MENU

Tuesday, May 5, 2015

KONSELING SEBAGAI TEKNIK HUMAN RELATIONS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang ciptakan dengan sesempurna mungkin, dengan diberikan suatu kemampuan berpikir, berakal, perasaan, kasih sayang dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan hidup itu sebagai suatu soal permasalahan yang berada didalamnya antara sang pencipta dan hambanya. Sehingga menjadi suatu fenomena yang sangat indah dan berharga dalam kehidupan manusia itu. Namun, terkadang tidak semua manusia bias menikmati keindahan terebut atau mereka menikmatinya dengan jalan yang lain yang dianggap jalan tersebut dapat menjadi jawaban atas masalah dan keindahan kehidupan tersebut.
Dalam hal inilah manusia diciptakan dengan berbeda-beda pemikiran, berbeda pendapat dan lain sebagainya sehingga manusia yang satu dengan yang lain memiliki suatu kepribadian atau persona dalam mengemban masalah tersebut. Dari situlah terjadi perselisihan yang menjadi timbulnya suatu permasalahan.
Setiap manusia yang dilahirkan kemuka bumi ini, dia sudah mempunyai masalah yang besar yang sebenarnya yang harus dihadapi kedepannya, jika dikaji dalam penciptaan manusia itu dalam kitabnya. Karena sejak dalam kandungan ibu kita, segala pernak-pernik kehidupan sudah ditampakkan dalam diri kita bagaimana kita menetapkan suatu kehidupan yang indah lagi mengindahkan, susah lagi memberatkan, semuanya itu sudah disepakati antara diri sendiri dengan sang pencipta. Nah, terkait dengan hal demikianlah ketika di lahirkan kedunia, kita akan berhadapan dengan masalah-masalah yang akan kita hadapi walau masalah tersebut ada yang besar dan ada yang kecil.
Disinilah para pemakalah memcoba meringkas dan membahas mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari baik yang besar maupun yang kecil yang sering timbul pada kehidupan manusia. Sehingga masalah tersebut terkadang ada yang mudah diselesaikan dengan cepat dan terkadang masalah tersebut tuntas dengan jangka waktu yang sangat lama. Dari sini coba kita renungi dan pahami bahwa bagaimana sebenarnya kehidupan yang dipenuhi dengan banyak masalah. Mudah-mudahan dapat bermanfaat dan mencoba menyadari diri sendiri, kelebihan terkadang datang dengan sendirinya yang meliputi dari kekurangan kita.

BAB II
PEMBAHASAN
KONSELING SEBAGAI TEKNIK HUMAN RELATIONS
Konseling (counselings) merupakan kegiatan yang banyak dilakukan dalam human relations. Ditinjau dari segi komunikasi konseling adalah komunikasi antar persona. Yang bertindak sebagai konselor (counselor)adalah manajer atau pemimpin kelompok karya (kepala bagian, kepala seksi, supervisor. dsb) sedang konseli (counselee)-nya adalah karyawan yang menghadapi suatu masalah atau yang mendrerita frustasi.
Tujuan konseling ialah membantu para karyawan memecahkan masalahnya sendiri. Memecahkan masalah yang bersangkutan dengan karyawan, atau mengusahakian adanya suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalah yang mungkin ada. Ini tidak berarti, konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh konseli. Konselor hanya memberikan nasehat. Konseli sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri. Jadi, konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya itu belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan jujur. Tidak akan dapat diambil langkah-langkah untuk memecahkannya. Aspek ini menyangkut perasaan. Konselor akan sukses, bila ia mengetahui “frame of reference” konseli.
Dalam kegiatan human relation ada dua jenis konseling yang dapat dilakukan oleh seorang manajer atau pemimpin kelompok karya. Ini tergantung dari pendekatan (aproach) yang dilakukan. Kedua jenis tersebut ialah Konseling yang langsung terarah (directive counseling) dan konseling yang tak langsung terarah (non-directive counseling).
A.    Konseling Terarah (Directive Counsling)
Konseling jenis ini sering dinamakan juga dengan the councelor-centered approach, yakni konseling pendekatannya terpusatkan kepada konselor. Dalam cara konseling seperti ini aktivitas yang utama terletak pada konselor. Pertama-tama konselor berusaha agar terjadi hubungan yang akrab, sehingga konseli menaruh kepercayaan kepadanya. Selanjutnyaia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mengumpulkan informasi. Data yang ia peroleh ia analisis untuk pada tahap pada berikutnya melakukan diagnose, berusaha memahami masalah yang memberati konseli.untuk mengetahui diagnose yang tepat konselor memahami fakta yang berhubungan dengan masalahnya itu. Jjika konseli mengemukakan kesulitannya kepada konselor, maka konselor harus merasa pasti bahwa itulah masalah yang dihadapi konseli, yang menyebabkan konseli menderita frustasi, kecewa disebabkan tak dapat mengatasi kesulitannya. Konselor harus mengerti benar-benar mengenai data yang diperolehnya itu sehingga ia dapat melakukan interprestasi. Hanya bila ia mengerti dan dapat melakukan interprestasi, ia dapat memberikan nasehant-nasehat dan sugesti kepada konseli. Syarat-syarat sugesti ialah kepercayaan. Konseli akan kena sugesti, kalau ia menaruh kepercayaan kepada konselor; kalau konselor mempunyai kelebihan pengalaman dan pengetahuan dari konseli, dan bila tingkah laku konselor tidak tercela. Apabila konseli sudah bias dikuasai untuk memecahkan masalahnya (problem solving) tidaklah akan sukar. Akan tetapi untuk sampai kesitu, konselor perlu memahami sedikit  banyak psikologi, terutama psikologi tentang kepribadian (psychology personality).
B.     Konseling Tak Terarah (Non-Directive Counseling)
Konseling jenis ini disebut juga dengan the counselee centered approach (pendekatan yang terpusatkan pada konseli). Jenis ini dapat digunakan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mendala tentang psikologi. Dibandingkan dengan “counslee centered approach counseling” yang tradisional itu, “counselee centered approach counseling” lebih ampuh dalam membantu karyawan yang menderita frustasi.
Dalam konseling jenis ini, aktivitas utama terletak pada pihak konseli sedang aktivitas konselor hanya berusaha agar konseli merasa mudah untuk memimpin dirinya sendiri. Konseli dibantu untuk merasa dirinya bebas untuk menyatakan isi hatinya, atau membicarakan sikapnya, untuk mengemukakan antagonismenya yang tertekan, keragu-raguannya, perasaan sedihnya, dan sebagainya. Dalam mengemukakan itu semua tidk dipaksa.

Meskipun dikatakan “non directive”, maksud konselor tetap hendak membantu konseli untuk mendiagnose gangguan jiwanya dan berusaha menghilangkan motif-motif yang menyebabkan gangguan itu.
Konselor berusaha agar konseli mencari jalan keluar sendiri dari kesukaran-kesukarannya. Untuk itu konselor menciptakan suatu suasana psikologis yang memungkinkan adanya saling mengerti, antusiasme, dan sikap ramah-tamah; suasana yang memungkinkan konseli untuk menyelidiki dirinya lebih dalam. Dalam dialog dari hati-kehati itu, konselor mendorong konseli untuk menyelidiki dirinya lebih dalam. Dengan mencetuskan isi hatinya itu, konmseli akan mengoreksi dirinya, mengingat-ingat hal-hal yang pernah dialaminya, dan memahami pengalaman-pengalaman itu. Dengan demikian motif-motif yang konstruktif akan lebig jelas baginyua, dan ia merasa kebutuhan akan motif-motif tesebut. Berdasarkan motif-motif tersebut dia kana memilih dengan bebas cara bertingkah laku yang baik; dan ia akan meninggalkan motif-motif dan cara bertingkah laku yang selama ini telah menggangunya.
Dalam Tanya jawab itu tugas konselor memang tidak mudah. Ia harus menyingkirkan sikap super, sedang persoalannya ia harus ditinjau dari dasar pihak konseli. Ia harus sanggup menempatkan diri konseli.
Norma R.F Maier dalam bukunya “Principles of Human relations” menyatakan, bahwa tujuan non-directive counseling adaalah memperoleh keringanan dari penderitaan, melokalisir dan memecahkan masalah, dan membetulkan cara pemecahan masalah. Jelasnya dalah sebagai berikut:
1.      Memperoleh keringanan dari penderitaan
Penderitaan disini ialah frustasi. Seseorang menderita frustasi , jika ia berada dalam situasi masalah (problem situation), yakni ia berada dalam keadaan terpkasa harus mengahadapi masalah, tetapi saat itu ia tidak mampu memecahkannya. Jika ia dalam situasi menghadapi masalah itu berada dalam kondisi yang menyenangkan, maka ia akan menghadapinya dengan tingkah laku memecahkan masalah (problem solving behavior). Akan tetapi, bila pada saat terdapat tekanan-tekanan, dan usaha memecahkan masalahnya akan gagal, maka problem solving behavior itu akan diambil-alih oleh emosi-emosi kemarahan dan ketakutan. Ini akan menimbulkan rasa permusuhan, kelakuan kekanak-kanakan atau bersikap keras kepala. Akibatnya akan lebih parah lagi, bilamana dalam situasi seperti itu orang lain tersangkut olehnya.
Untuk membetulkan kondisi frustasi ini, konselor harus berusaha mengalihkan kembali kekondisi yang mengandung niat untuk memecahkan masalah. Kalau ini berhasil, sekursang-kurangnya telah terbina kemungkinan untuk memecahkan masalah. Ini dapat dilaksanakan dengan baik, yakni dengan jalan membuat frustasinya itu dinyatakan (expressed). Dalam hal ini halangan-halangan untuk menyatakan perasaannya dengan bebas harus disingkirkan.
Mungkin saja seorang karyawan dihinggapi rasa permusuhan terhadap seorang karyawan lainnya. Jika rasa permusuhannya itu dapat dibebaskan, maka ia akan merasa dirinya lebih baik; dan selanjutnya cenderung akan menganggap kondisinya itu lebih sebagai masalah daripada sebagai perbuatan orang lain kepadanya. Sebelum keadaan pikirannya seperti itu dapat diperoleh, ia tidak akan mampu untuk menerima sugesti yang konstruktif; dan setiap sugesti untuk merobahnya akan ia hadapi dengan rasa marah atau perasaan tersinggumng. Bagi orang yang sedang menderita frustasi, setiap sugesti yang akan mengubahnya, akan dianggap sebagai suatu serangan. Dan ini malahan akan membuat kondisi yang akan diperbaiki lebih buruk lagi.jadi, agar konselor menjadi penolong bagi konseli yang frustased. Maka konselor harus menciptakan situasi dimana perasaan-perasaan konseli mudah dinyatakan sambil tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan.
2.      Melokalisasikan dan memecahkan masalah
Jika seseorang berhasil dapat mengurangi frustasinya, ia akan dapat membuang perasaannya sendiri dan mencari sumber kesulitannya. Tetapi bila sumber frustasinya itu ternyata pristiwa beberapa tahun kebelakang, tidaklah mudah untk melokalisasikan masalah yang sebenarnya.
Kita mabil contoh seorang karyawan yang menderita frustasi dan menyalahkan gajinya yang sedikit. Setelah diselidiki dengan seksama, ternyata yang mendasari gangguan pikirannya itu ialah hubungan dengan istrinya yang kurang baik. Latar belakang kehidupan istrinya telah menyebabkan perkawinannya tidak harmonis. Sikap yang mengandung ketidak sesuaian itu direfleksikan ke hal yang lain, sehingga ia memandang tingkah laku orang lain sebagai diskriminasi dan penghindaran. Jadi masalah yang sebenarnya terdapat pada latar belakang kehidupannya yang ia tidak bias atasi dengan berhasil.
Pemecahan masalah hanya dapat dilakukan apabila kesulitan atau gangguan dapat dilokalisasikan. Kegiatan itu hanya konstruktif kalau seseorang mempunyai sikap untuk meneliti apa yang ia sendiri dapat melaksanakannya guna mengatasi kesulitannya itu. Selama ia menanti-nantikan kondisinya berubah atau mengaharapkan orang lain mengubahnya. Maka ia akan tetap apatis. Bersikap tidak perduli. Jadi sebenarnya tanggung jawab untuk memecahkan masalah harus ada pada orang yang menghadapi masalahnya sendiri.
Seorang konselor dalam memberikan bantuan kepada orang-orang yang menderita frustasi, harus mendorong orang itu untuk menyelidiki perasaannya terhadap berbagai orang, hal peristiwa, sehingga dapat melokalisasikan masalahnya. Konselor hendaknya membantu orang itu menemukan pemecahan masalahnya sendiri.
3.      Memperbaiki Cara Pemecahan Masalah
Bagi seorang pemimpin kelompok karya, adalah suatu keharusan untuk memperbaiki situasi pekerjaan, apa bila diketahuinya, bahwa situasi itu bias menimbulkan ada seorang karyawan. Jika, umpamanya ia melihat ada seorang karyawan wanita yang menyendiri dan seolah-olah diasingkan, maka situasi seperti itu perlu diperbaiki. Caranya, umpamanya kepada karyawan tersebut diberikan diberikan tugas khusus, sehingga ia tidak terasingkan lagi. Juga, dengan membawa dia kedalam diskusi untuk membicarakan sesuatu soal, akan menyebabkan dia merasa berharga dikalangan kawan sekerjanya. Diskusi kelompok akam dapat melindungi orang-orang yang merasa diasingkan.
Demikianlah beberapa hal sebagai petunjuk bagi seorang pemimpin kelompok karya yang bertindak sebagai konselor untuk memecahkan masalah pekerjaan dan masalah pribadi para karyawan. Dalam pelaksanaannya, konselor perlu memperhatikan  beberapa hal yang dibawah ini:
a.       Dengarkan dengan sabar dan menunjukkan minat yang menimbulkan keberanian pada konseli
b.      Jangan melakukan interupsi
c.       Jangan cepat-cepat mencela
d.      Jangan membantah atau berdebat
e.       Koreklah apa yang konseli ingin katakana, usahakan agar konseli mempunyai keberanian. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang membantu konseli berpikir, mengerti, serta menyatakan idea-idea dan perasaan-perasaan yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

B.     Saran 

No comments:

Post a Comment