BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang ciptakan dengan
sesempurna mungkin, dengan diberikan suatu kemampuan berpikir, berakal,
perasaan, kasih sayang dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan hidup itu
sebagai suatu soal permasalahan yang berada didalamnya antara sang pencipta dan
hambanya. Sehingga menjadi suatu fenomena yang sangat indah dan berharga dalam
kehidupan manusia itu. Namun, terkadang tidak semua manusia bias menikmati
keindahan terebut atau mereka menikmatinya dengan jalan yang lain yang dianggap
jalan tersebut dapat menjadi jawaban atas masalah dan keindahan kehidupan
tersebut.
Dalam hal inilah manusia diciptakan dengan
berbeda-beda pemikiran, berbeda pendapat dan lain sebagainya sehingga manusia
yang satu dengan yang lain memiliki suatu kepribadian atau persona dalam
mengemban masalah tersebut. Dari situlah terjadi perselisihan yang menjadi
timbulnya suatu permasalahan.
Setiap manusia yang dilahirkan kemuka bumi ini, dia
sudah mempunyai masalah yang besar yang sebenarnya yang harus dihadapi
kedepannya, jika dikaji dalam penciptaan manusia itu dalam kitabnya. Karena
sejak dalam kandungan ibu kita, segala pernak-pernik kehidupan sudah
ditampakkan dalam diri kita bagaimana kita menetapkan suatu kehidupan yang
indah lagi mengindahkan, susah lagi memberatkan, semuanya itu sudah disepakati
antara diri sendiri dengan sang pencipta. Nah, terkait dengan hal demikianlah
ketika di lahirkan kedunia, kita akan berhadapan dengan masalah-masalah yang
akan kita hadapi walau masalah tersebut ada yang besar dan ada yang kecil.
Disinilah para pemakalah memcoba meringkas dan
membahas mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari baik yang
besar maupun yang kecil yang sering timbul pada kehidupan manusia. Sehingga
masalah tersebut terkadang ada yang mudah diselesaikan dengan cepat dan
terkadang masalah tersebut tuntas dengan jangka waktu yang sangat lama. Dari
sini coba kita renungi dan pahami bahwa bagaimana sebenarnya kehidupan yang
dipenuhi dengan banyak masalah. Mudah-mudahan dapat bermanfaat dan mencoba
menyadari diri sendiri, kelebihan terkadang datang dengan sendirinya yang
meliputi dari kekurangan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSELING SEBAGAI TEKNIK HUMAN
RELATIONS
Konseling
(counselings) merupakan kegiatan yang banyak dilakukan dalam human relations.
Ditinjau dari segi komunikasi konseling adalah komunikasi antar persona. Yang
bertindak sebagai konselor (counselor)adalah manajer atau pemimpin kelompok
karya (kepala bagian, kepala seksi, supervisor. dsb) sedang konseli
(counselee)-nya adalah karyawan yang menghadapi suatu masalah atau yang
mendrerita frustasi.
Tujuan
konseling ialah membantu para karyawan memecahkan masalahnya sendiri.
Memecahkan masalah yang bersangkutan dengan karyawan, atau mengusahakian adanya
suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalah yang mungkin ada.
Ini tidak berarti, konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh
konseli. Konselor hanya memberikan nasehat. Konseli sendiri yang harus
mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri.
Jadi, konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya.
Selama masalahnya itu belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan
jujur. Tidak akan dapat diambil langkah-langkah untuk memecahkannya. Aspek ini
menyangkut perasaan. Konselor akan sukses, bila ia mengetahui “frame of
reference” konseli.
Dalam
kegiatan human relation ada dua jenis konseling yang dapat dilakukan oleh
seorang manajer atau pemimpin kelompok karya. Ini tergantung dari pendekatan
(aproach) yang dilakukan. Kedua jenis tersebut ialah Konseling yang langsung
terarah (directive counseling) dan konseling yang tak langsung terarah
(non-directive counseling).
A.
Konseling Terarah (Directive Counsling)
Konseling jenis
ini sering dinamakan juga dengan the
councelor-centered approach, yakni konseling pendekatannya terpusatkan
kepada konselor. Dalam cara konseling seperti ini aktivitas yang utama terletak
pada konselor. Pertama-tama konselor berusaha agar terjadi hubungan yang akrab,
sehingga konseli menaruh kepercayaan kepadanya. Selanjutnyaia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mengumpulkan informasi. Data yang ia peroleh
ia analisis untuk pada tahap pada berikutnya melakukan diagnose, berusaha
memahami masalah yang memberati konseli.untuk mengetahui diagnose yang tepat
konselor memahami fakta yang berhubungan dengan masalahnya itu. Jjika konseli
mengemukakan kesulitannya kepada konselor, maka konselor harus merasa pasti
bahwa itulah masalah yang dihadapi konseli, yang menyebabkan konseli menderita
frustasi, kecewa disebabkan tak dapat mengatasi kesulitannya. Konselor harus
mengerti benar-benar mengenai data yang diperolehnya itu sehingga ia dapat
melakukan interprestasi. Hanya bila ia mengerti dan dapat melakukan
interprestasi, ia dapat memberikan nasehant-nasehat dan sugesti kepada konseli.
Syarat-syarat sugesti ialah kepercayaan. Konseli akan kena sugesti, kalau ia
menaruh kepercayaan kepada konselor; kalau konselor mempunyai kelebihan
pengalaman dan pengetahuan dari konseli, dan bila tingkah laku konselor tidak
tercela. Apabila konseli sudah bias dikuasai untuk memecahkan masalahnya
(problem solving) tidaklah akan sukar. Akan tetapi untuk sampai kesitu,
konselor perlu memahami sedikit banyak
psikologi, terutama psikologi tentang kepribadian (psychology personality).
B.
Konseling Tak Terarah (Non-Directive Counseling)
Konseling jenis
ini disebut juga dengan the counselee
centered approach (pendekatan yang terpusatkan pada konseli). Jenis ini
dapat digunakan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mendala tentang
psikologi. Dibandingkan dengan “counslee centered approach counseling” yang
tradisional itu, “counselee centered approach counseling” lebih ampuh dalam
membantu karyawan yang menderita frustasi.
Dalam konseling
jenis ini, aktivitas utama terletak pada pihak konseli sedang aktivitas
konselor hanya berusaha agar konseli merasa mudah untuk memimpin dirinya
sendiri. Konseli dibantu untuk merasa dirinya bebas untuk menyatakan isi
hatinya, atau membicarakan sikapnya, untuk mengemukakan antagonismenya yang
tertekan, keragu-raguannya, perasaan sedihnya, dan sebagainya. Dalam
mengemukakan itu semua tidk dipaksa.
Meskipun dikatakan
“non directive”, maksud konselor tetap hendak membantu konseli untuk
mendiagnose gangguan jiwanya dan berusaha menghilangkan motif-motif yang
menyebabkan gangguan itu.
Konselor
berusaha agar konseli mencari jalan keluar sendiri dari kesukaran-kesukarannya.
Untuk itu konselor menciptakan suatu suasana psikologis yang memungkinkan
adanya saling mengerti, antusiasme, dan sikap ramah-tamah; suasana yang
memungkinkan konseli untuk menyelidiki dirinya lebih dalam. Dalam dialog dari
hati-kehati itu, konselor mendorong konseli untuk menyelidiki dirinya lebih
dalam. Dengan mencetuskan isi hatinya itu, konmseli akan mengoreksi dirinya,
mengingat-ingat hal-hal yang pernah dialaminya, dan memahami
pengalaman-pengalaman itu. Dengan demikian motif-motif yang konstruktif akan
lebig jelas baginyua, dan ia merasa kebutuhan akan motif-motif tesebut.
Berdasarkan motif-motif tersebut dia kana memilih dengan bebas cara bertingkah
laku yang baik; dan ia akan meninggalkan motif-motif dan cara bertingkah laku
yang selama ini telah menggangunya.
Dalam Tanya
jawab itu tugas konselor memang tidak mudah. Ia harus menyingkirkan sikap
super, sedang persoalannya ia harus ditinjau dari dasar pihak konseli. Ia harus
sanggup menempatkan diri konseli.
Norma R.F Maier
dalam bukunya “Principles of Human relations” menyatakan, bahwa tujuan
non-directive counseling adaalah memperoleh keringanan dari penderitaan,
melokalisir dan memecahkan masalah, dan membetulkan cara pemecahan masalah.
Jelasnya dalah sebagai berikut:
1.
Memperoleh keringanan dari penderitaan
Penderitaan
disini ialah frustasi. Seseorang menderita frustasi , jika ia berada dalam
situasi masalah (problem situation), yakni ia berada dalam keadaan terpkasa
harus mengahadapi masalah, tetapi saat itu ia tidak mampu memecahkannya. Jika
ia dalam situasi menghadapi masalah itu berada dalam kondisi yang menyenangkan,
maka ia akan menghadapinya dengan tingkah laku memecahkan masalah (problem
solving behavior). Akan tetapi, bila pada saat terdapat tekanan-tekanan, dan
usaha memecahkan masalahnya akan gagal, maka problem solving behavior itu akan
diambil-alih oleh emosi-emosi kemarahan dan ketakutan. Ini akan menimbulkan
rasa permusuhan, kelakuan kekanak-kanakan atau bersikap keras kepala. Akibatnya
akan lebih parah lagi, bilamana dalam situasi seperti itu orang lain tersangkut
olehnya.
Untuk
membetulkan kondisi frustasi ini, konselor harus berusaha mengalihkan kembali
kekondisi yang mengandung niat untuk memecahkan masalah. Kalau ini berhasil,
sekursang-kurangnya telah terbina kemungkinan untuk memecahkan masalah. Ini
dapat dilaksanakan dengan baik, yakni dengan jalan membuat frustasinya itu
dinyatakan (expressed). Dalam hal ini halangan-halangan untuk menyatakan
perasaannya dengan bebas harus disingkirkan.
Mungkin
saja seorang karyawan dihinggapi rasa permusuhan terhadap seorang karyawan
lainnya. Jika rasa permusuhannya itu dapat dibebaskan, maka ia akan merasa
dirinya lebih baik; dan selanjutnya cenderung akan menganggap kondisinya itu
lebih sebagai masalah daripada sebagai perbuatan orang lain kepadanya. Sebelum
keadaan pikirannya seperti itu dapat diperoleh, ia tidak akan mampu untuk
menerima sugesti yang konstruktif; dan setiap sugesti untuk merobahnya akan ia
hadapi dengan rasa marah atau perasaan tersinggumng. Bagi orang yang sedang
menderita frustasi, setiap sugesti yang akan mengubahnya, akan dianggap sebagai
suatu serangan. Dan ini malahan akan membuat kondisi yang akan diperbaiki lebih
buruk lagi.jadi, agar konselor menjadi penolong bagi konseli yang frustased.
Maka konselor harus menciptakan situasi dimana perasaan-perasaan konseli mudah
dinyatakan sambil tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan.
2.
Melokalisasikan dan memecahkan masalah
Jika seseorang
berhasil dapat mengurangi frustasinya, ia akan dapat membuang perasaannya
sendiri dan mencari sumber kesulitannya. Tetapi bila sumber frustasinya itu
ternyata pristiwa beberapa tahun kebelakang, tidaklah mudah untk
melokalisasikan masalah yang sebenarnya.
Kita mabil
contoh seorang karyawan yang menderita frustasi dan menyalahkan gajinya yang
sedikit. Setelah diselidiki dengan seksama, ternyata yang mendasari gangguan
pikirannya itu ialah hubungan dengan istrinya yang kurang baik. Latar belakang
kehidupan istrinya telah menyebabkan perkawinannya tidak harmonis. Sikap yang
mengandung ketidak sesuaian itu direfleksikan ke hal yang lain, sehingga ia
memandang tingkah laku orang lain sebagai diskriminasi dan penghindaran. Jadi
masalah yang sebenarnya terdapat pada latar belakang kehidupannya yang ia tidak
bias atasi dengan berhasil.
Pemecahan
masalah hanya dapat dilakukan apabila kesulitan atau gangguan dapat
dilokalisasikan. Kegiatan itu hanya konstruktif kalau seseorang mempunyai sikap
untuk meneliti apa yang ia sendiri dapat melaksanakannya guna mengatasi
kesulitannya itu. Selama ia menanti-nantikan kondisinya berubah atau
mengaharapkan orang lain mengubahnya. Maka ia akan tetap apatis. Bersikap tidak
perduli. Jadi sebenarnya tanggung jawab untuk memecahkan masalah harus ada pada
orang yang menghadapi masalahnya sendiri.
Seorang konselor
dalam memberikan bantuan kepada orang-orang yang menderita frustasi, harus
mendorong orang itu untuk menyelidiki perasaannya terhadap berbagai orang, hal
peristiwa, sehingga dapat melokalisasikan masalahnya. Konselor hendaknya
membantu orang itu menemukan pemecahan masalahnya sendiri.
3.
Memperbaiki Cara Pemecahan Masalah
Bagi seorang
pemimpin kelompok karya, adalah suatu keharusan untuk memperbaiki situasi
pekerjaan, apa bila diketahuinya, bahwa situasi itu bias menimbulkan ada
seorang karyawan. Jika, umpamanya ia melihat ada seorang karyawan wanita yang
menyendiri dan seolah-olah diasingkan, maka situasi seperti itu perlu
diperbaiki. Caranya, umpamanya kepada karyawan tersebut diberikan diberikan
tugas khusus, sehingga ia tidak terasingkan lagi. Juga, dengan membawa dia
kedalam diskusi untuk membicarakan sesuatu soal, akan menyebabkan dia merasa
berharga dikalangan kawan sekerjanya. Diskusi kelompok akam dapat melindungi
orang-orang yang merasa diasingkan.
Demikianlah
beberapa hal sebagai petunjuk bagi seorang pemimpin kelompok karya yang
bertindak sebagai konselor untuk memecahkan masalah pekerjaan dan masalah
pribadi para karyawan. Dalam pelaksanaannya, konselor perlu memperhatikan beberapa hal yang dibawah ini:
a.
Dengarkan dengan
sabar dan menunjukkan minat yang menimbulkan keberanian pada konseli
b.
Jangan melakukan
interupsi
c.
Jangan
cepat-cepat mencela
d.
Jangan membantah
atau berdebat
e.
Koreklah apa
yang konseli ingin katakana, usahakan agar konseli mempunyai keberanian.
Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang membantu konseli berpikir, mengerti, serta
menyatakan idea-idea dan perasaan-perasaan yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
No comments:
Post a Comment