis yang ada dan yang digunakan
dalam dakwah kontemporer ini juga sangat berbeda dengan dakwah kultural. Jika
dakwah kultural pada umumnya dilakukan dengan cara menyesuaikan budaya yang ada
pada masyarakat setempat, tetapi dakwah kontemporer dilakukan dengan cara
mengikuti teknologi yang sedang berkembang pada saat ini.
Persaingan
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang
periklanan adalah merupakan tantangan bagi para da’i kita untuk segera
berpindah dari kebiasaan dakwah kultural ke dakwah kontemporer. Dakwah
kontemporer yang dimaksud adalah, dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi
modern sebagaimana iklan yang lagi semarak dewasa ini.[12]
Al-Qur’an
yang selama ini banyak disampaikan dengan cara tradisional, maka harus segera dirubah
cara penyampaiannya, yaitu dengan cara modern dengan menggunakan teknologi yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Al-Qur’an sudah saatnya harus disampaikan dengan
menggunakan metode cepat dan tepat, yaitu dengan cara menggunakan fasilitas
komputer. Munculnya tekhnologi di bidang komputer ini sebenarnya sangat
membantu bagi para da’i dalam menyampaikan nilai-nilai al-Qur’an dengan metode
tematik. Walaupun kita sadari bahwa para da’i kita banyak yang tidak bisa
meng-operasionalkan komputer dengan baik, sehingga banyak para da’i kita yang
tidak mampu untuk membuka Holy Qur’an yang lagi berkembang dewasa ini.
Munculnya
Holy Qur’an, Holy Hadits dan beberapa CD kitab kutubut-tis’a merupakan kemajuan
yang luar biasa bagi umat Islam umumnya dan para da’i pada khususnya untuk
segera direalisasikan kepada pada umat yang selama ini dalam menggali al-Qur’an
itu dengan metode tradisional. Dakwah yang menggunakan fasilitas mimbar hanya
akan di dengar sebatas yang hadir pada acara tersebut. Lain halnya dengan
dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi elektronik seperti TV, internet dan
teknologi modern lainnya, pasti akan lebih banyak manfaatnya.
Dari
dua perbandingan di atas, maka dakwah kontemporer yang memanfaatkan teknologi
modern lebih banyak manfaatnya dari pada dakwah kultural yang masih harus
menyesuaikan dengan kondisi budaya masing-masing daerah. Materi dakwah yang
tepat untuk menghadapi masyarakat modern ini adalah materi kajian yang bersifat
tematik. Artinya Islam harus di kaji dengan cara mengambil tema-tema tertentu
yang sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan fasilitas yang tepat adalah dengan
menggunakan media cetak dan elektronik, karena dengan menggunakan media cetak
dan elektronik hasilnya akan lebih banyak serta jangkauannya lebih luas.
B. Problematika Dakwah
pada Era Kontemporer
Dakwah pada era
kontemporer ini dihadapkan pada berbagai problematika yang lain kompleks. Hal
ini tidak terlepas dari adanya perkembangan masyarakat yang semakin maju. Pada
masyarakat agraris kehidupan manusia penuh dengan kesahajaan tentunya memiliki
problematika hidup yang berbeda dengan masyarakat kontemporer yang cenderung
matrealistik dan indifidualistik. Begitu juga tantangan problematika dakwah
akan dihadapkan pada berbagai persoalan yang sesuai dengan tuntutan pada era sekarang.
Ada tiga problematika
besar yang dihadapi dakwah pada era kontemporer ini, antara lain:
1.
pemahaman
masyarakat pada umumnya terhadap dakwah lebih diartikan sebagai aktifitas yang
bersifat oral communication (tablih) sehingga aktifitas dakwah lebih beriontasi
pada kegiatan-kegiatan caramah.
2.
problematika yang berasifat epistemologis.
Dakwah pada era sekarang bukan hanya bersifat rutinitas, temporal dan instan,
melainkan dakwah membutuhkan para dikma keilmuan. Dengan adanya keilmuan dakwah
tentunya hal-hal yang terkait dengan langkah srategis dan teknis dapat dicari
runjukannya melalui teori-teori dakwah.
3.
problem
yang menyangkut sumber daya manusia. Aktivitas dakwah masih dilakukan sambil
lalu atau menjadi pekerjaan sampingan. Imlikasinya banyak bermunculan da’i yang
kurang profesional, rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi da’i, dan
lemahnya manajerial yang dilakukan oleh da’i dalam mengemas kegiatan dakwah.[13]
C. Media Dakwah
Kontemporer
Seorang
da’i atau juru dakwah, dalam menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia
tidak akan lepas dari sarana atau media. Karena di era modern ini dakwah tidak
hanya cukup di sampaikan melalui lisan tanpa melalui bantuan alat-alat
komunikasi modern, seperti: radio, televisi, film, VCD, percetakan dan media
internet.
Kata-kata yang di ucapkan seorang da’i sangatlah terbatas oleh ruang dan waktu.
Oleh karena itu, kepandaian untuk memilih media atau sarana yang tepat
merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah.
Hamzah
Ya’qub membagi sarana dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, audio,
visual, dan akhlak (Amal Fathullah Zarkhasyi, 1998: 154). Dari lima macam
pembagian tersebut, secara umum dapat dipersempit menjadi tiga media, yaitu:
1.
Spoken
words, media dakwah yang berbentuk ucapan atau bunyi yang di tangkap dengan
indra telinga, seperti radio, telepon, dan lain-lain
2.
Printed
writings, berbentuk tulisan, gambar, lukisan dan sebagainya yang dapat di
tangkap dengan mata.
3.
The
Audio visual, berbentuk gambar hidup yang dapat didengar sekaligus dilihat,
seperti televisi, video, film dan sebagainya.[14]
Dilihat
dari segi sifatnya, media dapat digolongkan menjadi dua kategori: media dakwaah
tradisional dan media dakwah modern. Media dakwah tradisional berupa berbagai
macam seni dan pertunjukan tradisional, dipentaskan secara umum terutama
hiburah yang bersifat komulatif. Sedangkan media modern di istilahkan dengan
media elektronik yaitu media yang dihasilkan dari tekhnologi seperti televisi,
radio, pers, internet dan sebagainya (Amar fathullah Zarkhasyi, 1998: 154).
Sementara
masyarakat sekarang ini adalah masyarakat plural yang berkembang dengan
berbagai kebutuhan yang praktis, sehingga kecanggihan tekhnologi tidak dapat
dinafikan dapat membuka sekat dan menghilangkan batas ruang dan waktu. Memilih
dan menggunakan media yang tepat sudah menjadi keharusan dan tuntunan zaman
apabaila menginginkan tujuan dakwah untuk memengaruhi bisa tercapai. Dengan
demikian, media sebagai sarana dakwah yang merupakan suatu wasilah dakwah
haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi pada masyarakat kontemporer.
Dakwah
melalui VCD merupakan suatu model atau sarana dakwah yang baru, dan manfaat
yang di petik dari dakwah model tersebut tidaklah sedikit dan sangat efektif
manfaatnya, seperti contoh VCD Harun Hahya Series dimana karya-karya beliau
sarat manfaat, menjadi best seller di berbagai negara, VCD yang berisi
ilmu-ilmu yang diulas secara ilmiah dengan gambar-gambar yang menakjubakan,
asal-usul kejadian manusia, teori Darwin, yang menyebabkan tidak sedikit
orang-orang eropa (non muslim) tersentak dan akhirnya mereka masuk Islam.
Begitupun dengan Arimatea, salah satu model dakwahnya adalah dengan menggunakan
serta memanfaatkan VCD sebagai sarana dakwahnya, dengan debat-debat ilmiyah
yang mencerahkan.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Psikologi
dakwah ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala hidup
kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
Metode
psikologi dakwah yang digunakan oleh Rasulullah adalah metode yang sesuai yang
tertera di dalam Alquran, dengan melalui pendekatan-pendekatan tertentu
diantaranya: Pendekatan Personal (Sirri), Pendekatan Pendidikan (Taklim),
Pendekatan Penawaran (’Ardh), Pendekatan Misi (Bi’tsah), Pendekatan
korespondensi (Mukatabah), Pendekatan diskusi (Mujadalah).
Berdeda dengan psikologi dakwah pada masa sekarang ini dengan cara
menggunakan tekhnologi modern yang sedang berkembang, misalnya televisi, radio,
media cetak, internet, dan lain-lain. Sehingga para da’i harus memiliki rujukan ilmu yang harus
ada pada diri seorang da`i karena mad’u pada zaman sekarang ini sudah cerdas
dalam memilih kebenaran dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
~Faizah,Effendi Lalu
Muchsin, Psikologi Dakwah, ( Jakarta: Kencana, 2009).
~Rafi’udin dan Maman
Abd Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
~Wahyu Ilaihi dan
Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2007).
~Sarlito, Wirawan
Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000).
~www. http//Metode
dakwah rasulullah.com
~Fathul Wahid,
e-Dakwah: Dakwah melalui Internet, Yogyakarta: Gava Media, 2004.
~Abdul Basit, Wacana
Dakwah Kontemporer , Purwokerto: stainpress, 2006.
~Siti Uswatun Khasanah
, Berdakwah Dengan Jalan Debat: antara muslim dan non muslim, Purwokerto:
stainpress, 2007.
~http:// www. Google.
Com (Dakwah kontemporer).
[1]
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan
Dengan Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978) Hlm. 1-2.
[2] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,(Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993) Hlm. 19.
[3]
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum
Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), Hlm. 3.
[4]
Muhammad Abu Futuh al-Bayanuni, al-Madkhal
ila ‘Ilm ad-Da’wat (Beirut: Muassasat
al-Risalat, 1991), hlm. 14.
[6] H. M.
Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek
Kehidupan Rohaniah Manusia, hlm.19.
[7] Wahyu
Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar
Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana Premedia Group, 2007, h. 48-50.
[8] Abu
Bakar Zakaria, ad-Da’wat ila al-Islam
(Kairo: Maktabah Dar al-Urubat, 1962), hlm. 8.
[9] Syekh
Ahmad Ghalwasy, ad-Da’wat al-Islamiyyat
(Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, -.) hlm. 10.
[10]Rafi’udin
dan Maman Abd Djaliel, Prinsip dan
Strategi Dakwah, Bandung: Pustaka Setia, 1997, h. 79-80.
[14] Siti
Uswatun Khasanah , Berdakwah Dengan Jalan
Debat: antara muslim dan non muslim (Purwokerto: stainpress, 2007), hal.
36-37.
No comments:
Post a Comment